Pak Agustin meraih telepon genggamnya dan menghubungi Seseorang. Sang Putra, Daniel. Satu kali, tidak berjawab. Diulanginya lagi, tetap saja tak berjawab.
Seperti tak terlalu menganggap masih ada Pak Victor di depannya, Pak Agustin menatap Gina.
“Gin, Gina!” panggil Pak Agustin.
“Iya, Pa.”
Melebihi sebuah sahutan, Gina lekas datang menghampiri Sang Papa. Enggan dia memandang barang satu detik pun kepada Pak Victor setelah mendengar keterus terangan Pak Victor.
Memang bukan sepenuhnya salah Om. Tapi ya ujung-ujungnya memang salah Om, sih. Punya Istri dan Anak yang modelnya macam itu. Awas saja kalau Ko Daniel sampai kenapa-napa, gerutu Gina dalam hati.
“Kamu coba hubungi Daniel. Tanya apa dia baik-baik saja dan ada di mana. Kebetulan beberapa hari ini juga Papa nggak ketemu dia di kantor. Biasanya kadang dia ada singgah sesekali kalau jam makan siang. Papa pikir dia sedang banyak meeting di luar. Kalau dia nggak menyahut terus, tanya ke Serena. Serena pasti tahu.”
Berkata begitu, Pak Agustin menyerahkan telepon genggamnya kepada Gina.
Gina langsung melakukan yang diminta oleh Sang Papa. Sementara Pak Victor hanya sanggup menanti dengan hati yang dag dig dug.
Dua kali Gina menghubungi Sang Kakak Lelakinya, hasilnya nihil. Akhirnya dia mencari kontak Serena di telepon genggam Sang Papa.
Panggilan teleponnya segera bersambut.
“Hallo. Selamat sore Pak Agustin,” sapaan Serena terdengar.
“Selamat sore. Mbak Serena, ini Gina.”
“Oh, ya ya, Mbak Gina. Apa kabar? Wah, sedang di Jakarta ya Mbak? Maaf tadi saya kira Bapak yang telepon. Ada yang bisa saya bantu?”
“Baik. Ya memang saya telepon pakai ponsel punya Papa karena belum sempat pakai nomor Jakarta. Ko Daniel ada di kantor nggak sekarang? Atau sedang meeting di luar?”
“Pak Daniel sudah dua hari ini nggak ke kantor. Tapi nggak ada jadwal meeting di luar juga Mbak. Malahan Pak Daniel minta ke saya untuk mengosongkan jadwal sampai hari Jumat nanti. Mau istirahat dulu katanya. Pak Daniel juga pesan suapaya jangan ada Orang kantor yang menghubungi Beliau dulu dan jika ada yang penting melalui saya.”
“Tapi Ko Daniel nggak ada minta Mbak Serena untuk pesan tiket atau apa?”
“Nggak, Mbak.”
“Nggak ada bilang mau keluar kota?”
“Juga enggak.”
“Dia bilang dia sakit atau mungkin nggak enak badan?”
Serena diam sesaat, tampaknya berpikir dan mengingat-ingat.
“Eng.., enggak sih, Mbak. Cuma bilang mau istirahat sebentar dan minta supaya tidak diganggu urusan pekerjaan. Itu juga lewat pesan teks bilangnya.”
“Oh, oke kalau begitu. Terima kasih Mbak Serena.
“Sama-sama, Mbak Gina.”
Gina mengembalikan telepon genggam Sang Papa.
“Serena bilang apa?” tanya pak Agustin.
“Pa, aku cek ke apartemen Ko Daniel, ya? Kata Mbak Serena Ko Daniel memang nggak masuk dari kemarin dan malah minta dikosongkan jadwal sampai akhir minggu ini. jangan-jangan dia sakit.”
“Ayo. Kamu ambil access card sama kunci di laci lemarinya Daniel sana. Ambil tiga-tiganya, karena tempo hari Daniel ada bilang mau pindah unit karena unitnya mau dipakai sama Temannya. Makanya dia ada suruh Orang bersihkan dua unitnya yang selama ini dibiarkan kosong.”
Gina mengerutkan kening.
“Aneh.”
“Aneh kenapa?”
“Ya Papa aneh pemikirannya. Kalau unitnya mau dipakai Orang, berarti Ko Daniel tetap di unit yang selam ini dia tempati. Pasti Temannya dikasih pinjam unitnya yang lain. Mana mau dia repot-repot?” Gina setengah bergumam.
“Bawa saja semuanya. Kita nggak pernah tahu. Sekarang mau tanya juga susah. Teleponnya nggak diangkat-angkat.”
“Oke aku ambil semua. Tapi menurutku, Papa nggak usah ke sana dulu deh. Tahu sendiri kan, barusan Ko Daniel nggak mau angkat telepon. Entah nggak mau atau memang dia sedang nggak bisa angkat telepon. Sebaiknya aku saja yang ke sana. Nanti aku pasti kabari, Pa.”
“Kamu yakin?”
“Iya, Pa. Papa kayak ngak tahu Ko Daniel saja. Dia kan nggak suka ribet-ribet. Ini dia kalau lagi sok menyendiri begini pasti memang dia lagi butuh menyelesaikan urusannya sendiri. Terlepas dari apa saja jenis urusannya. Kita sedikit kasih dia ruang lah Pa. Kalau aku kan ada alasan ke sana, mau buat kejutan atau apa ke dia.”
Pak Agustin agak keberatan. Namun akhirnya dia setuju.
“Kamu nggak capek, habis datang langsung ke sana?”
“Aku langsung berangkat, Pa. Pinjam mobil sama Supirnya Papa ya, biar drop aku ke sana.”
“Jangan cuma drop. Biar dia tunggu kamu. Takutnya perlu bawa Danel ke rumah sakit.”
Pak Victor bangkit berdiri.
“Pak Agustin, saya ikuti mobil Gina dari belakang, ya. Saya juga ingin menyampaikan permintaan maaf saya secar langsung kepada Daniel. Dan kalau perlu apa-apa, biar saya bisa urus.”
Gina tersinggung berat. Sudah sejak tadi dia menahan diri dan mengabaikan Sosok Pak Victor. Tapi sekarang dia sudah merasa semua yang dilakukan oleh Keluarga Inge jauh melampaui batas toleransinya.
“Maksud Om, perlu apa, ya? Ko Daniel maupun Keluarga kami, nggak perlu apa-apa kok dari Om.”
Pak Victor terbungkam.
“Gina!” tegur Pak Agustin.
“Pak Agustin, boleh saya menemui Daniel?” tanya Pak Victor dengan nada rendah. Tampaknya dia masih berusaha.
“Kan saya sudah bilang Om, nggak usah. Papa saya juga sudah bilang tadi, urusi saja urusan internal di dalam Keluarga Om. Maaf, saya buru-buru. Saya takut kalau ternyata Kakak saya kenapa-kenapa.”
“Gina, sopan sedikit,” ucap Pak Agustin lirih.
“Aku mau langsung berangkat, Pa. Makan malamnya kita tunda dulu, ya.”
Gina melenggang dari ruangan Pak Agustin. Tidak dihiraukannya Pak Victor.
Pak Agustin tak enak hati jadinya.
“Maafkan Gina ya Vic. Nggak seharusnya dia nggak sopan begitu ke kamu. Nanti aku bicara sama dia. Ya tolong maklumi. Dia belum lama sampai, mungkin masih capek. Lalu dia dengar Koko kesayangannya diperlakukan begitu, jadi marah dia.”
“Saya sangat maklum. Itu wajar saja. Keluarga saya yang keterlaluan. Sekali lagi...,” ... “Sudahlah. Bisa kita akhiri pembicaraan soal itu? Sepertinya kamu harus bicara sama Istri dan Anakmu. Sementara aku juga harus mencari tahu keadaan Daniel,” potong Pak Agustin.
Sebuah kalimat yang mirip dengan pengusiran halus. Tetapi Pak Victor menerimanya dengan berlapang d**a.
“Saya pamit dulu kalau begitu. Sekali lagi tolong maafkan kami. Kalau ada sesuatu hal yang harus kami lakukan, tolong Pak Agustin dapat memberitahukannya kepada saya,” ucap Pak Victor dengan rendah hati.
Pak Agustin diam saja.
Dan itu sudah cukup bagi Pak Victor untuk menindaklanjuti apa yang barusan dia ucapkan. Dia bergegas beranjak dari ruangan kerja Pak Agustin, diiringi oleh Sang Pemilik ruangan. Tidak ada kata-kata yang mereka berdua ucapkan selama berjalan dari ruangan kerja tersebut, melintasi ruang keluarga, ruang tamu dan akhirnya teras.
Di teras, dia berpapasan dengan Gina yang tampak terburu-buru. Betapa gesitnya Gadis itu ternyata. Dia sudah secepat itu membawa tas travel dan hendak masuk ke dalam mobil Sang Papa.
“Lho Gin, kamu ngapain bawa tas segala?”
“Jaga-jaga, Pa. Takutnya kalau Ko Daniel memang sakit dan perlu dirawat inap, kan aku bisa menemani. Atau kalau memang dia nggak sakit, Siapa tahu dia sedang butuh Teman bicara. Nanti aku pasti telepon Papa. Yuk, Pa. Jalan sekarang, Pak Roni!”
Untuk kedua kalinya gina sengaja mengabaikan Pak Victor. Dia sudah kegerahan dan ingin segera berlalu, kalau perlu tak melihat lagi wajah satu Orang pun dari clan Wijaya. Karenanya, dia asal saja memasukkan beberapa potong pakaian yang terdekat dari jangkauannya ke dalam tas travel kecil. Pakaian yang memang belum lama dia keluarkan dari koper serta belum dimasukkannya ke lemari.
“Baik, Non.”
*
Ketukan berkali-kali di pintu unitnya membuat Daniel terjaga dari tidurnya.
“Ya ampun, Siapa sih! Ganggu sekali! Nggak tahu kalau Orang lagi butuh istirahat, apa!” dumal Daniel jengkel.
Diurutnya pelipisnya. Kepalanya masih terasa berat lantaran menahan pusing yang hebat.
Ia berjalan lambat keluar dari kamar utama. Ya, kamar utama di mana Stephanie menghabiskan malam-malamnya beberapa waktu lalu. Rasanya seperti masih merasakan keberadaan Gadis tercinta itu di sana. Gadis tercinta yang hingga kini belum juga dapat ia temui.
Lantaran pening di kepalanya kian memuncak, Daniel sedikit merembet.
“Tunggu! Siapa sih!” teriak Daniel. Susah payah dia berusaha agar suaranya tidak bergetar.
Tidak ada sahutan dari luar.
Daniel memerangi rasa jengkelnya.
“Sudah ganggu Orang tidur, nggak mau nyahut, lagi!” gerutu Daniel lagi.
Ketukan pintu kembali terdengar.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $