Bab 9

1249 Kata
Wanita itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi empuk itu dengan penuh kepuasan. ‘Sekarang, hanya tinggal satu hal lagi,’ pikirnya sambil tersenyum lebar. ‘Menghancurkan sisa-sisa harapan yang mungkin masih Nadira miliki. Dan aku akan menikmati setiap detik ketika hal itu terjadi.’ Masih dengan wajah penuh senyuman, wanita itu memusatkan perhatiannya pada televisi layar lebar yang ditempatkan di dinding, yang menghadap meja kerjanya. Saat itu sedang ditayangkan dialog interaktif yang membahas tentang peluang pihak terpidana kasus pembunuhan yang menjerat pengacara Nadira Angelina Rodin di tingkat banding. “Isshh. Buang-buang waktu saja,” desisnya sinis. Tiba-tiba ponselnya berdering, panggilan dari rekan pengacara di firma hukum Nadira. “Halo, Dave! Ada apa?” “Besok agenda pembacaan putusan majelis hakim banding. Sebaiknya kita semua hadir untuk memberikan dukungan pada Nadira.” “Oh! Maaf, aku lupa. Aku sudah terlanjur membuat janji temu dengan klienku. Tolong sampaikan salamku pada Nadira, ya.” Jawab wanita itu datar. “Masak agenda sepenting itu kamu bisa lupa?” “Yaah, maaf. Mau bagaimana lagi kalau lupa? Lagipula, aku juga harus cari makan, Dave. Selama tiga bulan terakhir gaji kita belum dibayar. Lalu bagaimana aku harus membayar semua tagihan?” Hening. Lalu terdengar helaan napas panjang dari rekannya di seberang telepon. “Ya sudah. Nanti aku sampaikan pada Nadira bahwa kamu berhalangan hadir.” “Oke! Terima kasih, Dave. Aku doakan Nadira kuat untuk menghadapi segala kemungkinan, bahkan yang terburuk sekalipun,” Wanita itu mematikan ponsel sambil tersenyum, membayangkan penderitaan panjang yang akan Nadira hadapi. Tidak ada jalan untuk menghindar. Nadira sudah ditakdirkan untuk hancur. Sementara itu, David yang melihat panggilan sudah terputus-sengaja diputus secara sepihak, mengerutkan dahi, memikirkan kata-kata rekan pengacaranya barusan yang terdengar aneh. Rekannya ini seolah sudah tahu kalau Nadira akan menghadapi sesuatu yang buruk. David mengibaskan tangannya. Tidak. Dia tidak akan terpengaruh. Semua memang butuh makan, tapi alasan temannya ini rasanya terlalu dibuat-buat. Memangnya selama dia bekerja di firma hukum Nadira selama tiga tahun ini, dia tidak sempat menabung? Ada-ada saja. *** Proses banding akan memasuki babak akhir. Setiap hari dalam masa penantian ini terasa seperti perjalanan yang tak berujung. Tekanan berat terus menghimpit Nadira dan rekan-rekannya. Selama dua bulan penuh, mereka menjadi bulan-bulanan media dan netizen. Setiap langkah mereka diikuti sorotan kamera, setiap gerakan mereka dihakimi oleh opini publik yang tak kenal ampun. Nadira mencoba menahan semua itu dengan sabar, namun, beban itu tak kunjung berkurang. Rasa sakit fisik dan emosional yang dialaminya semakin hari semakin berat. Beberapa hari lalu, saat Nadira dibawa keluar dari Lapas untuk memberikan keterangan di pengadilan tinggi, insiden yang tidak terduga terjadi. Di tengah kerumunan yang penuh amarah, seseorang melemparinya dengan botol air mineral. Botol itu mengenai bahunya, membuatnya meringis kesakitan. "b******k!" teriak seseorang dari kerumunan. "Penipu! Pengkhianat!" Nadira menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang menggenang. Rasa sakit di bahunya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Orang-orang yang dulu memujanya, yang dulu menganggapnya sebagai pahlawan, sekarang membencinya. Hatinya hancur berkeping-keping menghadapi perubahan drastis ini. Nadira hanya bisa berjalan dengan langkah berat, dikelilingi oleh petugas keamanan yang mencoba melindunginya dari amukan massa. Di dalam mobil yang membawanya kembali ke Lapas, Nadira tak mampu lagi menahan tangisnya. Air mata mengalir tanpa henti, mencerminkan betapa dalam luka di hatinya. Semua terasa suram. Nadira putus asa. Sosok pengacara muda penuh tekad itu perlahan berubah. Dia merasa harapannya memudar seiring proses banding yang dia lalui, yang sepertinya tidak menampakkan titik cerah. Yehuda Demario menghilang setelah mengucap janji hari itu. Nadira menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa berat. Dia merasa sedih dan kehilangan keyakinan, setelah menghadapi kenyataan di luar sel penjara, betapa masyarakat membencinya. Nadira tahu, memori bandingnya tidak cukup kuat. Karena itu dia sangat berharap pada Yehuda Demario. Tapi sepertinya harapannya hanya menjadi sebuah harapan kosong. Hari ini agendanya adalah mendengarkan putusan banding, namun Yehuda tidak sekalipun kelihatan batang hidungnya. Bahkan Rey tidak pernah lagi bertemu dengan pria itu. Nadira tersenyum sinis. Ternyata dia hanya seorang penipu. Dan dia merasa bodoh karena dengan mudahnya percaya pada pria asing itu. Betapa konyolnya. Walau merasa tidak nyaman, Nadira tetap menguatkan hatinya. Bagaimana pun dia harus menyiapkan diri untuk hadir di Pengadilan Tinggi. Dengan langkah berat, Nadira bergabung di barisan panjang antrian mengambil sarapan. Sepanjang waktu dia melamun, memikirkan nasib buruknya. “Maaf, Mbak yang pengacara hebat itu, ya?” Nadira baru saja menerima jatah sarapannya dan merenung dengan wajah muram di sebuah meja, ketika suara seseorang terdengar di belakang punggungnya. Nadira berbalik dan melihat seorang wanita muda, sedang menatapnya dengan sorot mata penuh binar. “Maaf, maksud mbak…” Nadira balas menatap wanita itu dengan dahi mengerut. “Saya lihat wajah mbak seperti pengacara yang beritanya viral itu,” Suara wanita itu melembut. “Tapi, kalau pengacara hebat itu wajahnya cantik dan lebih muda dari mbak,” Apa? Spontan Nadira meraba pipinya, yang semakin tirus dan kulit di bawah telapak tangannya terasa kasar. Wanita itu tertawa. “Maaf, saya hanya bercanda. Ayo, mbak, kita sarapan sambil ngobrol di pojok sana saja. Lebih asyik sambil menikmati pemandangan.” Pemandangan yang dimaksud wanita itu adalah taman kecil dengan bunga warna-warni di luar ruang makan. Sebuah meja yang memiliki view langsung ke taman baru saja ditinggalkan oleh warga lapas yang sebelumnya menikmati sarapan di sana. “Ayo, mbak. Nanti keburu habis waktu untuk sarapan,” Nadira walaupun sedikit merasa bingung, akhirnya bangkit dan mengikuti langkah wanita itu sambil membawa nampan sarapannya. Dalam hati merasa heran, di tempat penuh penderitaan ini, masih ada orang yang bisa begitu santai dan ceria. Wanita itu meletakkan nampan makanannya di atas meja. “Silakan, pengacara Rodin!” Ujarnya sambil menunjuk kursi kosong di hadapannya. Nadira terkejut. “Mbak mengenalku?” Tanya Nadira heran sambil duduk. “Tentu saja. Mbak adalah pengacara idola saya. Kalau punya banyak uang, saya pasti menyewa mbak untuk membebaskan saya.” "Saya tidak sehebat itu." Tukas Nadira. Dengan senyum jengah dia melambaikan tangannya. Mereka lalu terlibat obrolan. Nadira terkejut, wanita itu baru masuk ke Lapas kemarin, setelah menerima putusan hakim, 25 tahun penjara. Dadaa Nadira seketika merasa sesak. 25 tahun? Dan wanita ini masih seceria itu. “25 tahun, mbak. Untuk suatu kesalahan yang tidak saya lakukan. Saya hanya menyelamatkan adik saya yang sedang dicabuli pria b***t itu. Tapi mau bagaimana lagi? Kami hanya orang miskin, mbak!” Wanita itu tersenyum ironis. Ya Tuhan! Nadira bertambah kaget. Dia sempat mendengar beritanya. Wanita ini rupanya. Nadira waktu itu yakin pria itu terluka oleh pisaunya sendiri, namun dia sudah sibuk menangani kasusnya sendiri, jadi tidak mengikuti lebih lanjut. Ternyata wanita ini tetap dihukum. Nasib mereka sama. “Hidup terus berjalan, Mbak. Jantung kita juga tetap berdetak. Walau dipaksa tersesat di jalan yang tidak seharusnya kita lewati, kita tetap harus melangkah, agar bisa sampai di ujung jalan. Percayalah, pengacara Rodin, akan datang waktunya Tuhan membela kita yang tidak bersalah.” Kata-kata wanita di depannya ini membuat Nadira terperangah. Wanita yang sedang menghadapi 25 tahun ke depan usianya di dalam kungkungan tembok penjara tetap mampu berbicara seperti ini. Nadira merasa jiwanya ternyata masih begitu kerdil. Dia hanya menghadapi 5 tahun, tapi seolah dunianya sudak kiamat. Nadira menatap wanita itu kagum. “Maaf, nama Mbak siapa?” Tanyanya sambil mengulurkan tangan. “Beatrice, Mbak,” Wanita itu menyambut. Genggaman tangannya erat. Beatrice! Nadira terus mengingat nama itu. Dan dia merasa lebih kuat untuk mendengar apapun keputusan majelis hakim nanti. Satu jam kemudian, Nadira sudah duduk tenang bersama kedua rekan pengacaranya di ruang tunggu kantor Pengadilan Tinggi. Dia tidak lagi merasakan ketakutan. Apapun putusan hakim dia siap. Gesturnya mengagetkan kedua rekannya. Nadira hanya memberi mereka senyum lembut. "Aku siap, Tim. Apapun hasilnya nanti."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN