BAB 01 : Perayaan Perpisahan

2276 Kata
Galindra send a picture. Galindra : [Aku mendapatkannya dari klien.] Setelah membaca pesan itu, Sharvani meletakkan kain lap yang sedari tadi digunakannya untuk membersihkan meja. Dia menyapukan tangan ke apron untuk menyeka kotoran yang menempel, lalu segera membalas pesan tersebut. Sharvani : [Ingin merayakannya dengan sebotol tequila? Baiklah, aku menyiapkan kue.] Setelah menekan tombol kirim, Sharvani menyimpan ponselnya kembali ke dalam kantong apron dan melanjutkan pekerjaannya membersihkan meja. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Hari ini, kafenya tutup lebih awal karena ada janji yang tak bisa dibatalkan dengan Galindra. Dia harus tiba di rumah lebih dulu sebelum pria itu—menyiapkan makan malam terakhir mereka sebagai bentuk perpisahan, karena setelah ini pertemuan akan menjadi hal yang sulit. Baik Sharvani maupun Galindra akan kembali ke kehidupan masing-masing—kehidupan yang mereka jalani sebelum terikat dalam pernikahan akibat perjodohan. Satu tahun ternyata berlalu lebih cepat dari yang mereka bayangkan. Hari ini, adalah anniversary pertama sekaligus yang terakhir. Sharvani dan Galindra pun telah menyiapkan kado sejak lama, sengaja menyimpannya untuk dibuka khusus pada malam ini. Kesabaran mereka akhirnya membuahkan hasil. Kini, kebebasan berada di depan mata. Baik Sharvani maupun Galindra telah menantikan momen ini—perpisahan yang bagi mereka bukanlah akhir, melainkan awal yang baru. Sebuah kesempatan untuk benar-benar menjalani hidup tanpa belenggu, yang selama ini mengikat mereka dengan paksa hingga menjadi satu. “Kak, taruh saja lapnya di sana. Biar aku yang melanjutkan pekerjaan Kakak.” Seruan itu menyadarkan Sharvani dari lamunan. Dia menoleh dan tersenyum tipis pada Regina—salah satu pelayan kafenya. “Terima kasih, Regi. Aku akan berhenti di sini. Tolong selesaikan sisanya, ya.” “Oke, Kak.” “Ah, jangan lupa nyalakan lampu sebelum pulang dan pastikan semua pintu terkunci rapat.” “Baik!” Setelah itu, Sharvani melangkah menuju ruang kerjanya, melepaskan apron, lalu menyimpannya di dalam loker. Tak lupa dia mengambil tas, mengeluarkan kunci mobil, dan sekilas melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Jika lalu lintas lancar, dalam setengah jam dia sudah tiba di rumah. Sharvani berharap situasi berpihak padanya hari ini. Karena, demi apa pun, dia sudah tak sabar ingin makan malam bersama Galindra dan mengobrol panjang dengan pria itu—sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya. *** Setelah membubuhkan tanda tangan di atas namanya, Sharvani meletakkan pulpen di sampingnya dan tersenyum lega. Seolah baru saja melepaskan beban berat yang selama ini menekan bahunya, kini dia merasa jauh lebih ringan. “Bukankah ini aneh?” tanya Galindra dengan ekspresi geli. Tatapannya tertuju pada objek yang sama dengan yang tengah diperhatikan Sharvani. “Hanya kita berdua yang bahagia saat menandatangani dokumen perceraian.” “Bagi orang lain, mungkin. Tapi bagi kita, ini hal yang biasa,” sahut Sharvani, lalu melirik pria di sebelahnya. “Setelah ini, apa rencanamu, Mas? Berapa lama waktu yang kamu butuhkan sampai akhirnya bisa menikah lagi dengan Anaya?” “Belum tahu, tapi aku tidak ingin terburu-buru. Kalau terlalu cepat, orang-orang bisa berpikir aku selingkuh di belakangmu, seakan-akan aku sudah menduakanmu bahkan sebelum kita berpisah.” “Tapi kalau terlalu lama juga bukan pilihan yang tepat. Bisa-bisa keluarga malah mendesak kita untuk balikan.” Galindra tertawa, bahunya sampai bergetar. “Lucu juga, ya? Kita jadi serba salah. Hidup kita dikendalikan orang tua. Sulit rasanya membuat keputusan sendiri, kecuali untuk perceraian ini.” “Karena sebagai anak kita terlalu penurut, sudah saatnya kita sedikit memberontak.” “Pemberontakan dua orang dewasa?” Galindra mencerna kata-kata itu sejenak sebelum akhirnya kembali tertawa. “Kita terlambat melakukannya. Harusnya sejak dulu, sebelum pernikahan ini terjadi.” “Lebih baik terlambat daripada nggak sama sekali.” Sharvani kemudian menepuk pelan bahu pria itu. “Nah, karena sudah terlalu banyak bicara, bukankah kita perlu alkohol untuk merayakannya?” “Ah, Vani, untuk sesaat aku lupa.” Galindra segera bangkit, pergi ke kamar, dan mengambil sebotol tequila yang dibawanya dari kantor. Saat kembali, dia mendapati di atas meja sudah tersedia dua gelas kecil dan sepotong kue. Rupanya, Sharvani juga telah menyiapkannya. “Kau tidak sabar ingin mencicipinya?” tanyanya, sambil menunjuk botol tequila. “Benar, Mas Gale. Segera buka dan berikan gelas pertamaku.” Galindra terkekeh mendengar permintaan itu, tapi tetap menuruti Sharvani. Dia menuangkan tequila ke dalam dua gelas, lalu meletakkan botolnya di meja. “Pelan-pelan saja, nikmati minumannya.” “Ya.” Sharvani mengangguk, mengangkat gelasnya lebih dulu sambil menunggu Galindra. “Cheers.” “Cheers,” sahut Galindra, mengikuti gerakannya. Dia tersenyum miring sebelum menambahkan, “Selamat atas perceraian kita.” “Selamat atas perceraian kita!” ulang Sharvani sebelum meneguk minumannya hingga tandas. Sensasi panas segera mengalir di tenggorokannya, membuatnya mengernyit sesaat. Ah, sudah lama dia tidak merasakan ini—terakhir kali adalah sebelum pernikahannya dengan Galindra. “Kau sesuka itu sampai tidak berhenti tersenyum?” “Ya,” jawab Sharvani. Sambil memperlihatkan tatapannya yang polos dan barisan giginya yang rapi, dia menyodorkan gelas kosong. “Boleh minta lagi, Mas?” Galindra terkekeh, mengambil botol tequila dan menuangkannya. “Wah, Vani, aku tidak tahu ternyata kau se-doyan ini.” “Jarang-jarang aku bersikap begini, Mas.” Sharvani kembali meneguknya hingga tandas. “Mungkin ini juga yang terakhir. Setelah ini, aku nggak akan pernah melakukannya lagi. Alkohol hanya sebagai pelarian ... dan perayaan.” “Kalau begitu, nikmati malam ini sepuasnya,” ujar Galindra sambil menenggak gelas kedua dan menyelinginya dengan memakan kue. “Apa ini menu baru di kafemu, Vani?” tanyanya dengan penasaran. “Ya, kamu orang pertama yang mencicipinya,” jawab Sharvani cepat, sambil berganti posisi duduk dan menatap Galindra dengan mata berbinar. “Bagaimana menurutmu? Enak, kan?” “Untuk seseorang yang tidak terlalu menyukai makanan manis, rasanya cukup enak,” “Benarkah? Kamu nggak berbohong, kan?” “Tidak. Untuk apa aku berbohong?” “Siapa tahu, demi menyenangkan perasaanku.” Galindra tergelak mendengar itu. “Kau ... tidak se-spesial itu, Vani. Aku tidak punya kewajiban untuk menyenangkanmu.” Sharvani langsung memberengut. “Blak-blakan sekali.” Namun, sesaat kemudian, senyum merekah di bibirnya saat dia kembali menyodorkan gelas kosong. “Kalau Mas memberiku segelas lagi, aku akan memaafkanmu.” “Tidak dimaafkan pun, aku tetap akan memberikannya untukmu.” “Oh, manis sekali. Aku jadi tahu salah satu alasan Anaya mencintaimu.” Galindra mengangkat sebelah alis, tertarik. “Oh ya? Apa itu?” “Kebaikan dan kemurahan hatimu.” Tidak hanya Galindra yang tertawa mendengar itu, tapi Sharvani juga. Dia menyadari ucapannya terlalu menggelikan. Wajar saja Galindra tidak bisa menahan diri, begitu juga dengannya. “Ngomong-ngomong, Mas, sepertinya aku mulai mabuk,” ujar Sharvani, mengusap wajahnya. “Tubuhku terasa lebih ringan, dan kata-kata yang keluar dari mulutku mulai nggak terkendali.” “Kau mau berhenti di sini?” “Ya, kalau diteruskan, aku khawatir nggak akan berakhir dengan baik.” “Hei, ayolah, sebentar lagi.” Galindra menahan tangan Sharvani yang hendak beranjak dari sofa. Dia mengambil gelas yang tadi Sharvani letakkan di meja, menuang tequila lagi hingga penuh. “Sampai isi botol ini habis, kau belum bisa pergi.” “Apa sekarang kamu merayuku, huh?” “Anggap saja begitu,” gumamnya, sambil tertawa-tawa. “Jarang-jarang ‘kan aku merayumu? Jadi, penuhi permintaanku.” “Sepertinya yang mulai kehilangan kesadaran bukan cuma aku, tapi kamu juga, Mas.” “Hm? Bukankah itu bagus? Kita jadi sama-sama mabuk, tidak hanya kau sendiri.” Sharvani menatapnya dengan mata setengah sayu, sambil mencebikkan bibir dia menerima gelas keempat dan meneguknya dalam waktu singkat. “Aku nggak bisa lagi membantahmu,” ujarnya. “Keputusan yang tepat.” Galindra menjentikkan jarinya dengan semangat, lalu menyusul Sharvani untuk gelas ketiga dan keempat. “Supaya imbang, kita harus membagi rata.” “Nggak, kamu harus lebih banyak dariku. Kadar alkohol kita berbeda.” Galindra tak menjawab, hanya mengangguk kecil, menikmati bagaimana Sharvani masih berusaha bertingkah normal meski jelas sekali alkohol mulai mengambil alih kesadarannya. “Mas Gale ...” Sharvani mulai menyandarkan kepalanya ke sofa. Tatapannya kabur, tapi bibirnya melengkung samar. “Aku baru sadar sesuatu.” “Apa?” tanya Galindra, sambil mencondongkan tubuhnya. “Aku ... belum pernah benar-benar melihatmu dengan saksama. Maksudku, melihatmu sebagai laki-laki.” “Dan sekarang kau baru melihatku sebagai laki-laki?” Sharvani mengedikkan bahu, ekspresinya sulit ditebak. Dia menatap Galindra lebih lama dari biasanya, matanya menelusuri setiap detail wajah pria itu—garis rahang yang tegas, tatapan yang selalu tampak percaya diri, bibir yang sedikit lebih merah karena efek alkohol. “Sebenarnya, kamu lumayan tampan juga.” Galindra menatap balik, mendadak lebih serius. “Dan kau menyadarinya setelah kita akan bercerai?” “Mungkin karena dulu aku nggak pernah benar-benar memperhatikanmu.” Tidak langsung merespons. Ada sesuatu dalam tatapan Sharvani yang membuat Galindra terpaku. Lalu keheningan perlahan menyelimuti mereka. Hingga tiba-tiba Galindra mengulurkan tangan, menyelipkan rambut Sharvani yang jatuh menutupi pipinya ke belakang telinga. Gerakan kecil itu membuat Sharvani menahan napas sejenak. “Vani ...” suara Galindra terdengar lebih pelan. Sharvani tidak bergeming. Detak jantungnya melambat, atau justru semakin cepat—dia sendiri tidak tahu. Jarak di antara mereka semakin kecil. Hanya beberapa sentimeter. Napas mereka bercampur, hangat. Seharusnya, ini tidak terjadi. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang bergerak untuk mundur. Sharvani bisa merasakan detak jantungnya yang tak beraturan, seiring napas Galindra yang begitu dekat di hadapannya. Jarak di antara mereka hanya tinggal sehelai rambut, dan entah kenapa tidak ada yang mencoba untuk menarik diri. Galindra masih menatapnya dengan cara yang berbeda—bukan sebagai calon mantan istri, bukan sebagai perempuan yang berbagi atap dengannya selama setahun terakhir, tapi sebagai seorang wanita, untuk pertama kalinya. Jari-jarinya masih bertengger di sisi wajah Sharvani, mengusap ringan pipinya yang memerah karena efek alkohol. “Vani ...” Suaranya lebih rendah dari sebelumnya. Sharvani menelan ludah, tidak yakin harus bagaimana merespons. “Ya?” Alih-alih menjawab, Galindra justru mengangkat tangannya yang lain, jemarinya menyusuri garis rahang Sharvani, turun ke dagu, lalu berhenti di sana. “Kita seharusnya tidak melakukan ini.” Sharvani tahu itu benar. Mereka sudah menandatangani dokumen perceraian. Status mereka sekarang harusnya bukan lagi suami istri. Setelah malam ini, mereka akan kembali ke kehidupan masing-masing, seperti dua orang asing yang hanya pernah berbagi cerita sebentar. Tapi ... Jika memang begitu, kenapa dia tidak ingin mundur? “Kalau begitu, hentikan.” Sharvani menguji, meski di dalam dirinya ada harapan tipis agar Galindra tidak benar-benar melakukannya. Namun, Galindra tetap diam. Mata mereka masih terkunci, seakan mencoba membaca isi pikiran satu sama lain. Dan di saat itulah, entah siapa yang memulai lebih dulu, bibir mereka semakin dekat—hanya beberapa milimeter lagi sebelum akhirnya menyatu. Sharvani menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam sentuhan itu. Dia seharusnya merasa bersalah, merasa ini adalah kesalahan besar, tapi yang dia rasakan justru sebaliknya. Galindra semakin dalam menariknya, tangannya kini berpindah ke tengkuk Sharvani, seakan takut jika dia tiba-tiba berubah pikiran. Tapi dari cara Sharvani membalas ciumannya—tidak ragu, tidak setengah hati—Galindra tahu mereka berdua sama-sama menginginkan ini. Selama beberapa detik, bibir mereka hanya bersentuhan tanpa pergerakan berarti, seolah keduanya masih ragu untuk melangkah lebih jauh. Namun, ketika Galindra menarik diri, berniat mengamati ekspresi Sharvani, di saat itu juga kendalinya runtuh. Bibir Sharvani kembali dia kecup, kali ini lebih berani. Dia menggigitnya perlahan, mengisapnya dengan lembut, lalu melumatnya lebih dalam. Hidung mereka bersinggungan, dan napas yang memburu saling beradu di antara ciuman itu. Adrenalin Galindra terpacu, dorongan untuk melangkah lebih jauh semakin menggebu. Salah satu tangannya turun menyusuri punggung Sharvani, mengusapnya dengan lembut sebelum berakhir di pinggangnya. Jemarinya meremas pelan di sana, semakin mendekatkan tubuh mereka, membuat jarak di antara mereka nyaris tak bersisa. “Engh.” Leguhan Sharvani bagaikan lampu hijau, membuat Galindra semakin berani. Dengan lembut, dia mendorong tubuh perempuan itu hingga terbaring di bawahnya, membiarkan gravitasi dan keinginan mengambil alih kendali. Saat bibirnya beralih ke tengkuk Sharvani, setiap geliat dan getaran halus dari tubuh perempuan itu seperti bara yang menyulut api dalam dirinya. Gairah Galindra semakin membuncah, dan tanpa bisa menahan diri, tangannya yang lain mulai menjelajah. Dia meremas lembut salah satu payud*ra Sharvani, ibu jarinya mengusap p****g yang tersembunyi di balik kain, menekannya perlahan hingga mengeras di bawah sentuhannya. “Mas Gale,” panggil Sharvani dengan suara serak, napasnya memburu. “Jangan lakukan di sini ...” “Hm?” Galindra hanya bergumam, belum sepenuhnya memahami. Matanya terpejam, sementara bibirnya terus bergerak turun, menyapu kulit Sharvani dengan penuh gairah. Hingga akhirnya, dia menemukan puncak d**a yang lain, lalu tanpa ragu mengulum dan mengisapnya. Seperti bayi yang kehausan, mulut dan lidah bekerja dengan rakus, sesekali menggigitnya dengan gemas. Baju Sharvina sedikit basah oleh saliva, tetapi dia tidak peduli. Toh, sebentar lagi pakaian itu akan ditanggalkan dan dibiarkan tergeletak di lantai begitu saja. “Uh, Mas Gale ...” Lagi-lagi panggilan itu. Apa Sharvani sengaja merayunya? Setiap kali namanya meluncur dalam desahan, darah Galindra berdesir hebat. Sensasi panas menjalar ke seluruh tubuhnya, sementara sesuatu di antara kakinya berdenyut nyeri, seakan menuntut untuk segera dibebaskan. Menuruti insting, Galindra menggeser tangannya ke tepian karet celana Sharvani, mengusapnya perlahan sebelum akhirnya menyelinap masuk, merasakan permukaan kain tipis yang sudah terasa hangat dan lembap. “Sebentar, Mas.” Dengan sisa kesadarannya, Sharvani meraih pergelangan tangan Galindra, menahannya sambil menggeleng pelan. “Kita pindah ke kamar saja.” Kalimat itu membuat Galindra tersentak sejenak, lalu senyumnya melebar. Dengan napas yang masih berat, dia menarik tangannya kembali dan menatap Sharvani lekat. “Tentu saja, Vani.” Tanpa menunggu lebih lama, Galindra membungkuk, mengangkat tubuh Sharvani dalam gendongannya, membawa perempuan itu ke kamar. Tatapan mereka terus terpaut, seakan menggambarkan seberapa besar mereka saling menginginkan satu sama lain. Begitu punggung Galindra menghilang di balik pintu, detik itu juga segalanya berubah. Rencana yang mereka susun selama satu tahun hancur berantakan. Mereka belum menyelesaikan masalah lama, tetapi di bawah pengaruh alkohol, mereka justru menciptakan masalah baru—masalah yang mungkin akan mengubah segalanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN