Rasa sakit di kepala Sharvani menusuk tajam begitu dia mulai sadar. Namun, itu belum ada apa-apanya dibanding nyeri yang menjalar dari pinggang hingga ke kaki. Tubuhnya terasa remuk, seolah dia baru saja memaksakan diri berlari maraton tanpa persiapan.
Dia menelan ludah dengan susah payah, merasakan tenggorokannya kering, seakan sudah berhari-hari tak tersentuh air. Ini adalah pagi terburuk dalam hidupnya. Tidur seharusnya membuat tubuhnya lebih segar, tetapi yang Sharvani rasakan justru sebaliknya—seakan semalaman tubuhnya dihantam tanpa ampun.
Kelopak matanya perlahan terbuka, mencoba beradaptasi dengan cahaya yang menembus celah tirai. Baru saat itu, kesadaran mulai menyergapnya. Ada yang tidak beres.
Cat dinding, susunan perabotan, bahkan desain langit-langit ini—semuanya asing. Sensasi tidak familiar itu menyusup masuk ke dalam pikirannya yang masih berkabut. Sesaat, kepanikannya tertahan oleh kebingungan, tapi kemudian jantungnya mulai berdegup lebih kencang.
Di mana ini?
Rasa was-was semakin kuat. Dengan gerakan perlahan, Sharvani mengganti posisinya dari tengkurap menjadi telentang, tubuhnya terasa kaku. Dia menghela napas panjang sebelum menoleh ke sisi ranjang.
Saat itu juga, pandangannya bertumbukan dengan sosok pria di sampingnya.
Galindra Rakha Wiratama.
Masih terlelap dengan d**a terbuka, hanya separuh tubuhnya yang tertutup selimut.
Mata Sharvani membelalak. Napasnya tercekat, dan seketika seluruh tubuhnya menegang. Kedua tangannya buru-buru menutup mulut, menahan jeritan yang hampir lolos dari tenggorokannya. Keringat dingin merembes di pelipisnya, dan dadanya terasa sesak seiring satu pertanyaan berputar tanpa henti di benaknya:
Apa yang sudah kami lakukan?
Pikirannya yang masih kabur berusaha menyusun kembali potongan-potongan ingatan. Namun, semakin dia mencoba, semakin kosong kepalanya.
Lalu, seolah tersambar petir, kesadarannya kembali.
Dengan panik, dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Saat melihat dirinya sendiri tanpa sehelai kain pun, napasnya langsung tercekat.
Mereka melakukannya.
Bukan sekadar tidur, tapi lebih dari itu.
Ketakutan menjalar cepat, tubuhnya membeku sejenak sebelum akhirnya tangannya gemetar saat menyentuh lengan Galindra. Dengan suara bergetar, Sharvani mulai menepuk-nepuknya, berusaha membangunkan pria itu.
“Mas Gale, bangun ...”
Tidak ada respons. Sharvani menggigit bibirnya, lalu mengguncang tubuh pria itu dengan kedua tangan.
“Cepat buka matamu, Mas Gale!”
Galindra hanya bergumam pelan sebelum akhirnya mengusap sudut matanya. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, seolah otaknya masih mencoba memahami situasi di sekelilingnya.
“Vani?” gumamnya, suaranya serak dan masih kental dengan kantuk. Sebelah alisnya terangkat, kebingungan jelas terpampang di wajahnya. “Kenapa kau ada di sini?”
Sharvani menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya yang mulai diliputi kepanikan. “Kita buat kesalahan besar, Mas,” suaranya hampir bergetar. “Aku ... aku nggak bisa berpikir jernih, tapi ini—”
“OH, s**t!”
Galindra tersentak bangun dan langsung mengumpat. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, sebelum berakhir menjambak rambutnya sendiri.
“We had s*x last night?!”
“Ya ... d-dan ini ... bencana, Mas. Kita belum menyelesaikan masalah yang ada, tapi malah menambah masalah baru ...”
Galindra menggeram sambil meremas rambutnya, frustasi. “Damn alcohol! I’m never drinking it again!”
Sharvani lalu memeluk tubuhnya sendiri, bahunya bergetar. “Terus kita harus gimana sekarang? Kalau waktu bisa diulang, aku nggak mau ini terjadi. Aku menyesal, Mas. Aku menyesal melakukan semua yang kulakukan tadi malam.”
Galindra mengembuskan napas keras, lalu menatapnya dalam. “Vani, dengar aku.”
Tangannya bertumpu di bahu Sharvani, mencoba menenangkan perempuan itu yang mulai terisak. “Aku juga tidak mau ini terjadi, tapi kita tidak bisa memutar waktu kembali. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mencari cara untuk menghadapinya. Kau melakukannya bukan karena benar-benar mau, kan?”
Sharvani mengangguk lemah. “Itu karena pengaruh alkohol ...”
“Aku juga.” Galindra mengusap wajahnya sekali lagi, menghela napas berat. “Semua ini murni kesalahan. Alkohol membuat kita kehilangan akal dan bertindak ceroboh.” Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “Karena kita sama-sama tidak menginginkannya, kau mau ... menganggap semua ini tidak pernah terjadi, Vani?”
Sharvani menggigit bibirnya. “Apa itu mungkin?” tanyanya lirih. “Sulit untuk mengabaikannya, dan sekarang semuanya sudah berbeda, Mas. Nggak lagi sama seperti sebelumnya ...”
“Aku tahu.” Galindra menatapnya serius. “Tapi hanya dengan cara ini kita bisa tetap menjalankan rencana-rencana kita. Atau ... kau ingin aku bertanggungjawab?”
Sharvani langsung menggeleng cepat, tanpa ragu.
Melihat itu, Galindra tanpa sadar mengembuskan napas lega. Dia bukan pria berengsek, tetapi kalau sampai terjebak dalam lubang yang sama dengan masalah yang berbeda, kali ini Galindra mungkin akan gila.
“Benar. Kita berdua sama-sama tahu, terikat dengan seseorang yang tidak kita cintai itu menyiksa. Aku bukannya menganggap hubungan badan itu tidak penting, itu sangat penting dan sangat sakral, tapi jika kita melakukannya tanpa kesadaran penuh dari kedua belah pihak, itu jelas bukan sesuatu yang kita inginkan.”
Sharvani terdiam, tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Kata-kata Galindra masuk akal, tetapi di saat yang sama terasa keliru. Benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Salah, tapi tidak sepenuhnya salah. Intinya, rumit dan kompleks.
Argh! Kepala Sharvani semakin pusing memikirkannya.
“Vani, apa ini ... pengalaman pertamamu?”
Pertanyaan itu membuat napas Sharvani tercekat. Refleks, dia menunduk, menggigit bibir bawahnya lagi, dan mengangguk pelan.
“Ya Tuhan ...”
Galindra mengusap wajah untuk ke sekian kalinya, menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan. Untuk sesaat, dia hanya terdiam, seolah berusaha meredam sesuatu dalam dirinya.
“Aku juga.”
Sharvani mengangkat kepala dengan cepat, menatap Galindra dengan ragu. “Mas nggak bilang ini cuma buat menghiburku, kan?”
“Demi Tuhan, Vani. Aku tidak berbohong.”
Keheningan menggantung di antara mereka. Waktu seakan melambat, seolah udara di kamar itu berubah lebih berat dari biasanya.
Sharvani menunduk, tatapannya jatuh pada jemari yang mengepal di atas selimut kusut. Dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang mengimpitnya dari dalam. “Mas ... kita harus gimana sekarang?” tanyanya lirih, hampir seperti bisikan yang terseret oleh sisa kepanikan.
Tak ada jawaban. Pria di depannya hanya diam, berpikir, dan terlalu lama waktu terbuang hanya untuk sekadar merangkai kata.
“Aku sangat menyesal,” suara Sharvani bergetar, sarat akan emosi yang menguasai. “Betapa bodohnya kita. Seharusnya sebelum minum, kita berpikir dulu tentang kemungkinan terburuk akibat alkohol. Tapi nggak ... kita malah terbawa euforia perceraian, tanpa sedikit pun mempertimbangkan dampaknya.”
Galindra masih tetap diam, tapi ekspresinya berbicara banyak. Tatapan kosongnya, rahang yang mengeras, dan napas yang berat menunjukkan bahwa penyesalan yang dirasakan Sharvani juga menggerogoti dirinya.
Menarik napas panjang, Sharvani berusaha meredakan sesak yang mengimpit dadanya.
“Melupakannya ... apakah kita benar-benar bisa, Mas?”
Alih-alih langsung menjawab, Galindra menyandarkan kepalanya ke dipan, membiarkan pandangannya beralih ke langit-langit kamar. Napas panjang diembuskan, seolah berusaha mengusir beban yang bergelayut di kepalanya. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya dia berkata, “Bisa. Sekalipun sulit, kita harus mencobanya, Vani.”
“Apakah ini benar-benar solusi yang tepat?”
“Aku tidak tahu pasti, tapi untuk saat ini, ini satu-satunya pilihan yang terpikir olehku.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Sharvani lalu mengusap dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Nyeri di antara kedua kakinya masih terasa—pengingat bahwa kata melupakan bertolak belakang dengan kenyataan. Ingatan tentang kesalahan besar yang terjadi semalam masih terlalu jelas, membuat mereka terjebak dalam kebuntuan pagi ini.
“Tidak ada yang boleh tahu tentang ini,” gumam Galindra setelah beberapa saat. “Jika kita sepakat untuk melupakan, maka jangan sampai ada orang lain yang mengetahui apa yang telah terjadi.”
“Demi diriku sendiri, Mas, aku nggak akan pernah membicarakan ini. Itu sama saja dengan mencoreng arang di wajahku,” sahut Sharvani lirih.
Tiba-tiba, Galindra mengulurkan tangan ke arah Sharvani. Bukan sekadar isyarat main-main, tapi sebagai tanda kesepakatan.
“Mari kita buat janji.”
Sharvani menatap uluran tangan itu, ragu sejenak, sebelum akhirnya membalas dengan genggaman pelan.
“Ya,” gumamnya.
Jari-jemari Galindra mengeratkan genggamannya. “Janji untuk merahasiakan ini dan melupakannya begitu kita beranjak dari sini.”
“A-aku ... aku janji,” bisik Sharvani, meski hatinya terasa sangat berat. Mungkin inilah jalan terbaik untuk dirinya dan Galindra.
***