Bab 8

1139 Kata
Wanita itu berdiri di samping tempat tidur dengan tatapan penuh kemenangan, menatap Ferdinand yang terlelap dalam tidur nyenyak setelah permainan panas mereka. Cahaya lembut lampu tidur menyoroti wajah pria itu, menekankan kedamaian yang kontras dengan sifat dinginnya yang biasanya terlihat saat pria itu berdiri di tengah ruang sidang. Wanita itu tersenyum sinis, merasa puas melihat Ferdinand dalam keadaan yang sangat rapuh. ‘Ah, Ferdinand,’ pikirnya dengan penuh rasa bangga. ‘Siapa yang mengira bahwa kamu akan terjatuh di bawah pengaruhku, pria yang selama ini tampak tak tergoyahkan dan penuh kekuasaan.’ Kembali ia memandang pria itu dengan penuh kepuasan. Bagaimana bisa seorang lelaki yang dikenal begitu dominan dan keras kepala, tiba-tiba menjadi begitu lemah di hadapannya? Dia merasa seolah-olah telah mencapai sesuatu yang benar-benar luar biasa. Ferdinand yang biasanya mengendalikan segala sesuatu kini berada di bawah kendalinya, dan itu memberikan rasa bangga yang tak terlukiskan. ‘Rasa bangga ini membuatku merasa seperti ratu yang menguasai kerajaannya,’ pikir wanita itu, tersenyum puas. ‘Kamu yang biasanya membuat semua orang tunduk sekarang harus menghadapi kenyataan bahwa aku bisa membuatmu bertekuk lutut.’ Dengan lembut, wanita itu mengelus rambut Ferdinand yang acak-acakan, merasakan betapa berbeda dan lembutnya lelaki itu saat sedang tidur. "Betapa ironisnya," gumam wanita itu sambil tersenyum, "Seorang wanita seperti aku bisa membuat seorang pria berkuasa sepertimu berada di bawah kendali. Aku telah mengalahkan semua yang menghalangiku, dan kini aku akan memegang kendali atas sesuatu yang sebelumnya hanya ada dalam khayalanku." Dia kembali mengamati Ferdinand dengan seksama, meresapi setiap detail dari ekspresi damainya yang kontras dengan kepribadiannya yang biasanya tegas. Dia menunduk, memberikan ciuman lembut di bibir Ferdinand. “Kamu adalah senjata paling ampuh, yang mengalahkan musuh-musuhku dan akan membawaku pada puncak kesuksesan.” Gumam wanita itu disertai tawa kecil. Dia lalu berjalan ke arah pintu. Sudah larut malam. Tapi dia harus meninggalkan kamar hotel ini, karena dia punya janji lain. Tepat saat pintu tertutup, Ferdinand Randal membuka matanya. Sorot dingin melintas di sepasang mata gelapnya. *** Malam itu, di tengah tidurnya yang tidak nyaman dalam ruang sempit penjara, Nadira terperangkap dalam mimpi buruk yang menghantui setiap sudut pikirannya. Bayangan kelam menyelimuti, membawa dirinya kembali ke hari terburuk dalam hidupnya. Dia melihat kedua orang tuanya di dalam mobil, senyum mereka yang hangat berubah menjadi ekspresi ketakutan saat mobil tergelincir di jalan licin. Nadira ingin berteriak, ingin memperingatkan mereka, tapi suaranya tercekat. Mobil itu berputar, lalu suara benturan keras memecah kesunyian, diikuti oleh jeritan yang menggema di telinganya. Kegelapan menelan segalanya. Tiba-tiba, pemandangan berubah. Nadira kini berdiri di tengah ruang pengadilan. Wajah-wajah yang dikenal dan tidak dikenal menatapnya dengan pandangan merendahkan. Tawa mereka bergema di, memenuhi ruangan, membuat Nadira merasa kecil dan tak berdaya. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka adalah cercaan, menuduhnya tanpa ampun. "Tidak, ini tidak benar," Nadira berusaha berkata, namun suaranya tenggelam oleh gelombang tawa yang semakin keras. "Aku tidak bersalah. Aku tidak bersalah!" Nadira terbangun dengan tubuh gemetar dan bersimbah keringat dingin. Nafasnya tersengal-sengal. "Ini hanya mimpi," bisiknya pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati yang bergejolak. Tapi bayangan mimpi itu masih melekat, membuatnya merasa seolah-olah semuanya nyata dan tak ada jalan keluar dari mimpi buruk ini. Nadira menghela napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan diri. Beberapa hari terakhir dia terus bermimpi buruk. Kemarin malam dia bermimpi melihat kantor firma hukumnya terbakar. Kobaran api melahap setiap sudut bangunan itu, asap tebal menyelimuti pandangannya. Nadira diliputi perasaan ngeri saat terbangun. Perasaan yang dia rasakan lebih menyiksa. Kenangan pahit di awal masa remajanya itu tidak akan pernah terlupakan. Ketika saat ini muncul kembali dalam mimpi, membuat rasa sakit memenuhi dadanya. Dia menatap langit-langit berwarna kelabu yang tampak lebih suram dari biasanya. Dinding-dinding sempit sel penjara seperti merapat, menghimpitnya dalam kesendirian yang menyakitkan. Tanpa sadar, air matanya meleleh, mengalir perlahan di pipinya. Dia merasa begitu menderita, tertelan oleh keputusasaan yang tak berkesudahan. "Apa yang aku lakukan hingga pantas mendapatkan semua ini?" Nadira berbisik pelan, suaranya nyaris tak terdengar di antara gemuruh detak jantungnya yang kencang. "Aku hanya ingin mencari keadilan, tapi sekarang aku terjebak di sini, dalam lubang gelap ini." Mata Nadira berkaca-kaca saat mengenang masa-masa kebebasannya. Saat dia berdiri dengan bangga di ruang sidang, membela kebenaran dengan penuh keyakinan. Sekarang, semua itu terasa seperti mimpi yang jauh dan tak tergapai. ‘Aku tidak akan bertahan lebih lama dalam tempat ini,’ pikirnya, ketakutan dan penderitaan menguasai setiap serat tubuhnya. Nadira merasakan kesepian yang menghancurkan. Keluarganya, sahabat-sahabatnya, semua orang yang dia pikir akan mendukungnya, sekarang seolah menghilang dari kehidupannya. Dia merasa terasing, ditinggalkan di dalam kegelapan yang menyesakkan. Nadira teringat janji Yehuda Demario bahwa akan membebaskannya. Dengan situasinya sekarang, dukungan bukti-bukti yang minim, ia tidak terlalu yakin dengan janji pria itu. Tapi dia dia tidak punya harapan lain. Setidaknya dalam ketidakberdayaannya, ada seseorang yang bersedia membantunya. Rey juga terlihat lebih bersemangat dengan kehadiran Yehuda. Kalau Rey saja percaya, kenapa dirinya tidak? Dengan tekad yang rapuh, Nadira memeluk lututnya erat-erat, mencoba menghangatkan dirinya dalam dinginnya malam. Dia tahu perjalanan ini masih panjang dan penuh rintangan, tapi dia tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Nadira merebahkan tubuhnya kembali, berharap bisa tidur nyenyak hingga besok pagi. *** Wanita itu duduk di ruang kerjanya yang baru, menatap pemandangan kota yang terbentang di luar jendela besar di belakang meja barunya. Ruangan itu megah, mencerminkan kekuasaan dan kesuksesan, hal yang selalu dia impikan. Kini, dia telah mencapainya. Senyum puas melengkung di bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala, saat dia memutar kursinya, memandang segala sesuatu yang sekarang menjadi miliknya. ‘Nadira, Nadira,’ pikirnya dalam hati, senyum sinis ganti menghiasi wajahnya. ‘Kamu selalu berada di atas, selalu lebih baik, lebih dihargai. Tapi lihat sekarang, siapa yang tertawa terakhir.’ Monolog wanita itu berlanjut, menggema dalam pikirannya. ‘Kamu pikir kamu begitu hebat, Nadira. Semua orang memujamu, memandangmu sebagai pengacara jenius. Sementara aku? Aku hanya bayang-bayangmu. Sekarang tidak lagi.’ Wanita itu mengingat kembali bagaimana Nadira selalu mendapatkan pujian dan penghargaan. Bagaimana Nadira selalu mendapatkan kasus-kasus besar dan klien-klien penting, sementara dirinya terjebak dalam rutinitas pekerjaan yang monoton. Dia merasa seperti seorang pelayan yang harus tunduk pada ratu. Kenapa hidup bisa begitu tidak adil? Rasa ketidakadilan membara dalam dirinya, semakin hari semakin membesar hingga menjadi api kebencian. ‘Dan sekarang, semua milikmu adalah milikku,’ pikirnya dengan penuh kemenangan. ‘Kantormu, klienmu, reputasimu, dan orang yang kau cintai. Aku berhasil merebut semuanya. Kamu tidak akan pernah lagi berdiri di atas aku.’ Sambil kembali memandang sekeliling ruangannya, wanita itu merasakan kepuasan yang mendalam. Segala sesuatu di tempat itu berteriak tentang kekuasaan dan keberhasilan, dan semua itu adalah miliknya sekarang. Dia membayangkan bagaimana nanti wajah Nadira yang terkejut dan hancur saat mengetahui bahwa orang yang paling dia percayai telah mengkhianatinya. Membayangkannya saja telah memberikan perasaan euforia yang luar biasa. Wanita itu menyandarkan punggungnya pada kursi dengan penuh kepuasan. ‘Sekarang, hanya tinggal satu hal lagi,’ pikirnya sambil tersenyum lebar. ‘Menghancurkan sisa-sisa harapan yang mungkin masih kamu miliki. Dan aku akan menikmati setiap detik ketika hal itu terjadi.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN