“Bagaimana bisa—bagaimana bisa kamu menghamili dia?” Suara Anaya bergetar, dipenuhi emosi yang menyesakkan d**a. Tatapannya menusuk Galindra, nanar dan penuh luka. “Kalian bahkan nggak saling mencintai. Aku percaya itu. Sharvani punya kekasih, sama seperti kamu yang punya aku. Tapi kenapa? Kenapa, Gal?!” Galindra terdiam. Tak satu kata pun sanggup meluncur dari bibirnya. Kepalanya tertunduk, seperti terdakwa di ruang interogasi—berbanding terbalik dengan sosoknya yang biasa tampil garang dan percaya diri di pengadilan. Barulah dia memahami, inilah rasa bersalah yang sesungguhnya. Tak sanggup membela diri. Hanya bisa diam, dengan lidah terasa kelu dan penyesalan yang membakar dari dalam. “Jawab aku!” bentak Anaya. Tangisnya meledak. Make up di wajah cantiknya kini mulai disapu oleh air m