Pagi ini Galindra nyaris saja mengabaikan Sharvani kalau bukan karena melihat wajah pucat dan mata bengkaknya. Niat untuk membuat kopi pun dia urungkan. Sebagai gantinya, Galindra menarik salah satu kursi dan duduk di hadapan Sharvani.
“Maaf kalau ucapanku tadi malam terdengar kasar, tapi aku benar-benar serius dengan apa yang kukatakan, Vani,” ucapnya pelan, setelah menyadari kalau dia juga sudah keterlaluan.
“Aku tahu, Mas,” jawab Sharvani serak. Malam tadi lebih banyak dia habiskan untuk menangis daripada tidur, dan penampilannya pagi ini menjadi bukti nyata dari semua itu. “Aku juga minta maaf karena sempat mengutarakan hal seburuk itu. Aku janji nggak akan mengulanginya. Aku bahkan menyesal pernah menyampaikan itu padamu.”
“Syukurlah kalau kau menyesal.”
Sharvani lalu menghela napas panjang. “Sekarang aku menyerah. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Semua keputusan kuserahkan padamu, Mas. Apa pun itu, aku akan terima.”
Galindra terdiam sejenak. Rupanya Sharvani benar-benar jera. Dia sekarang sudah pasrah karena takut kembali salah langkah. Mungkin kemarahan Galindra semalam cukup mengguncangnya, membuat nyalinya ciut detik itu juga.
“Sebenarnya ...” Galindra membuka suara, lalu sengaja menjeda, karena merasa ragu apakah harus melanjutkan atau tidak. “Aku sedang mempertimbangkan sesuatu. Mungkin setelah kau mendengarnya, kau akan merasa kecewa. Tapi menurutku, ini satu-satunya jalan paling aman untuk kita berdua.”
Sharvani sempat terpaku sebelum akhirnya menunduk. Kedua tangannya kini saling menggenggam erat di atas pangkuan. “Katakanlah. Sudah kubilang aku menyerahkan semuanya padamu.”
“Kita pertahankan janin itu, dan mencabut gugatan perceraian. Untuk sementara, tunda saja semua hal yang pernah kita rencanakan. Kehamilanmu adalah prioritas utama sekarang.”
Saat kembali mendongak dengan cepat, ekspresi wajah Sharvani seketika berubah. Sorot matanya menyiratkan keterkejutan yang tak bisa dia sembunyikan. Dan dengan suara nyaris berbisik, dia bertanya, “Kenapa?”
“Karena aku ingin bertanggung jawab, Vani. Aku tidak tega membuang darah dagingku sendiri. Meskipun aku jauh dari kata suci, tapi aku juga tidak ingin menjadi pembunuh. Selama ini pekerjaanku selalu bersinggungan dengan hukum dan hak asuh anak. Aku terlalu sering melihat anak-anak menjadi korban dari ego orang tuanya. Aku tidak ingin itu terjadi pada anak kita.”
“Tapi kalau dia tetap lahir, bukankah nasibnya akan sama saja seperti mereka, Mas?”
“Aku bersumpah, dengan harga diri dan karierku sebagai taruhannya—aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Meskipun kita bukan pasangan yang saling mencintai, kita bisa belajar menjadi orang tua yang baik. Dia akan tumbuh dengan cinta dan perhatian, meski hubungan kedua orang tuanya tak seideal keluarga pada umumnya.”
Galindra menatap Sharvani dengan penuh kesungguhan, mencoba meyakinkannya lewat sorot mata dan kata-kata. “Percayalah, Vani. Kita pasti bisa menjalani ini. Kau jauh lebih mampu dari yang kau kira, dan aku pun mempercayai diriku sendiri.”
“Tapi ...”
“Aku tahu, semua ini terlalu tiba-tiba. Wajar kalau kau belum bisa menerima dan ragu. Aku pun sempat begitu. Tapi setelah kupikirkan baik-baik, tak ada jalan lain yang lebih benar dari ini.”
“Tapi aku takut, Mas. Takut nggak bisa jadi ibu yang baik. Bahkan saat dia masih di dalam kandunganku, sempat terlintas keinginan untuk menggugurkannya,” lirih Sharvani, nyaris tak terdengar.
“Itu karena kau tertekan oleh situasi, Vani. Jadi, jangan lagi menghakimi dirimu sendiri. Seperti yang kukatakan tadi, kita akan belajar bersama. Kita hadapi rasa takut itu berdua.”
Keheningan sejenak memenuhi ruangan. Bukan karena tak ada yang ingin diucapkan, melainkan karena hati Sharvani sedang berkecamuk hebat—dan Galindra memberinya waktu untuk menenangkan diri. Ada bagian dalam diri Sharvani yang ingin menyerah pada keyakinan dan mempercayakan segalanya pada Galindra, namun sisi lain masih diselimuti keraguan dan rasa takut akan kegagalan.
“Tidak semua perempuan bisa menjadi seorang ibu. Tapi pasti ada alasan mengapa kau yang terpilih, meski dengan cara yang tak kau harapkan.” Serangkaian kalimat penuh harap dilontarkan Galindra, berusaha meluluhkan hati wanita itu. “Karena Tuhan tahu kau mampu melakukannya dengan baik, Vani.”
Kini, yang tersisa hanyalah menunggu—menunggu Sharvani mengangguk atau mengucapkan kata ‘ya’. Namun tetap dibutuhkan dorongan yang cukup kuat untuk membuatnya benar-benar yakin. Karena itulah, Galindra berusaha semampunya untuk menggugah hatinya.
“Tuhan tahu kau tidak akan pernah sanggup melakukan apa yang pernah kau ucapkan.”
Sharvani sebenarnya bukan sosok yang gegabah. Dia selalu mempertimbangkan segalanya dengan saksama. Hanya saja, malam itu dia kehilangan arah, hingga sulit berpikir jernih. Kini, saat emosinya mulai stabil, Galindra perlahan mencoba memengaruhinya—mendorongnya untuk membuka diri dan menyambut takdir ini dengan hati yang lebih lapang.
“Menunda perceraian sama saja dengan menahanmu lebih lama di sisiku, Mas. Apa kamu nggak masalah dengan itu?” tanya Sharvani kemudian, dengan cemas.
“Ada tujuan yang lebih besar di balik semua ini. Kita tidak melakukannya demi kepentingan pribadi semata. Demi anak kita, aku tidak keberatan, Vani.”
“Kalau begitu ...” Setelah sempat menggigit bibir bawahnya, Sharvani akhirnya luluh. Satu anggukan kecil menjadi tanda persetujuannya. “Mari menunda perceraian kita dan tetap bersama sedikit lebih lama, sampai anak ini lahir ...”
Seketika Galindra merasa lega. Satu permasalahan akhirnya menemukan titik terang, meski masih ada hal lain yang menanti. Tapi itu urusan nanti—karena sama seperti saat ini, mereka percaya akan selalu ada jalan untuk menemukan penyelesaiannya.
“Terima kasih, Vani. Aku tahu ini tidak mudah, tapi kau sudah membuat keputusan yang tepat,” ucap Galindra, disertai senyum tipisnya.
“Terima kasih juga karena sudah menyelamatkanku dari kekacauan yang mungkin lebih besar di masa depan,” balas Sharvani, suaranya sarat dengan haru.
Galindra mengangguk pelan.
Apa yang mereka putuskan hari ini mungkin belum menghapus semua masalah, tapi setidaknya mencegah masalah yang jauh lebih rumit nantinya.
***
Pernikahan yang sebelumnya berada di ambang perceraian kini mengambil arah berbeda. Galindra tengah mengurus proses pencabutan gugatan cerai, sementara Sharvani mulai memikirkan batasan-batasan yang perlu ditetapkan selama mereka masih tinggal bersama. Tidak mungkin mereka menjalani semuanya tanpa aturan, mengingat hubungan mereka tak seperti pasangan pada umumnya.
Meski sudah berbagi atap lebih dari setahun, kedekatan di antara mereka nyaris tak pernah ada—kecuali pada malam kecelakaan itu. Selebihnya, mereka tetap seperti dua orang asing. Dan Sharvani ingin, status dua orang asing itu tetap dipertahankan sekalipun nantinya mereka sudah menjadi orang tua.
“Kontrak pernikahan? Alur kayak gini tuh gampang banget ditebak nggak, sih, Kak? Awalnya kedua tokoh utama patuh pada isi kontrak, ujung-ujungnya nanti saling bucin juga.”
Pertanyaan Regina menyadarkan Sharvani dari lamunannya, sekaligus memberi ide tentang apa yang harus dilakukan. Benar, dia dan Galindra perlu menyusun sebuah kontrak. Isinya akan mencakup batasan hubungan mereka, tanggung jawab Galindra sebagai calon ayah, serta kesepakatan untuk menjaga jarak secara emosional.
Tak ada yang terasa lebih tepat selain menyusun sebuah kontrak. Dan, bertolak belakang dengan akhir cerita dalam novel yang dibicarakan Regina, Sharvani bersumpah mereka tidak akan pernah berakhir seperti itu. Tidak akan pernah.
Dengan senyum tipis yang terlihat lebih lega, Sharvani mengangguk menanggapi ucapan Regina. “Iya, sangat mudah sekali ditebak,” katanya.
“Walaupun klise, aku tetap baca. Karena setiap cerita punya ciri khas, dan eksekusi penulisnya selalu beda-beda,” lanjut Regina sambil terkekeh.
“Soal ngobrolin novel aja semangat kamu, giliran kerja malah lemas.”
“Ah, Kak Vani, jangan nyindir gitu dong,” keluh Regina dengan muka cemberut. Dia lalu meletakkan ponsel di atas meja dan bersandar malas di sofa. “Kalau mau lihat aku semangat, naikin gaji aku dong, plus bonus juga.”
“Enteng sekali ngomongnya, kayak minta ke orang tua. Aku ini bos, bukan mama kamu.”
“Lagian kita ‘kan udah dekat. Kak Vani temanku juga, jadi aku nggak sungkan minta.” Regina nyengir lebar.
Sharvani hanya bisa menggeleng dan berdecak pelan. Gadis ini memang begitu—terlalu santai di luar jam kerja, tapi justru di situlah letak sisi menyenangkannya. Itu pula yang membuat Sharvani merasa lebih dekat dengan Regina dibandingkan karyawan lainnya.
“Eh, Kak, gimana kabar si kecil di dalam perut? Udah nggak rewel ya, makanya Kakak bisa ke kafe?”
“Iya, untungnya pusing dan mualku udah nggak separah kemarin-kemarin, Gi.”
“Syukurlah. Ikut senang dengarnya. Soalnya kalau Kakak nggak ada tuh, suasana kafe jadi beda. Jadi kayak nggak ada yang ngawasin kita.”
“Jangan menjilat, deh. Nggak mempan buat permohonan naik gaji dan bonusnya.”
Regina langsung tergelak sambil berkata, “Tapi aku serius, lho, Kak.”
Sharvani memutar bola matanya sebagai respons. Dia malas menanggapi lebih jauh, karena jika diladeni, pembicaraan pasti akan melebar ke mana-mana. Soal sanjung-menyanjung dan puji-memuji, Regina memang ahlinya. Sudah terlalu sering Sharvani mendengarnya sampai hafal luar kepala. Ujung-ujungnya juga pasti ada maunya. Regina ini anak yang memiliki mulut manis, banyak akal, tapi juga pantang rugi.
***