BAB 09 : Kejujuran Galindra

1440 Kata
Setelah urusan kontrak rampung, langkah berikutnya yang harus mereka tempuh adalah bersikap jujur—terutama kepada pasangan masing-masing. Menutupi kehamilan Sharvani bukanlah pilihan, apalagi saat mereka tahu bahwa waktunya berpisah sudah tiba. Lambatnya proses sidang perceraian pasti akan menimbulkan tanda tanya besar dari Jefandra maupun Anaya, mengingat seharusnya tak ada kendala berarti, apalagi konflik yang bisa mempengaruhi putusan hakim. Jadi, sebelum keduanya ditodong pertanyaan serupa, Sharvani dan Galindra sepakat untuk terlebih dahulu memberitahu pasangan masing-masing. Jelas ini bukan perkara mudah, tetapi karena merekalah yang telah melakukan kesalahan, sudah sepantasnya mereka bertanggungjawab dan menghadapi apa pun konsekuensinya. “Kau atau aku yang bicara lebih dulu?” tanya Galindra suatu sore. Dia sengaja mampir ke kafe Sharvani sepulang kerja untuk membahas hal ini. “Kamu saja, Mas. Aku masih perlu mengumpulkan keberanian,” jawab Sharvani pelan. “Jefandra cukup sensitif belakangan ini. Tanpa aku bicara soal kehamilan pun, kami sudah sering bertengkar.” “Situasi kita juga tak jauh berbeda, Vani. Anaya memang terlihat tenang dan dewasa, tapi dia tidak akan bisa mentolerir kesalahan sebesar ini.” “Lalu, bagaimana sekarang?” Sharvani mendesah putus asa. “Aku juga nggak mau terus merahasiakannya. Menyembunyikan sesuatu terlalu lama rasanya bisa membuatku gila.” Dia lalu memijit pelipisnya yang terasa berdenyut akibat terlalu banyak beban pikiran. “Entah sejak kapan hidupku jadi serumit ini. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali menikmati hari-hari yang tenang, Mas.” “Andai saja malam itu kita tidak mabuk,” gumam Galindra, menatap kosong ke depan. Sedang menerawang. “Mungkin sekarang satu-satunya masalah kita hanya menghadapi amarah orang tua soal perceraian.” “Rasanya lebih baik menghadapi kemarahan mereka daripada masalah ini, ya, Mas?” “Ya. Kekecewaan sudah pasti mereka rasakan, tapi aku yakin, untuk mendapatkan maaf dari mereka tidaklah sulit. Seiring waktu, mereka akan belajar menerima. Ini hanya soal waktu, Vani,” jawab Galindra. Sharvani membayangkan skenario itu—wajah murka kedua orang tuanya, mereka berdua yang berlutut meminta maaf sambil menjelaskan alasan di balik perceraian. Tentu saja itu akan menjadi pukulan besar bagi orang tua mereka, tapi karena merasa bersalah telah secara paksa menjodohkan, tak ada jalan lain selain menerima keputusan yang telah diambil Sharvani dan Galindra. “Dan nanti, kita akan melihat Mama kita menangis, Mas,” lirih Sharvani sedih. “Sudah pasti aku akan menyalahkan diriku sendiri, Vani. Tapi, entah kenapa, itu terasa lebih mudah daripada menghadapi kekecewaan Anaya yang merasa dikhianati untuk ke sekian kalinya.” Galindra menghela napas berat, seolah rasa sesak menyelusup di dadanya. “Aku tahu ini terdengar seperti anak durhaka, tapi kurasa sudah waktunya aku berhenti hidup dalam kendali orang tuaku. Aku tidak bahagia menjalani hidup yang mereka atur. Sekarang, aku hanya ingin mengejar kebahagiaanku sendiri.” “Serba salah ya, Mas. Nggak nurut, kita dibilang durhaka. Nurut pun tetap nggak bahagia.” Galindra kembali menghela napas, dan kali ini dia hanya mengangguk. Energinya terasa terkuras habis setiap kali membicarakan kerumitan hidup mereka. Andai bisa memilih, dia lebih rela bergelut dengan tumpukan berkas perkara ketimbang menghadapi ini. Segunung kasus mungkin bisa selesai jika ditangani dengan benar, tapi yang ini … entah kapan ada ujungnya. Beberapa saat hening berlalu, sampai akhirnya terdengar ketukan di pintu ruang kerja Sharvani. Tak lama kemudian pintu terbuka dan Regina muncul, membawa nampan berisi es americano, jus semangka, dan beberapa potong kue. Dia sempat mengernyit merasakan hawa ruangan yang tegang dan berat, namun tetap memberanikan diri melangkah masuk. “Maaf ganggu, Kak. Kupikir kalian butuh minum biar ngobrolnya nggak seret,” ujar Regina sambil menyunggingkan cengiran khasnya. Dia lalu meletakkan gelas-gelas di hadapan mereka. “Buat Kak Galindra es americano, Kak Vani jus semangka. Semoga suka.” “Makasih, Regi,” ucap keduanya bersamaan. “Sama-sama. Ngomong-ngomong, kalian ngobrolin apa, sih? Serius banget kelihatannya.” “Eh, kamu nggak boleh kepo. Sana balik kerja,” usir Sharvani ketus. “Ih, Kak Vani!” Regina protes sambil manyun. Dia memeluk nampan yang kosong, lalu menambahkan dengan nada dramatis, “Aku tebak kalian tadi debat, ya? Sebagai orang luar yang statusnya masih anak-anak dan belum pernah jadi istri orang, saranku cuma satu: kalian harus baikan. Anak di perut Kak Vani bisa ikut stres kalau orang tuanya lagi tengkar.” Galindra spontan tertawa mendengarnya, sementara Sharvani langsung memelototkan mata. “Sok tahu banget kamu, Gi. Balik ke bawah, gih. Kafe lagi ramai, sempat-sempatnya ceramah.” “Iya-iya, ini aku pergi,” decak Regina sambil berbalik, tapi sebelum benar-benar melangkah ke luar, dia kembali menambahkan, “Tapi aku serius, Kak. Harusnya kalian lagi senang-senangnya karena dikasih anak. Di luar sana masih banyak pejuang garis dua, lhooo.” “Regiiiiii!” seru Sharvani dengan nada setengah kesal. Detik itu juga Regina langsung kabur, setelah masih sempat-sempatnya memamerkan jari membentuk huruf V dan deretan giginya yang putih dan rapi kepada Sharvani. Kekesalan Sharvani tentu saja langsung naik dua kali lipat. Memang dasar karyawan lancang, gerutunya dalam hati. Tak ada takut-takutnya sama sekali bercanda dengan bos. Mentang-mentang punya bos sebaik dan se-friendly Sharvani. “Lucu sekali dia, Vani,” komentar Galindra sambil tertawa. “Pasti kalian akrab, makanya dia sampai berani seperti itu.” “Begitulah, Mas. Lucu, tapi nyebelin.” Senyum makin merekah di wajah Galindra. Setidaknya, untuk saat ini, suasana hatinya sedikit membaik berkat satu orang. “Tapi harus diakui, kedatangannya tadi cukup mencairkan suasana. Jadi jangan dimarahi, ya. Dan ... apa yang dia bilang juga tidak sepenuhnya salah.” Meskipun enggan mengakuinya, Sharvani setuju. Kehadiran Regina memang memberi sedikit penyegaran di tengah tekanan yang mereka rasakan. Maka, dia pun mengiyakan permintaan Galindra. “Eh, silakan dinikmati yang udah tersaji di hadapan Mas,” ucap Sharvani kemudian, sambil menunjuk ke arah kue dan kopi yang ada di depan Galindra. Pria itu membalas dengan anggukan ringan. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, Galindra tiba-tiba angkat suara di sela-sela menyesap americanonya. “Vani, kurasa ... aku yang akan bicara duluan pada Anaya. Sekarang urutan sudah tak lagi penting, karena yang paling penting adalah ... bagaimana reaksinya setelah mendengar semuanya nanti.” Sharvani yang sedang menyeruput jus semangka langsung tersedak. Setelah batuk beberapa kali dan mencoba menenangkan diri, dia menatap Galindra cukup lama. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, selain hanya anggukan pelan yang terbata sebagai respons. Ya, Galindra benar. Ini bukan tentang siapa yang bicara lebih dulu—melainkan bagaimana pasangan mereka menerima kenyataan itu nanti. *** Makan malam romantis di restoran bintang lima, setangkai bunga dan seuntai kalung yang indah, serta pujian ‘cantik’ dari Galindra saat menjemputnya—semuanya membuat Anaya merasa malam ini begitu sempurna. Pria itu memang bukan tipe yang gengsi menunjukkan rasa sayang, hanya saja momen seperti ini jarang terjadi. Lagi pula, mereka bukan pasangan baru yang haus akan perhatian manis semacam ini. Tentu saja Anaya bahagia dengan perlakuan Galindra. Meski begitu, sempat terbersit rasa heran—ada apa sebenarnya? Apakah ini pertanda baik? Mungkinkah Galindra sudah resmi bercerai dan kini ingin merayakan bersama dirinya? Namun, semua pertanyaan itu hanya mengendap di benaknya. Anaya memilih menikmati malam itu tanpa mempertanyakannya lebih jauh. Cepat atau lambat, Galindra pasti akan mengungkapkannya sendiri. “Suka dengan semua yang kusiapkan?” tanya Galindra sambil mendekat, setelah mereka selesai menyantap hidangan utama. Kini dia menyelipkan rambut Anaya ke belakang telinga sebelum menggenggam tangannya dengan lembut. “Ya, ini sempurna, Sayang.” Galindra tersenyum tipis, meski jemarinya yang menggenggam tangan Anaya kini mulai terasa dingin. “Aku senang kau suka.” “Memangnya ada yang sedang dirayakan, Gal?” tanya Anaya sambil tersenyum jenaka. Pertanyaan ringan itu seketika memecah ketenangan Galindra. Dia yang semula menunduk, menatap manik mata Anaya dengan lekat, kini menegakkan punggung dan mengalihkan pandangan ke arah jendela. Di luar sana, lalu lintas tampak padat. Lampu-lampu kota menyala terang, kendaraan berlalu-lalang, menciptakan kebisingan yang entah mengapa terasa seirama dengan degup jantungnya yang berdebar tegang. “Ada apa? Aku salah bicara, ya?” tanya Anaya lagi, kini dengan nada bingung. “Bukan, bukan begitu,” sahut Galindra pelan. “Aku hanya ... ingin jujur soal sesuatu.” Anaya memiringkan kepala sedikit, tatapannya lekat namun lembut. “Tentang apa, Gal?” “Aku ... menunda perceraianku dengan Vani.” “Apa?” Anaya menatap Galindra tak percaya. “Kamu—kamu bercanda, ‘kan, Gal?” Sayangnya tidak. Galindra hanya menggeleng pelan, wajahnya muram dan sendu. “Lebih tepatnya ... perceraian kami belum bisa dilanjutkan. Karena dia ... dia ...” Galindra menarik napas panjang, lalu menelan ludah yang terasa pahit. “Vani hamil, Nay. Dia mengandung anakku.” “APA?!” Kursi di belakang Anaya terjatuh saat tanpa sadar dia melangkah mundur, dan suara debumannya terdengar nyaring di dalam restoran yang hanya ada mereka. Matanya melebar, tubuhnya membeku, dan dalam sekejap ... dunia Anaya seolah runtuh tepat di hadapannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN