Keputusan Stephanie. Apakah Sudah Final? (2)

2222 Kata
Ya ampun. Kasihan juga Kak Bobby. Aku memang masih jengkel atas perlakukan Kak Bobby ke Daniel. Tapi tahu apa yang sedang menimpa Kak Bobby sekarang, rasanya aku terlalu egois kalau terus memusuhinya. Toh..., Danielnya sendiri juga sudah..., ah! Aku nggak mau mikirin itu sekarang! Batin Stephanie dengan perasaan miris. Tak dapat dibayangkannya betapa sulit Posisi Bobby saat ini. Selain harus memimpin Perusahaan, mengatasi persoalan dengan Kedua Adiknya, lantas kemelut rumah tangganya ditambah pula dengan tindakannya yang semula ingin meredakan ketegangan dengan Sang Adik dengan menonaktifkan Sang Istri di Perusahaan, namun malah membuat hubungan dengan Istri serta mungkin saja Keluarga dari Istrinya, kian runyam saja. “Oooh..., terus?” tanya Ryan dengan nada rendah. “Aku belum tahu kabar selanjutnya. Tapi yang jelas, Kak Hera itu baru beberapa saat lalu pergi. Mungkin saat kita lagi ngobrol bertiga tadi. Kenapa aku menyampaikan hal ini, Ryan, supaya kamu tahu situasi sekarang? Pasti konsentrasi Kak Bobby akan terpecah. Makanya Kak Bobby minta tolong supaya aku..., dan kamu, lebih banyak mendukungnya dalam memantau kegiatan usaha. Sekarang, tepatnya hari ini, peran Kak Hera kan sudah nggak ada lagi. Ya meskipun mungkin Kak Bobby mempunyai pemikiran yang berbeda. Masa kita biarkan Kak Bobby berjuang sendiri?” Ryan belum menanggapi. Namun tak urung, sebuah perasaan empati menyusup di hatinya. “Sudah ketahuan belum, Istrinya pergi kemana?” tanya Ryan pelan. Ardi menggeleng. “Kak Bobby bilang, kemungkinan kembali ke rumah Orang tuanya. Dan kita bisa perkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya, kan? Pasti Keluarganya Kak Hera nggak akan tinggal diam.” Stephanie keluar dari tempat persembunyiannya. “Kak Ardi, jadi Kak Bobby bertengkar hebat sama Kak Hera?” tanya Stephanie. Mendadak saja, rasa kesalnya kepada Bobby bagai terangkat. Dia paham bagaimana sulitnya keadaan Bobby saat ini. “Hei Steph. Duduk sini,” suruh Ardi sambil menepuk sofa. Dia menggeser posisi duduknya sedikit. “Kasihan Kak Bobby,” ucap Stephanie lirih. “Sini,” kata Ardi, mengulang. Stephanie duduk di antara Ryan dan Ardi. “Kamu sudah nggak marah sama Kak Bobby, kan?  Tadi dia itu sangat menahan diri, nggak mau membuat hati kamu kesal. Dia sadar itu nggak baik buat kesehatanmu. Jadinya dia mau menuruti saranku untuk nggak muncul di rumah sakit. Kak Bobby mau kasih kamu waktu untuk meredakan kemarahanmu ke dia. Tapi Kak Bobby sangat menyesal karena nggak sengaja melukai kamu, Steph,” ucap Ardi. Stephanie mendesah enggan, lalu menatap Ryan. “Ryan, kalau menurutku, sebaiknya memang kamu rutin ngantor lagi.” Ardi menyipitkan matanya, sementara Ryan menatap Stephanie sesaat. “Nanti aku pertimbangkan. Aku kabari secepatnya.” Ardi menarik napas lega. “Aku senang mendengarnya, Ryan. Kak Bobby juga pasti senang kalau tahu ini.” Ryan mengangkat bahu. “Dan seperti kata Kak Ardi, ada baiknya kamu kembali ke rumah Kemang.” Ryan mengernyitkan alisnya. “Hei..., hei! Ini dua lawan satu? Atau..., malahan tiga lawan satu?” Namun kemudian dia menyentuh pundak Stephanie. “Kalau kamu yang minta, pasti aku turuti.” “Bagus,” ucap Stephanie. Ardi tersenyum. “Tahu begitu Steph saja tadi yang bicara ya,” celetuk Ardi. “Itu karena aku nggak mau dia pergi lagi. Seenaknya menghilang dan nggak kasih tahu tinggal di mana. Disangkain dia kita nggak pada panik apa.” “Yang duluan bersikap begitu Siapa ya? Coba deh, diingat-ingat,” ucap Stephanie ringan. Ryan berdecak. “Apa sih! Alasannya kan berbeda. Aku kan yang disutuh pergi alias diusir.” Ardi lekas mengibaskan tangannya. “Sudah jangan ngomongin itu lagi. Bagaimana kamu bisa memaafkan hal itu dan melupakannya kalau diungkit terus,” tegur Stephanie. Ardi cukup takjub. Hanya Stephanie yang bisa bicara selugas itu dengan Ryan. “Ngomong-ngomong, aku butuh bantuanmu, Ryan. Kamu lagi sibuk nggak?” “Bantuan apa? Dengan senang hati.” Stephanie menarik napas panjang sebelum menjwab dengan berat, “Tolong ambilkan barang-barang aku di apartemennya Daniel. Dari semua yang ada di sana, yang paling berharga adalah kotak peninggalan Papa. Dan sebetulnya nggak susah untuk membawa barang-barang aku kok. Kan memang sebelum kejadian, aku sudah bersiap untuk kembali ke rumah Setia Budi. Jadi hampir semua sudah dikemas. Sudah masuk koper.” “Oh. Itu saja . Boleh. Mau sekarang?” Stephanie mengangguk. “Aku rasa lebih cepat lebih baik. Kamu sempat buat ke sana, sekarang?” tanya Stephanie. “Sempat. Kasih aku alamatnya.” Ardi mendengarkannya dengan saksama. Dia menerka-nerka dalam diam, apa gerangan rencana yang ada di kepala Stephanie. “Sebentar, ada yang mau aku pesankan dulu.” “Apa?” “Kamu tolong pastikan keadaan Daniel baik-baik saja setelah peristiwa pemukulan itu.” Ardi langsung melipat kedua tangannya walau tak mengatakan apa-apa. “Hm. Dia baik-baik saja, kok. Aku sudah menyarankan dia untuk memeriksakan diri saat dia berada di rumah sakit sih. Tapi dia menolak. Tapi aku sempat bicara sama dia di kafetaria. Menurutku, dia baik-baik kok.” “Syukurlah kalau begitu. Aku nggak enak hati. Tolong sampaikan permintaan maafku ke dia. Sekaligus tolong sampaikan terima kasih, karena dia sudah banyak membantuku selama ini. Dia yang kasih aku tumpangan, dia yang mengalah keluar dari unit yang dia tempati, dia juga yang akhirnya kena pukul Kak Bobby.” Ardi berusaha menduga kemana arah pembicaraan Stephanie. “Steph, kamu...? Maksudnya, kalian berdua itu???” tanya Ryan dengan bingung. Stephanie mendesah pelan. “Aku pikir, memang sebaiknya aku sama Daniel nggak usah ketemu dulu. Atau..., mungkin selamanya.” Gumaman Stephanie demikian lirih, namun telinga Ardi menangkapnya dengan amat jelas. Di telinga Ardi, apa yang digumamkan oleh Stephanie barusan itu sungguh membingungkan. Jauh melebihi apa yang dapat ia perkirakan. Dia jadi menerka-nerka sendiri, apakah sebenarnya Stephanie serumit itu hubungan Stephanie dengan Daniel. Dan meski dia akan lebih senang jika Stephanie dan Daniel sungguh-sungguh putus hubungan, toh dia tak mungkin setega itu mengatakannya secara verbal. “Steph..., apa yang terjadi? Kamu salah paham sama dia? Atau apa? Sewaktu di rumah sakit kamu masih begitu ngotot untuk tahu keadaannya. Apa dia memperlakukanmu dengan buruk selama dia menyembunyikanmu? Apa kamu juga sudah tahu kalau dia dan Mantan Tunangannya itu..., semacam ..., eng..., masih menjalin hubungan?” Stephanie memejam mata, terkenang peristiwa dirinya dilabrak oleh Inge. Sesuatu hal yang tentu tak ingin ia bagikan kepada Semua Saudaranya. Dia ingin menyimpan semua itu untuk irinya dan Daniel saja, karena tak ingin keruwetan terus berlanjut. “Hei, Steph. Apa Daniel menyakitimu? Apa yang terjadi dengan kalian sebenarnya? Jangan-jangan...!” Ryan memutus kalimatnya lalu menatap pada Ardi. Tatapan mata Ryan seolah berkata, “Apa mungkin Steph sudah sempat menghubungi Daniel? Ya, bukankah Kak Ardi sudah meletakkan telepon genggamnya di kamar? Aku melihatnya saat baru datang dari rumah sakit tadi.” Stephanie menekan keengganannya agar tak mencuat ketika dia melanjutkan dengan suara bergetar, “Aku nggak mau ngomongin soal ini. Yang jelas, dia baik kok ke aku. Itu saja. Hanya saja dengan keadaan yang sekarang, sangat nggak memungkinkan buat kami berdua untuk ..., ngotot dengan hubungan ini. Terlalu rumit.” Ryan tertegun. “Sudah, itu saja yang aku mintakan tolong ke kamu. Dan seandainya dia tanya soal keadaanku, bilang saja aku sudah sembuh.” Ryan sudah tak mendengarkan lagi. Entah mengapa, dia kurang suka dengan ‘keputusan’ Stephanie ini. Stephanie lantas menyebutkan nama dan alamat apartemen di mana Daniel tinggal. “Karena aku nggak tahu dia masih di unitnya yang lain atau sudah kembali ke unit yang kau tempati, kamu telepon dia dulu saja kalau kamu sudah sampai. Nomor teleponnya..” ... “Nggak usah, Aku tahu kok,” potong Ryan. “Kamu tahu? Dari mana?” tanya Ardi, lantaran seingatnya dia tak pernah memberikan nomor telepon genggam Daniel kepada Ryan. “Kami sudah sempat bertukar nomor telepon genggam sewaktu di kafetaria rumah sakit.” Ardi manggut. “Aku mandi dulu. Nanti setelah mandi aku langsung ke sana,” ucap Ryan sambil bangkit dari duduknya. “Oke. Nggak apa. Kalau terlalu cepat ke sananya juga takutnya dia belum pulang kerja,” kata Stephanie datar. Dan mendadak rasa rindu itu menyapa. Pulang kerja. Kata itu seperti membangkitkan kenangan manisnya selama bulan-bulan terakhir mereka pergi dan pulang bekerja bersama. Berada dalam satu kendaraan, mengobrol dan kadang menyanyi bersama mengikuti lagu yang tengah diputar di radio. Dan tak jarang, ketika Daniel tidak sempat untuk sarapan, Stephanie bahkan menyuapinya di dalam perjalanan, sebab Daniel harus menyetir. Stephanie menggigit bibirnya. Hatinya terasa sedih. Apa boleh buat Dan. Keadaan Keluargaku sedang seperti ini. Kamu sendiri juga..., ah! Sudahlah! Aku nggak pernah membayangkan kalau akan seruwet ini hubungan yang harus kita jalani. Dan aku..., rasanya nggak enak sekali memikirkan bahwa hati kamu juga bercabang. Dan..., how could you? Kita sudah pernah berjanji untuk menghadapinya bersama. Tapi apakah hasrat itu cukup kuat dalam kondisi sekarang ini? Aku nggak yakin...!  keluh Stephanie dalam hati. “Kak Ardi, aku merasa sudah sehat. Aku kepengen balik lagi ke rumah Setia Budi. Aku juga harus secepatnya bekerja lagi,” kata Stephanie setelah Ryan meninggalkan mereka berdua. Ardi tercengang. “Steph! Jangan dulu. Kamu istirahat dulu beberapa hari sampai benar-benar pulih. Nanti setelah itu biar diobservasi lagi. Luka kamu itu di kepala, Steph. Jangan main-main. Dan kamu begitu bekerja, pasti pulangnya bakal malam-malam. Aku nggak bisa memercayakan kamu ke Bi Sum, sebelum memastikan kamu sudah pulih,” cegah Ardi. “Tapi Kak Ardi, aku nggak bisa lama-lama di sini,” kata Stephanie. “Nggak bisa lama-lama kenapa? Kamu nggak betah ya, di sini Dek? Padahal kita saja belum ngobrol-ngobrol,” tegur Cleo halus. Entah sejak kapan dia tiba di ruang keluarga. Stephanie menatap wajah Cleo yang berjalan menghampirinya. Dia bergeser, membiarkan Cleo duduk di sebelahnya. “Bukan begitu Kak Cleo. Kerjaanku itu banyak sekali. Mana bisa aku tinggalkan lama-lama. Dan lagi, aku nggak bisa diam-diam terus begini.” “Duh duh duh, Steph. Kamu itu baru juga tiga hari nggak masuk kerja. Pokoknya kamu di sini dulu. Sampai benar-benar pulih. Kenapa sih, kamarnya kurang nyaman, ya?” “Kak Cleo ini, ngomong apa sih. Enggak lah Kak. Ya deh, aku sampai akhir minggu ya di sini. Terus nanti aku mau menginap satu hari di rumah Kemang, menemani Ryan. Biar dia mau pulang ke rumah Kemang. Setelah itu aku balik ke rumah Setia Budi ya.” Mata Cleo membulat. Dia bertukar pandang dengan Ardi. “Ryan mau pulang ke rumah Kemang? Syukurlah.” “Nggak cuma itu. Dia juga mau mempertimbangkan untuk ngantor lagi. Berkat dia, tuh,” kata Ardi, menunjuk Stephanie dan tersenyum bangga. Cleo merangkul Stephanie dan mengelus pundak Gadis itu dengan sayang. “Terima kasih ya. Pokoknya Kak Cleo senang kalian berdua sudah kembali ke rumah. Kalau ada masalah atau apa, tolong bicarakan sama kami dong Dek. Jangan main menghilang begitu. Kami cemas. Nih, kamu nggak kasihan apa sama Keponakan kamu? Dia ikut mikirin kamu,” ujar Cleo sambil mengelus perutnya. Spontan, Stephanie ikut mengelus lembut perut Cleo dan tersenyum. Ardi akhirnya berkata, “Kalau kamu mau menginap sehari di rumah Kemang, boleh saja. Dari Kemang kemari kan dekat. Paling-paling enam sampai delapan menit. Tapi kalau mau ke rumah Setia Budi, nanti dulu ya Steph.” Stephanie menatap protes. Ardi pura-pura tak tahu. Bagaimana kalau nanti Daniel menemuinya lagi di rumah Setia Budi? Bagaimana kalau Steph sedang bersandiwara sekarang ini, dan bersikap seolah dia mau mengakhiri hubungan? Bagaimana kalau nanti Steph dipermainkan sama Daniel? Berbagai pemikiran negatif menghinggapi serentak kepala Ardi. Tak mau membiarkan Dua Kakak beradik itu kembali berdebat, Cleo mengambil alih situasi. “Dek, kamu masih suka mpek-mpek Megaria, kan? Tadi Kak Cleo pesankan buat kamu. Pasti sebentar lagi sampai. Kak Cleo juga pesankan bubur Cikini kesukaanmu.” “Jauh amat pesan mpek-mpek sama buburnya, Kak.” “Nggak apa, mumpung kita kumpul-kumpul. Kan itu kesukaannya kamu, Dek. Nanti kita makan sama-sama.” Tampaknya usaha Cleo untuk mengalihkan pembiaraan berhasil. Mereka segera mempercakapkan hal ringan lainnya. “Lho, Ryan, mau kemana?” tanya Cleo saat Ryan melintas dan memutar-mutar kunci mobil di jarinya. “Dia mau ambil barang-barnag Steph di apartemennya Daniel,” sahut Ardi. “Oooh..” “Kak Ardi, Kak Cleo, aku jalan dulu, ya. Steph, ada pesan lain nggak buat Daniel?” tanya Ryan. Stephanie hanya menggeleng. “Oke, aku jalan dulu,” kata Ryan. Cleo mencermati ekspresi wajah Stephanie, berusaha membaca perasaan Gadis itu. Namun sebelum dia mendapatkan petunjuk yang lebih jelas, Stephanie sudah berkata, “Aku juga mau mandi dulu.” Ada rasa hampa yang menyelinap di benak Stephanie. Ada ruang kosong yang terbentuk di hatinya. Ada rasa kehilangan yang menyergapnya begitu saja. Ya ampun. Baru saja aku mengambil keputusan ini, mengapa sudah terasa begitu beratnya? Apa aku bisa melalui semua ini? Dan mengapa nggak ada cara lain yang lebih baik untuk mengakhiri ini semua? Keluh Stephanie di dalam diamnya. Seolah terhubung dalam frekuensi yang sama, dengan dirinya di dalam perjalanan pun Ryan tak sanggup memahami mengapa Stephanie berubah pikiran begitu cepat. Apa jangan-jangan dia juga sudah membaca sejumlah berita tentang Daniel dan posingan dari Mantan Calon  Mertuanya Daniel dan dia akhirnya memutuskan untuk menjaga jarak dengan Daniel? Rasanya mustahil. Steph bukanlah Orang yang bisa meninggalkan Orang yang dia cintai untuk berjuang sendirian. Apalagi pada saat begini. Atau..., adakah sesuatu hal yang aku nggak tahu? Pikir Ryan. “Akan aku korek keterangan dari Daniel. Toh sebentar lagi aku bakal ketemu dia,” gumam Ryan dengan yakin akhirnya. Dia mempercepat laju kendaraannya. Dia tak tahu saja, akan ada sesuatu hal yang bakal mengubah pemikirannya tentang Daniel sekaligus membuatnya berpikir ulang tentang apa yang akan dia lakukan, setibanya di apartemen yang ditempati oleh Daniel. * $  $  Lucy  Liestiyo  $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN