BAB 05 : Pemikiran Gila Sharvani

1376 Kata
“Sayang, gimana pekerjaanmu?” tanya Anaya Sabrina, kekasihnya, dengan lembut. Galindra melirik sekilas ke arah Anaya sebelum kembali menyuap makanannya. “Masih seperti biasa, Nay. Sibuk. Akhir-akhir ini banyak pasangan datang ke firma kami karena sengketa hak asuh anak. Hampir tujuh puluh persen kasus yang kami tangani berkaitan dengan itu.” “Untungnya kamu nggak mengalami hal seperti mereka,” ujar Anaya. “Jadi prosesmu sendiri nggak ribet dan berlarut-larut.” Galindra langsung berdehem pelan. Dia mengambil tisu, mengelap mulutnya perlahan, lalu bersandar ke kursi. Selera makannya tiba-tiba menguap. “Kalau kau sendiri gimana? Kerjaan lancar?” “Lancar,” jawabnya dengan semangat. “Dan kamu tahu, sejak aku menekuni dunia fashion design, aku punya impian baru—merancang sendiri gaun pengantinku. Aku nggak sabar nunggu hari itu datang, Gal.” “Aku yakin itu akan jadi gaun luar biasa, mungkin bahkan yang terbaik di antara semua yang pernah kau rancang,” puji Galindra tulus. Dia adalah salah satu orang yang paling paham betapa berbakatnya Anaya. Selain keahliannya, Anaya juga dikenal gigih dan penuh dedikasi. Tak heran jika dalam waktu singkat, namanya menonjol di antara deretan desainer muda paling diminati saat ini. Galindra merasa bangga—wanita luar biasa itu adalah kekasihnya. Dulu, dia selalu yakin mereka setara dan serasi, baik dalam karier, perasaan, maupun latar belakang keluarga. Tapi sejak malam khilaf bersama Sharvani yang berujung kehamilan tak terduga, kepercayaan dirinya mulai runtuh. Anaya terlalu baik untuknya, dan Galindra tahu itu. Dia merasa Anaya tak pantas diperlakukan seburuk ini. Seharusnya sejak dulu dia melepaskan Anaya agar wanita itu tak terjebak dalam hubungan serumit ini. Namun, cinta membuatnya egois. Dia yang ngotot mempertahankan Anaya, berjanji mereka akan menikah setelah perceraiannya rampung. Kini, mengingat betapa kusutnya situasi, rasa bersalah pada Anaya terus menghantuinya—terutama karena dia belum bisa memenuhi janji itu. “Makasih pujiannya. Kamu memang paling bisa bikin aku besar kepala,” ucap Anaya tersipu. Galindra terkekeh melihat reaksinya. Dia lalu menjulurkan tangan ke seberang meja dan mengacak-acak rambut Anaya, membuat wanita itu spontan memberengut. “Jangan, ah. Aku bukan anak kecil lagi.” Anaya menepis tangan Galindra, lalu merapikan rambutnya dengan jemari. “Kebiasaan kamu itu harus diubah, Gal. Aku nggak mau rambutku terus jadi korban pelampiasan rasa gemasmu.” “Tapi bukannya kebanyakan wanita justru suka diperlakukan seperti itu?” Galindra bertanya, sambil menaikkan sebelah alisnya dengan gaya menggoda. “Makanya ada istilah, ‘yang diacak-acak rambut, yang berantakan hati’.” “Itu sih cuma berlaku buat remaja yang gampang baper. Aku beda.” “Wah, jadi sekarang kau sudah kebal sama pesonaku, ya?” “Ih, narsis banget sih, Tuan Pengacara satu ini.” Tawa Galindra kembali pecah, bahunya sampai bergetar. Bertemu Anaya benar-benar terasa seperti oase di tengah gurun. Pikiran yang sebelumnya penuh beban kini terasa lebih ringan, meski hanya untuk sesaat. Anaya memang selalu jadi pelipur lelahnya. Itulah mengapa perasaan Galindra padanya tak pernah pudar, meski hubungan mereka telah berlangsung selama empat tahun—dan setahun terakhir dijalani secara diam-diam—karena hingga kini, Galindra masih berstatus sebagai suami dari wanita lain. Untuk sesaat, dia memilih menyingkirkan segala kerumitan. Hari ini, Galindra hanya ingin menikmati waktu bersama Anaya. Mereka sudah hampir dua minggu tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Maka, tak ada salahnya memanfaatkan momen ini sebaik mungkin sebelum kembali dihadapkan pada kenyataan yang membuat kepalanya terasa pening. “Udah selesai makannya, Nay?” tanya Galindra setelah tawanya reda. Melihat Anaya yang tak lagi menyentuh sendok dan garpu, dia menyimpulkan wanita itu sudah kenyang. “Setelah ini mau ke mana? Aku siap nemenin kau seharian.” “Udah. Gara-gara seseorang, perutku jadi kenyang duluan,” jawab Anaya sambil menyeringai menggoda. Sempat berpikir sejenak, lalu menambahkan, “Gimana kalau nonton?” “Boleh. Kalau gitu aku bayar dulu, habis ini kita langsung berangkat.” “Makasih banyak, Sayang.” Senyum manis kembali mengembang di wajah Anaya. Sebelum Galindra beranjak, dia sempat mengusap lembut lengan pria itu sebagai bentuk rasa sayangnya. Galindra membalasnya dengan usapan hangat yang membuat hati Anaya langsung berdebar. *** “Mas, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Galindra yang baru pulang langsung menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Sharvani yang berdiri tepat di depan pintu kamarnya. “Apa itu penting, Vani? Boleh kutunda sebentar sampai aku selesai mandi?” “Ya, nanti temui aku di ruang tamu,” jawab Sharvani. Setelah Galindra mengangguk, Sharvani segera beranjak. Dia sempat mampir ke dapur sebentar untuk membuat secangkir cokelat panas, berharap minuman itu bisa menenangkan pikirannya selama menunggu. Sampai hari ini sudah cukup banyak waktu yang mereka habiskan hanya untuk berpikir, mencari jalan keluar. Namun, Galindra belum juga terlihat menemukan solusi. Dia masih terjebak dalam keruwetan pikirannya sendiri. Sementara Sharvani, meskipun sadar apa yang ingin diutarakannya bukan hal yang benar, tetap saja akan menyampaikan pendapatnya malam ini. Mungkin saja Galindra akan setuju—meski dia pun tahu, ide itu datang bersama banyak risiko. Mau bagaimana lagi, jika tak satu pun dari mereka ada yang membuat keputusan, maka selamanya mereka akan terjebak dalam kebuntuan. Padahal masih banyak hal yang harus diurus, dan semuanya tidak akan berjalan selama masalah kehamilan ini belum diselesaikan. Sharvani hanya ingin kebebasan—begitu juga Galindra. Dan untuk meraih itu, pasti ada yang harus dikorbankan. Siapa pun yang akhirnya mengambil peran sebagai pengorban nanti, Sharvani berharap hal itu tidak berakhir sia-sia. Setelah satu mug cokelat hangat selesai dibuat, Sharvani melangkah ke ruang tamu dan duduk di salah satu sofa. Dia menyalakan televisi, mengganti-ganti saluran untuk mencari tontonan yang menarik. Tapi beberapa menit kemudian, dia mematikan kembali TV-nya dan memilih menikmati cokelat panas dalam diam. Kejenuhan yang mulai menyelimutinya segera sirna saat Galindra muncul. Pria itu tampak segar dalam balutan kaus polos dan celana selutut. Dia duduk di sofa tunggal di sisi kanan Sharvani. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi. “Kupikir ... aku sudah menemukan solusi untuk masalah kita ini, Mas.” Galindra tampak terkejut, tapi juga penasaran dengan apa yang ingin Sharvani sampaikan. “Katakan sekarang, Vani.” “Aborsi. Meski berisiko besar, meski bukan pilihan yang benar, bahkan terkesan kejam ... tapi ini satu-satunya cara agar aku dan kamu tetap bercerai. Aku sudah mempertimbangkannya matang-matang. Aku benar-benar nggak melihat jalan lain selain ini, Mas.” “Kamu gila ya, Vani?!” Emosi Galindra meledak seketika. Wajahnya menunjukkan keterkejutan sekaligus kemarahan. Dia menatap Sharvani tajam, menggelengkan kepala seolah tak percaya dengan yang baru saja didengarnya. “Jangan buat kesalahan untuk kedua kalinya! Anak yang ada di rahimmu itu tidak salah apa-apa—meskipun kita tidak menginginkan kehadirannya, Vani!” “Lalu kita harus bagaimana lagi?” Sharvani menatap sendu, dengan bibir yang bergetar. Matanya bahkan mulai berkaca-kaca. “Kita nggak punya banyak pilihan, Mas ...” “Tarik ucapanmu soal aborsi! Karena sampai kapan pun, aku tidak akan pernah setuju!” Galindra segera berdiri dengan d**a naik turun. Dia berusaha keras menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam berulang kali, tapi tetap saja amarahnya tak kunjung reda. Apa yang baru saja dikatakan Sharvani benar-benar di luar nalarnya—solusi paling kejam yang pernah Galindra dengar sepanjang hidupnya. Tak pernah terbayang sedikit pun olehnya bahwa Sharvani—perempuan yang selama ini dia kenal sebagai sosok penyayang, mandiri, dan cerdas—bisa berpikir untuk membuang nyawa darah dagingnya sendiri. Rupanya begitu besar tekanan yang dirasakannya belakangan ini sampai-sampai tak bisa lagi berpikir dengan jernih. “Aku anggap aku tidak pernah mendengar ucapanmu barusan. Kita hentikan pembicaraan sampai di sini,” desis Galindra dengan tegas, lalu beranjak pergi meninggalkan ruang tamu. “Mas ...” Panggilan Sharvani terdengar lirih dan serak, namun Galindra tak menghentikan langkahnya, bahkan sedikit pun tak menoleh. Dia terus berjalan hingga akhirnya menghilang di balik pintu kamarnya. Perasaan Sharvani kini menjadi campur aduk. Amarah Galindra tadi membuatnya takut, tapi yang lebih menyakitkan adalah kebenaran di balik kata-kata pria itu. Ya, dia memang sudah keterlaluan. Hanya wanita yang telah kehilangan akal sehat yang sanggup mengutarakan hal sekejam itu. Seharusnya dia tidak boleh egois. Semua kekacauan ini bermula dari kesalahannya sendiri. Dia tidak punya hak untuk menghilangkan nyawa yang tumbuh karena perbuatannya, jika saja dia bisa lebih berani dan mau bertanggungjawab, mungkin pemikiran itu takkan pernah muncul—bahkan sekadar terlintas di benak pun tidak. Sekarang, Sharvani hanya bisa menyesal—menyesali segalanya dan makin tenggelam dalam rasa bersalah yang begitu dalam. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN