Keputusan Stephanie. Apakah Sudah Final? (1)

2251 Kata
Beberapa saat sebelumnya di kediaman Keluarga Ardi..   Stephanie menatap daun pintu kamar yang tertutup. Cleo yang barusan menutupnya. Tadi ketika kembali ke kamar yang disediakan untuknya, Stephanie memang berusaha untuk tidur. Namun toh dia tak dapat semudah itu tidur, dengan segala macam pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Ia bahkan sengaja membiarkan daun pintu dalam keadaan setengah terbuka, agar dapat tetap mendengar ada percakapan apakah di luar sana.  Dan begitu mendengar langkah kaki menuju ke kamarnya, Stephanie langsung membalikkan badannya ke arah dinding dan berpura-pura sudah tidur. Lantas Stephanie merasakan ada tangan yang membentangkan selimut ke atas badannya. Dia juga merasakan sebuah punggung tangan yang ditempelkan dengan lembut ke dahi serta lehernya. Tangan lembut Cleo, yang rupanya mengecek keadaannya. Dan Cleo tak terlalu lama berada di kamar tersebut. Dia segera keluar dan menutup pintu kamar dengan sempurna. Kini rasa resah menggayuti benak Stephanie. “Astaga! Kotak itu! Aku meninggalkannya di apartemen Daniel! Tapi sungguh, aku benar-benar sedang nggak mau bertemu dengannya, apalagi setelah semua ini. Aku juga nggak tahu, apakah masih ada kemungkinan buat kami berdua melanjutkan hubungan kami,” desah Stephanie. Perlahan ia mengurut keningnya. “Dan, jadi seperti ini akhirnya? Sungguh, ini bukan akhir yang aku mau. Tapi aku harus bilang apa? Mungkin yang terpenting yang aku harus tahu adalah kamu nggak menaruh dendam ke Kak Bobby setelah apa yang ia lakukan kepadamu,” desahnya lagi. Stephanie bangkit dari tempat tidur dan menghampiri meja yang terletakdi sudut kamar. Ia meraih telepon genggamnya. Telepeon genggam yang pernah ditinggalkannya dengan amat terburu-buru di suite yang ditempati oleh Om Danny serta Ryan, saat di Hong Kong dulu. Ardi memang telah mengembalikannya kepadanya. Ia menimang-nimang telepon genggam tersebut. Kini rasanya benda itu sudah tak terlalu dibutuhkannya lagi. Terutama dalam posisinya sebagai Seorang Tenaga Marketing, di mana nomor telepon genggam amatlah penting artinya. Bagaimana mungkin para Pelanggan, Rekan kerja, terutama Sang Atasan Langsungnya yakni Alvin dapat dengan mudah menghubunginya kalau nomor telepon genggamnya berubah dan berubah lagi? Dia belum lama memakai nomor telepon genggam yang dibelikan oleh Daniel beserta perangkat telepon genggamnya, dan belum lama pula memnginformasikan perubahan nomor telepon genggam. Masakan sekarang dia harus kembali memakai nomor yang lama sebab semua barang-barangnya ada di apartemen Daniel, termasuk perangkat telepon genggamnya? “Sudahlah. Nggak apa. Aku kasih tahu Asistenku dulu. Juga info ke Rio yang menggantikan sementara tugasku. Dan rasanya aku juga kepengen seegera mungkin masuk kerja lagi. Kalau bisa, besok sudah masuk kerja.” Stephanie setengah bergumam. Dengan menggunakan nomor telepon genggam Cleo, dia memang telah memberitahukan ke kantor bahwa dirinya tengah menjalani perawatan di rumah sakit dan mungkin butuh waktu sekian hari sampai pulih sepenuhnya. Pak Alvin Sang Country Manager langsung mengirimkan bunga, dan beberapa Rekan kerjanya telah menyempatkan untuk menengoknya di sela waktu istirahat siang. Stephanie merasa beruntung, sebab mereka tidak terlalu banyak bertanya apa yang terjadi, dan juga tidak membicarakan mengenai pekerjaan. Lebih dari tadi, disebabkan menggunakan waktu istirahat siang, tentu saja tidak memungkinkan mereka untuk berlama-lama. Bayangan Daniel melintas tanpa diundang. Daniel! Ya, semenjak dirinya dirawat hingga diperbolehkan pulang, dia belum sekalipun betemu dengan Daniel. Dia tahu Bobby dan Ardi melarang Daniel menemuinya. Bahkan bisa jadi Ryan juga. Hatinya bertanya-tanya, apakah keadaan Daniel baik-baik saja? Ketika menggulir daftar kontaknya, hati Stephanie berdesir mendapati beerapa pesan Daniel yang belum sempat dia baca kala berada di Hong Kong. “Sayang semuanya sudah sia-sia sekarang. Aku dengar sendiri dari percakapan Kak Ardi, kamu masih sangat diharapkan sama Keluarganya Inge. Aku nggak tahu harus bagaimana. Tapi mungkin itu yang terbaik. Setidaknya untuk saat ini,” kata Stephanie lirih. Dibatalkannya sebuah niat yang menggodanya, untuk menghubungi Daniel. Kak Ardi sebenarnya kurang konsisten. Dia mendukung Kak Bobby yang menghalangi Daniel untuk menemuiku, tapi mau mengembalikan telepon genggam ini. Bukannya sama saja,, dengan begitu aku sama Daniel bisa saling mengontak? Apa artinya Kak Ardi percaya bahawa aku bisa cukup bijak untuk mengambil keputusan? Atau..., Kak Ardi sudah terlampau pusing dengan semua perkembangan yang terjadi dan mengabaikan kemungkinan itu? Pikir Stephanie. Sesaat Stephanie merenung dalam diam. Dan kala dia merasa sudah cukup yakin dengan apa yang harus dilakukannya, dia menghela napas panjang, dan melangkah keluar dari kamar. Langkah Stephanie terhenti ketika mendekati ruangan tengah. Bukan lantaran dirinya ragu, namun karena mendapati Ardi sudah lebih dulu menghampiri Ryan yang tampak asyik dengan gawainya. Ia menggeser posisi tubuhnya, ke balik dinding dan kembali mencuri dengar percakapan Keua Saudara Lelakinya. “Lagi ngapain, Ryan?” Ryan tak mengalihkan pandangannya dari gawainya. “Memantau perkembangan investasiku. Kecil-kecilan sih, tapi senang rasanya.” “Katanya sudah beli robot dari Temanmu.” “Ya memang, tapi kan nggak ada salahnya kalau  sering-sering cek biar tahu trend-nya.” Ardi duduk tak jauh dari Ryan. “Kamu segitu enjoy- nya main valas dan mulai mau jadi broker juga?” “Kenapa enggak? Prospeknya lumayan bagus. Tantangannya juga lumayan.” Ardi menghela napas panjang. “Kak Ardi tahu kan, Si Daniel itu malah kabarnya sudah sukses mainan beginian semenjak dia masih kuliah. Dia juga banyak punya usaha sendiri sebelum nyemplung ke bisnis utama Keluarganya.” Ardi tak berkomentar. Sepertinya dia tak tertarik menyinggung tentang Daniel di rumahnya. Tidak terpikir olehnya bagaimana Ryan justru terkesan menjadikan Daniel sebagai role model untuk sukses dalam bisnis. “Ryan, apa yang kamu kerjakan itu kan sebetulnya nggak menghabiskan waktu kamu seharian. Dan kamu juga bisa mempercayakan ke Orang lain kalau mau main saham juga.” Mendengarnya, Ryan mengalihkan pandangan matanya dari layar gawainya. “Maksud Kak Ardi apa? Seolah-olah melihat aku ini nggak ubahnya seperti Pengangguran, begitu? Seperti Orang yang main-main? Kak.., aku nggak akan membebani Keluarga. Aku harus mempunyai sumber penghasilan lain. Biar aku nggak dianggap hanya menumpang hidup di grup perusahaan Papa.” Ardi berdecak. “Kamu ini salah paham, Ryan.  Aku dan Kak Bobby justru menunggu-nunggu, kamu ini sebenarnya kapan mau mulai rutin ke kantor lagi? Kan nggak baik kalau kelamaan begini. Ayolah, jangan tinggalkan pekerjaan dan tanggung jawabmu begitu saja.” Ryan tersinggung. “Kak Ardi, apa aku masih harus berada di sana? Apa belum cukup aku dipermalukan di tempat tinggal milik Orang tuaku, yang meski aku ini hanya Anak Pungut, dengan diusir dan dimaki begitu kasar di depan Anak Kost? Kak Ardi mau aku juga diusir dari kantor, sama Istrinya Kakaknya Kak Ardi?” Ada nada getir dalam Suara Ryan. Stephanie merasa ada yang menyenak di dadanya. Anak Pungut. Kamu ini apa-apaan sih Ryan? Kamu mau buat Papa dan Mama sedih, mendengarnya? Kata Stephanie dalam hati. Ardi menepuk pundak Ryan. “Hei. Jangan berkata seperti itu. Apa bedanya kamu sama aku?” “Jelas beda. Kak Ardi itu Anak Kesayangannya Papa.” “Jangan berkata seperti itu, Ryan. Nanti istirahat Orang Tua kita nggak tenang.” Ryan terdiam. Yang terbayang olehnya lebih dahulu adalah wajah Sang Mama, Bu Gabby, lantas wajah Pak Tristan. Terakhir, wajah Ibu kandungnya. “Itu kan kenyataan. Kak Ardi itu menjadi Sosok Panutan di keluarganya kita. Papa sangat bangga sama Kak Ardi. Dan sebenarnya aku dan Steph juga. Beda sama aku Kak. Kalau aku ingat bagaimana aku diusir dan jati diriku dibuka di depan Anak Kost lalu direndahkan demikian rupa, kadang nggak habis pikir, itu Perempuan maunya apa sih? Kadang aku iri sama Kak Ardi, karena aku jamin, Si Perempuan gila itu nggak bakalan berani mendekat apalagi memperlakukan Kak Ardi seperti dia memperlakukan aku. Mulutnya itu terlalu jahat. Menghina Ibu kandungku pula.” “Ryan, jangan suka menghitung berkat Orang lain. Menurutku kita semua sama. Sama-sama beruntung karena menjadi Anaknya Papa dan Mama. Dan kalau kamu masih merasa perlu iri, aku ingatkan ke kamu, kamu ini masih tahu Keuarga Ibu kandungmu. Kamu tahu di  mana makamnya. Beda dengan aku. Aku berada di Panti Asuhan dan kalau tidak pernah diangkat anak oleh Papa dan Mama, sudah nggak tahu kehidupanku seperti apa. Aku nggak tahu di mana Orang Tua Kandungku, dan andai mereka sudah meninggal pun, aku nggak tahu di mana makam mereka.” “Maaf, Kak. Aku nggak bermaksud untuk membuat Kak Ardi sedih.” “Sudah, sudah. Bukan itu yang aku maksud. Jadi begini Ryan, justru karena kita sudah diberikan kehidupan yang baik oleh Papa dan Mama, apa salahnya kita menjaga peninggalan Papa dan Mama? Kalau bukan kita, Anak-anak Lelakinya, lalu Siapa yang akan meneruskan usaha Papa? Kak Bobby nggak akan bisa menangani semua lini sendiri. Lihat saja, selama ini dia sudah begitu fokus ke urusan bisnis, pontang-panting kesana kemari dan sering berada di luar kota atau luar negeri untuk memperluas jaringa, akhirnya sampai nggak tahu seperti apa Kak Hera di belakang dia.” Ryan terdiam. Stephanie sendiri juga hanya mampu menelan ludah. Anak Lelaki. Tegas sekali perkataan Kak Ardi. Dulu aku kerap tersinggung dan berkecil hati karena terlahir sebagai Anak Perempuan. Tetapi setelah semua fakta terkuak, aku justru tersanjung. Sepertinya Papa memang sudah memperkirakan dengan baik dan tak mau menuntut aku untuk turut serta membesarkan bisnis keluarga. Papa justru meletakkan tanggung jawab itu pundak Anak-anak lelaki Papa dan membebaskan aku, Si Anak Perempuan yang terus salah paham padanya, untuk menentukan pilihanku sendiri. Pantas saja Papa sampai meninggalkan dana begitu besar untukku. Papa bahkan memberikan aku kebebasan untuk melakukan apa yang aku suka atau menjalankan usaha apa saja dengan dana tersebut. Pa, maafkan aku yang nggak berbakti. Aku nggak pernah menyangka kalau Papa begitu mengenalku. Papa bahkan sudah merancangkan yang terbaik buat aku, batin Stephanie sedih. “Ryan, kamu tahu nggak, perkembangan yang terjadi di kantor?” tanya Ardi kemudian. Tetap berdiri di tempatnya bersembunyi, Stephanie menanti dengan d**a berdebar-debar. “Apa Kak?” tanya Ryan tak bersemangat. “Kak Bobby pada akhirnya melarang Kak Hera untuk datang ke kantor.” “Itu bukan berita baru, Kak. Bukannya sewaktu pulang dari Hong Kong juga dia sudah melontarkan rencana itu?” Ardi menarik napas dan mengembuskannya dengan berat. “Dan yang terjadi kemudian lebih parah dari itu. Kak Bobby nggak mau lagi Kak Hera mengintimidasi kamu sama Steph.” Ryan tertawa. Suaranya sumbang. “Ryan, kamu nggak tahu, hubungan Kak Bobby dengan Keluarganya Kak Hera jadi memburuk karenanya?” “Nggak tertarik untuk tahu. Keluarga materialistis. Merasa memiliki Prasaja grup. Malah merasa Menantu mereka adalah Pemilik Tunggal grup perusahaan itu. Ya biar saja dia ambil semua. Aku masih bisa hidup kok tanpa harus tergantung uang dari sana. Aku bisa tinggal di mana saja. Hm, apakah unit apartemen yang aku beli dari gajiku selama bekerja di sana dan sekarang aku tempati juga mau diambil Perempuan itu karena dianggap sumber uangnya juga dari sana,dulunya? Aku nggak takut hidup miskin, kok.” “Ryan, jangan kejauhan mikirnya.” “Kenyataan, Kak. Jujur, kalau ada Orang yang bertanya ka aku hal yang paling pahit dalam hidup aku itu, bukanlah saat aku tahu bahwa aku ini hanya Anak Pungut. Tapi peristiwa aku diusir dan dipermalukan. Aku gagal paham, kerugian apa yang sudah aku buat untuk Si Perempuan gila itu dengan Keluarganya, sampai dia sedendam itu ke aku?” “Hei, hei! Berhenti menyebut dirimu Anak Pungut. Ryan, Kak Bobby juga ingin kamu kembali ke rumah Kemang kalau Stephanie sudah benar-benar sembuh nanti. Siapa lagi yang akan menjaga dan merawat rumah kenangan itu kalau bukan kamu? Sudah semestinya kamu yang bukan hanya berhak, tapi juga wajib, mengurusinya.” Ryan diam bebrapa detik, lalu menyindir, “Kak Ardi sudah mulai jadi Juru Bicara Kakaknya yang satu itu rupanya.” Ardi mendesah. “Ryan, berhentilah bersikap sinis ke Kak Bobby. Kalian hanya kurang banyak komunikasi saja. Kak Bobby memang pembawaannya sering grusa-grusu,  dan kadang kesulitan untuk menyampaikan pemikirannya ke kita. Ya di samping karena sibuk, memang gayanya dia berbeda. Kadang tanpa pikir panjang. Untung saja kalau menyangkut keputusan bisnis nggak seperti itu. Yang jelas, Ryan, karena belakangan ini, terutama semenjak pulang dari Hong Kong, juga selama beberapa malam kami kebetulan berbagi kamar di sana, dia mulai banyak mengobrol sama aku. Dia itu sangat sayang sama kita semua. Dan dia sangat menyesal akan semua yang terjadi. Dia menganggap itu adalah kelaiannya.” “Hm. Akrab sekarang. Hati-hati saja, jangan sampai ketularan kebiasannya yang suka bicara kasar.” “Ryan..!” “Dan satu lagi, jangan kasih Kak Cleo dekat-dekat sama itu Perempuan. Jangan sampai kak Cleo diubah jadi seperti dia.” Ardi menggeleng. “Nggak usah melebar kemana-mana, Ryan. Lagi pula aku bisa pastikan, Cleo nggak seperti itu. Nggak akan.” “Makanya. Jagain tuh Istrinya, jangan kasih akrab sama mereka.” Ardi mengibaskan tangan, merasa pembicaraan telah melenceng begitu jauh. “Ryan, kamu tahu apa yang dilakukan Kak Bobby hari ini?” “Nggak tahu. Tepatnya nggak mau tahu.” “Oh, ayolah. Aku tahu nggak mudah untuk memperbaiki hubungan persaudaraan yang sudah telanjur terusik. Perlu waktu. Perlu proses. Tapi alangkah baiknya kalau kita usahakan terus. Dan itu nggak bisa sepihak, Ryan. Kak Bobby sudah berusaha.” Ryan mendengkus. “Berusaha apa?” “Untuk memastikan kenyamananmu sewaktu kembali berkantor. Sampai-sampai menurutku agak keterlaluan. “Apa?” tanya Ryan malas-malasan. “Kak Bobby mencopot semua jabatan Kak Hera di semua grup perusahaan Prasaja. Supaya nggak ada alasan untuk Kak hera merecoki urusan pekerjaan lagi.” Ryan terkesima. Dan di balik dinding, Stephanie tak kalah terperanjat. “Dan dia harus membayar mahal untuk itu.” “Apa?” kali ini pertanyaan Ryan terdengar pelan. Efek dari rasa terkejutnya. “Mereka bertengkar hebat sewaktu Kak Bobby sampai di rumah. Dan kabarnya Kak Hera meninggalkan rumah.” Tentu saja Ryan terperangah. Dia tak menyangka Kakak Iparnya sanggup meninggalkan rumah mewah yang dihadiahkan oleh Pak Tristan menjelang pernikahan Bobby dengan Hera dulu. Sesuatu hal yang sangat tak masuk akal, mengingat Wanita satu itu dikenalnya sebagai Seseorang yang senang dengan kebendaan. Itu merupakan sesuatu yang amat di luar nalarnya. * $  $  Lucy Liestiyo   $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN