Dua bulan kemudian ...
“Belakangan ini kamu susah dihubungi. Pesan-pesanku dibalas lama, bahkan sering kamu cari-cari alasan untuk menghindar dari teleponku. Sebenarnya kamu kenapa, Vani? Kalau ada masalah, tolong cerita. Jangan dipendam sendiri. Bukankah kamu pernah bilang, kita harus saling terbuka? Aku juga ingin jadi tempatmu bersandar, seperti kamu yang selalu ada saat aku butuh.”
Sharvani memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri usai mendengar unek-unek panjang dari Jefandra Theodoric—kekasihnya—di seberang telepon. Dia tahu ucapan Jef tidak salah, hanya saja hatinya belum siap menghadapi konfrontasi saat ini. Kondisi tubuhnya sedang tidak baik, dan pikirannya sudah terlalu penuh untuk menampung beban emosional dari siapa pun.
“Maaf, Jef ... lain kali, ya. Aku pasti cerita, hanya saja ... sekarang belum waktunya,” ucapnya pelan, suaranya terdengar lelah. Padahal dia hanya berdiri, namun tubuhnya terasa seakan menopang beban berat.
“Selalu itu jawabanmu. Aku bosan mendengarnya terus-menerus. Kamu jadi kayak remaja yang selalu memendam dan kabur tiap kali ditanya, Van.”
“Jef, tolong bersabar dan coba pahami aku dulu. Nggak semua hal bisa dipaksakan. Aku cuma butuh waktu. Sekarang ada banyak hal yang menyita pikiranku—kafe, proses perceraian, dan nanti aku masih harus menjelaskan semuanya ke orang tuaku, juga ke orang tua Mas Gale. Semua itu benar-benar menguras tenagaku. Kamu yang juga mengetahui semua ini ... aku harap bisa jadi penyemangatku, bukan malah menekanku.”
“Kurang sabar apa aku selama ini, Vani? Aku sudah rela menunggu, bahkan tetap bersamamu meski kamu masih terikat pernikahan. Aku nggak pernah menuntut. Tapi sekarang ... hanya karena aku mempertanyakan perubahan sikapmu, kamu anggap aku menyalahkan dan menekanmu?”
“Maaf, aku nggak bermaksud begitu. Aku ... cuma lagi banyak pikiran. Kata-kataku salah. Harusnya aku nggak bicara seperti itu ke kamu, Jef. Mungkin tanpa sadar aku melampiaskan—”
“Sudahlah, Van. Debat sama kamu cuma buang-buang waktu. Bukannya dapat solusi, yang ada masalahnya malah makin runyam.”
“Jef—”
Klik.
Panggilan berakhir. Jefandra memutuskan sambungan secara sepihak.
Sharvani menatap layar ponselnya yang kini gelap, lalu menghela napas panjang dan mendongak. Pusing di kepalanya kian menusuk, suasana hatinya pun hancur tak keruan. Semua perasaan buruk seolah berlomba-lomba memenuhi tubuhnya. Membuat mulutnya terasa pahit, dan dorongan untuk muntah muncul begitu saja.
Sebelum sensasi itu semakin parah, dia bermaksud kembali masuk ke dalam dan pulang lebih awal tanpa menunggu kafe tutup. Namun, langkahnya terhenti. Pandangannya mendadak mengabur, dan tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Kak, Kakak kenapa?”
Suara panik Bagas—kitchen helper yang baru saja keluar untuk membuang sampah—menggema. Tapi Sharvani tak mampu menjawab. Pendengarannya makin menjauh, semuanya berubah putih, lalu gelap.
Dia jatuh tak sadarkan diri.
***
Aroma khas rumah sakit langsung menyeruak saat Sharvani membuka mata. Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna keadaan. Pandangannya akhirnya jatuh pada sisi brankar, tempat di mana Galindra duduk diam dengan dahi berkerut, tenggelam dalam pikirannya hingga tak menyadari bahwa Sharvani sudah sadar.
“Mas Gale? Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya pelan, suaranya terdengar serak.
Galindra sontak menoleh, tubuhnya menegak seketika. Di balik rautnya yang biasa terlihat tenang dan terkontrol, kali ini tampak jelas gurat tegang dan cemas di wajahnya. Sharvani sempat heran, tapi tak berniat terlalu jauh menyelami alasan di balik perubahan ekspresi itu. Bukan urusannya, pikirnya.
“Kamu butuh sesuatu? Masih sakit? Mau kupanggilkan dokter?” serentetan pertanyaan langsung meluncur dari Galindra.
Sharvani tersenyum kecil, geli melihat tingkah pria itu yang tak biasa. Ini pertama kalinya Galindra menunjukkan perhatian berlebih padanya. “Cuma butuh minum. Selebihnya, aku baik-baik saja. Tapi kamu kenapa, Mas? Di sini cuma ada kita berdua, jadi nggak perlu sok panik begitu.”
“Aku tadi ...” Galindra terhenti, seolah kesulitan menemukan kata yang tepat. Akhirnya, dia menarik napas dalam, mengambil air mineral dari kantong plastik di sampingnya, membuka tutupnya, lalu menyodorkannya ke Sharvani.
“Minum dulu.”
“Makasih banyak,” ucap Sharvani pelan. Setelah bangun, dia langsung meneguk air mineral dalam-dalam, mencoba meredakan dahaga yang mencekiknya. Setelah cukup, dia menyerahkan kembali botol itu kepada Galindra—tanpa kata, isyarat agar pria itu saja yang menaruhnya kembali.
“Sekarang, tolong jawab pertanyaanku tadi.”
“Salah satu karyawanmu meneleponku. Katanya kau dilarikan ke rumah sakit.”
“Dan kamu langsung datang ke sini setelah dengar kabar itu? Ya ampun, Mas, harusnya nggak usah repot-repot. Aku cuma kecapekan. Pekerjaanmu jauh lebih penting dari kondisiku—”
“Tadinya aku juga berpikir begitu,” potong Galindra. Nada suaranya terdengar ragu, namun tetap dia lanjutkan, “Tapi ternyata ... tidak sesederhana itu, Vani. Aku bahkan meninggalkan klienku dan langsung ke sini setelah mendengar kondisimu dari karyawanmu.”
“Apa itu? Apa sakitku parah, Mas?” Sharvani langsung menegang. Tanpa sadar, tangannya meremas kuat selimut yang menutupi kedua kakinya. “Apa dokter bilang sakit kepalaku bukan sekadar sakit biasa? Dan mualku ... itu gejala dari sesuatu yang lebih serius?”
“Bukan begitu, tapi ... kau hamil.”
“Apa? H-hamil?!”
Suara Sharvani tercekat. Matanya membelalak, dan napasnya tertahan.
Galindra mengangguk pelan dengan senyum kecut.
“Jangan bercanda, Mas. Ini nggak lucu,” ucap Sharvani sambil menggeleng, mencoba menepis kenyataan. Dia bahkan tertawa kecil—tawa gugup yang lebih terdengar seperti penyangkalan. “Aku baru sadar dari pingsan, jangan sampai candaanmu malah bikin aku pingsan lagi.”
“Aku serius, Vani.” Galindra menatapnya lebih dalam. “Dokter bilang ... usia kehamilanmu sudah enam minggu ...”
“Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin aku hamil, Mas. Kalaupun iya ... anak siapa? Aku—”
Suara Sharvani yang tadinya meninggi karena panik, tiba-tiba terhenti. Wajahnya seketika memucat saat kenyataan perlahan menyusup ke dalam pikirannya.
“Maaf,” bisik Galindra pelan, setelah melihat perubahan drastis di wajah Sharvani. Dari yang semula menyangkal dengan keras, kini seluruh tubuhnya tampak limbung, seolah beban dunia baru saja dijatuhkan ke pundaknya. Bahunya mulai bergetar, dan suara tangis lirih pun akhirnya pecah.
“Maafkan aku ...” lanjut Galindra, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku tidak pernah berpikir kalau semuanya akan sejauh ini, Vani ...”
Air mata mengalir perlahan di pipi Sharvani. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan isakkan. “Bagaimana ini,” gumamnya dengan napas terputus-putus. “Kita sedang mengurus perceraian. Tinggal sedikit lagi ... dan sekarang malah begini. Kenapa sekarang?”
Galindra hanya bisa menunduk. Tak bisa memberi jawaban. Kepalanya penuh dengan penyesalan dan kebingungan. Di satu sisi, dia ingin marah pada takdir. Di sisi lain, hatinya mencelus melihat Sharvani harus menanggung ini semua—padahal kesalahan itu bukan milik satu orang saja.
Dan di tengah semuanya, ada satu nyawa yang tak tahu apa-apa ... yang hadir di saat mereka selangkah lagi akan berpisah.
Apa sebenarnya rencana Tuhan, hingga memilih mengejutkan mereka dengan kabar kehamilan Sharvani—tepat saat perceraian mereka hampir mencapai titik akhir, namun belum juga diputuskan oleh pengadilan?
Galindra lalu bersandar ke sandaran kursi, masih menatap lantai kosong dengan pandangan tak fokus. Sharvani masih terisak di atas ranjang, meski kini lebih lirih daripada sebelumnya. Tak satu pun dari mereka tahu harus berkata apa lagi. Semuanya terasa kacau, dan apa pun yang diucapkan seolah tak akan mengubah kenyataan yang sudah terlanjur terjadi.
Menit demi menit pun berlalu dalam keheningan. Hingga akhirnya—
“Lalu kita harus bagaimana, Mas?” Sharvani kembali bersuara lagi, pelan dan bergetar, hampir seperti gumaman, tapi cukup jelas bagi Galindra untuk mendengarnya.
“Untuk saat ini, aku tidak tahu,” jawab Galindra jujur. “Aku benar-benar tidak tahu, Vani.”
Kata-kata Galindra mungkin terdengar menyakitkan, tapi seperti itulah kenyataannya—mereka sama-sama tersesat dalam situasi yang tak pernah direncanakan.
Tak ada cinta di antara mereka. Tak pernah ada janji untuk saling mempertahankan. Bahkan sebelum kabar ini datang, mereka sudah sepakat untuk berpisah baik-baik, menyudahi pernikahan yang sejak awal hanya perjanjian dua keluarga.
Tapi sekarang? Ada satu nyawa yang akan lahir dari hubungan mereka. Sesuatu yang tak bisa mereka abaikan begitu saja.
“Aku lelah ...” gumam Sharvani kemudian.
Galindra menoleh. Ingin berkata sesuatu, tapi mulutnya tetap terkunci. Dia tahu, kalimat apa pun tak akan cukup menenangkan. Jadi dia hanya diam, tetap di sana, menjadi satu-satunya yang menemani di saat Sharvani paling rapuh.
Dan di dalam keheningan yang menyesakkan, mereka tahu satu hal: apa pun yang akan terjadi setelah ini, hidup mereka tak akan lagi sama.
***