BAB 04 : Penundaan Sidang

1329 Kata
Galindra baru kembali ke kantornya setelah menyerahkan surat permohonan penundaan sidang ke Pengadilan Negeri. Dia juga melampirkan surat keterangan dari dokter yang menyatakan bahwa Sharvani tengah mengandung. Meski belum menemukan jalan keluar dari kekacauan yang terjadi, baik Galindra maupun Sharvani sepakat untuk tidak gegabah membatalkan perceraian. Mereka hanya menundanya—sampai ada keputusan yang benar-benar tepat untuk keduanya. Begitu memasuki ruang kerja bersama, Galindra berjalan lesu menuju mejanya. “Muka lo suntuk banget. Kenapa?” tanya Rayhan, rekan sekantornya, sambil melirik dari balik layar laptop. Kebetulan sekarang masih jam istirahat, dan di ruangan itu hanya ada Rayhan seorang diri. Rekan-rekan lainnya sedang keluar untuk makan siang. “Ada masalah besar, dan gue lagi nggak bisa mikir. Mentok, Ray.” Rayhan menyipitkan mata. “Gue yakin ini bukan soal kerjaan. Soalnya kalau cuma urusan kantor, lo selalu bisa nemu celahnya.” Galindra mengangguk, lalu menjatuhkan diri ke kursi. Dia menyandar, memejamkan mata, dan mengaitkan jemari di atas pahanya. “Sidang perceraian gue sama Vani ... terpaksa gue tunda. Dia hamil.” Rayhan yang baru saja menyesap kopinya langsung tersedak. “Hamil? Anaknya siapa?” “Gue.” “Gila! Bukannya lo bilang nggak tertarik sama dia? Lo juga cinta mati sama pacar lo, Anaya. Dan Vani juga, makanya kalian sepakat cerai setelah setahun nikah, kan?” “Benar. Tapi kami khilaf ... gara-gara alkohol.” Rayhan mendengkus sambil menggeleng tak percaya. “Lo sadar nggak sih, alkohol itu selalu berujung masalah? Lo tahu risikonya, tapi tetap minum. Apa sih alasan sebenarnya?” “Kami cuma mau ngerayain kebebasan, Ray. Kebetulan gue dapat tequila dari klien, gue bagi ke Vani setelah kami tanda tangan berkas perceraian. Entah kenapa, malam itu suasana hati kami sama-sama aneh. Mungkin karena lega, mungkin karena mulai teler. Yang jelas, semuanya kejadian begitu aja.” “Dan lo ... tidur sama dia?” Galindra mengangguk, wajahnya pahit. “Tadinya kami pikir itu cuma kecelakaan. Sama-sama sepakat buat lupain, karena memang nggak ada perasaan. Tapi sekarang ... saat proses perceraian udah jalan, eh malah dikagetin kabar kalau Vani hamil.” “Sumpah, gue bener-bener nggak habis pikir sama kelakuan lo berdua, Gal. Mau dibilang karma, tapi anak yang dikandung Vani nggak salah apa-apa. Dia mungkin berkah, tapi di kondisi kalian sekarang, kehadirannya malah bikin semuanya makin runyam.” “Gue tau.” Galindra kembali menegakkan punggungnya, lalu memijat pelipis dan pangkal hidung yang mulai berdenyut. “Alih-alih bebas, hidup gue malah tambah kusut. Sekarang gue bahkan nggak yakin perceraian ini bakal lanjut sampai ketok palu hakim.” “Terus, gimana sama Anaya dan pacarnya Vani? Mereka udah tau?” tanya Rayhan. Wajahnya kini ikut tegang. Niat awalnya cuma mau jadi pendengar setia, malah disuguhi kisah pelik yang bikin dia ikut pusing. “Belum. Tadinya kami sepakat buat nggak ngasih tau siapa-siapa. Kami sama-sama sayang sama pasangan kami masing-masing. Tapi setelah tahu Vani hamil ... gue nggak yakin bisa terus nutupin ini.” “Saran gue, lo berdua harus jujur. Setelah itu, soal mereka nerima atau enggak, itu konsekuensi. Kalian harus berani tanggung jawab. Mau gimana pun, kalian yang melakukannya.” Galindra baru membuka mulut, tapi ponselnya berdering. Dia langsung merogoh saku celana, dan tanpa pikir panjang menekan tombol hijau begitu melihat nama Sharvani tertera di layar. “Halo, Vani?” “Maaf ganggu, Mas ... tapi aku bener-bener nggak tahu harus minta tolong ke siapa,” suara Sharvani terdengar lemah dari seberang. “Kalau kamu nggak sibuk, bisa pulang sekarang? Aku habis muntah, kepalaku pusing banget, dan aku nggak sanggup bersihin semuanya ...” “Kau tunggu saja. Jangan lakukan apa-apa. Aku segera ke sana. Biar aku yang urus semuanya.” Begitu telepon ditutup, Galindra langsung berdiri. Dia meraih tas kerja dan kunci yang tergeletak di atas meja. Tanpa banyak penjelasan, dia berkata cepat pada Rayhan, “Maaf, obrolannya gue sudahi dulu. Vani butuh bantuan. Gue harus pulang.” Rayhan hanya bisa memandangi punggung sahabatnya yang melangkah buru-buru ke pintu. Sampai Galindra benar-benar menghilang dari ruangan, dia masih belum sanggup berkata apa-apa. Dalam hati, dia mendengus tak percaya. Seorang Galindra—yang katanya cinta mati sama pacarnya—tapi langsung pasang badan buat perempuan yang tengah mengandung anaknya. Gila, pikir Rayhan. Dunia benar-benar bisa berubah dalam semalam. *** Anehnya, saat Galindra datang, Sharvani justru terisak. Air matanya mengalir begitu saja, seolah kehadiran pria itu memantik rasa haru yang tak bisa dijelaskan. Dia bersyukur Galindra bersedia pulang saat diminta, padahal ini adalah jam-jam tersibuknya di kantor. “Hei, kau tidak apa-apa?” tanya Galindra, sedikit panik melihat wajah Sharvani yang basah oleh air mata. Dia meletakkan tas kerjanya begitu saja dan langsung menghampiri. Ruang tamu tampak kacau—muntahan Sharvani mengenai sofa dan lantai. “Haruskah kita ke rumah sakit?” “Aku nggak apa-apa,” jawab Sharvani lirih. Dia merasa malu menunjukkan sisi rapuhnya seperti ini, tapi hormon kehamilan benar-benar membuatnya tak seperti biasa. “Maaf, aku jadi merepotkanmu ...” “Kau tidak perlu minta maaf, Vani. Aku juga ikut bertanggung jawab atas semua ini. Sekarang, ayo pelan-pelan bangun. Aku antar ke kamar supaya kau bisa membersihkan diri. Biar urusan di sini aku yang bereskan.” Dengan hati-hati, Galindra menggenggam tangannya dan membantu Sharvani berdiri. Dia menuntunnya menuju kamar, langkahnya pelan dan penuh perhatian. Setelah memastikan wanita itu aman di dalam kamar mandi, Galindra kembali ke ruang tamu untuk membersihkan kekacauan yang ada. Di kamar mandi, Sharvani membasuh wajahnya yang tampak pucat dan sembap. Untungnya, sakit kepalanya mulai mereda, sehingga tubuhnya tak lagi terasa limbung. Sebelumnya, kehamilan tak pernah terlintas dalam pikirannya. Bagaimana mungkin, jika pernikahannya dengan Galindra saja bukan atas dasar cinta? Hamil adalah sesuatu yang terasa jauh dari kenyataan hidupnya—mustahil, bahkan. Tapi begitulah rencana Tuhan, kadang terdengar seperti lelucon yang terlalu nyata. Kini, dia mengalaminya sendiri, di tengah kebingungan dan ketidaksiapan yang belum sepenuhnya bisa diterima. Mereka belum menemukan jalan keluar. Galindra meminta waktu untuk berpikir—dan Sharvani pun sama. Untuk saat ini, mereka menjalani hari-hari seperti biasa, meski dengan perbedaan yang besar: keberadaan janin dalam perut Sharvani mulai mengikat mereka dalam keterlibatan yang tak bisa dihindari. Galindra menunjukkan perhatian, sebagai bentuk tanggung jawab. Meskipun canggung, Sharvani berusaha menerimanya, karena saat ini, hanya pria itulah yang bisa dia andalkan. Setelah merasa cukup bersih dan segar, Sharvani keluar untuk mengganti pakaian kotornya. Saat dia sedang mengenakan homedress, terdengar ketukan pelan di pintu, disusul suara Galindra yang bertanya, “Kau sudah baikan?” “Aku sudah lebih baik. Makasih bantuannya, Mas,” jawab Sharvani, berusaha terdengar tenang sambil membenahi pakaian yang baru saja dikenakannya. “Sama-sama. Boleh aku buka pintunya, Vani?” tanya Galindra lagi dari balik pintu. “Boleh,” ujarnya mempersilakan. Setelah membuka pintu, Galindra mendapati wanita itu tengah duduk di tepi ranjang, usai memasukkan pakaian kotornya ke dalam keranjang cucian. Galindra pun telah berganti pakaian. Dia berdiri sejenak di ambang pintu, menatap Sharvani dengan tatapan penuh perhatian, seolah ingin memastikan bahwa kondisinya benar-benar membaik. Lalu dia kembali bertanya, “Kau sudah makan siang?” “Belum. Tadinya aku berencana makan di kafe bareng anak-anak, tapi tiba-tiba kepala pusing dan langsung muntah.” “Dokter bilang trimester pertama memang penuh keluhan seperti itu—mual, pusing, dan lemas. Kalau memang belum sanggup, untuk sementara biarkan dulu urusan kafe ditangani staf kepercayaanmu. Setidaknya sampai kondisimu membaik dan kita menemukan solusi atas situasi ini.” “Akan kupikirkan, Mas,” ucap Sharvani pelan. Galindra mengangguk kecil sambil tersenyum tipis. Lalu dia kembali pada maksud awalnya. “Ada yang kau inginkan? Mungkin makanan? Biar aku yang pesan.” “Ah, nggak usah. Aku nggak mau ngerepotin kamu lebih dari ini,” tolaknya dengan nada sungkan. “Aku justru senang bisa melakukan sesuatu untukmu. Ini bukan repot, Vani. Jadi jangan merasa begitu.” Sharvani sempat terdiam beberapa saat, menarik napas panjang, lalu menatap Galindra ragu-ragu. Akhirnya dia memberanikan diri berkata, “Kalau nggak keberatan ... aku pengin makan bebek bumbu khas Madura.” Senyum Galindra langsung merekah mendengar permintaan itu. “Baik. Kamu istirahat saja sekarang. Nanti aku kabari kalau makanannya sudah datang.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN