Sharvani: [Kamu lembur, Mas?]
Sekitar dua puluh menit setelah pesan itu dikirim, balasan dari Galindra akhirnya masuk. Sharvani segera membukanya, karena sejak tadi dia memang menunggu-nunggu.
Galindra: [Iya, ada beberapa berkas kasus yang harus diselesaikan hari ini. Kenapa, Vani?]
Sharvani: [Aku ingin membuat kontrak.]
Begitu pesan itu terkirim dan centang duanya berubah biru, tiba-tiba ponsel Sharvani berdering. Galindra menelepon, membuatnya sedikit terkejut. Rupanya, pria itu lebih suka membicarakan hal penting secara langsung daripada melalui pesan teks.
“Halo, Mas,” ucap Sharvani setelah menerima.
“Kontrak apa yang kamu maksud, Vani?” tanya Galindra tanpa basa-basi. Dari sedikit suara berisik yang terdengar di latar belakang, Sharvani bisa menebak bahwa Galindra tidak lembur sendirian. Kemungkinan ada rekan kerjanya di sana.
“Begini, aku pikir kita perlu membuat kontrak yang memuat batasan-batasan selama masih tinggal bersama. Tujuannya untuk mencegah kesalahpahaman, terutama dari pasangan kita. Mereka perlu tahu bahwa nggak ada maksud lain di antara kita selain bertanggungjawab atas kehamilan ini. Di luar urusan anak, kita tetap dua orang asing. Kamu mengerti maksudku, ‘kan, Mas?”
Ada jeda singkat sebelum Galindra akhirnya menjawab, “Ya, aku mengerti. Terima kasih sudah mengusulkan ini. Terus terang, aku sama sekali tidak terpikir ke arah sana—tanpa memikirkan kemungkinan kalau Anaya nantinya tidak akan mempercayaiku lagi jika tanpa bukti yang kuat. Terlalu sering mengumbar janji tanpa menepatinya membuatku terlanjur terlihat buruk di matanya.”
Seketika Sharvani menghela napas lega mendengarnya. Itu berarti Galindra menyetujui idenya. Nanti mereka tinggal menyusun poin-poin penting dalam kontrak, tentu setelah Galindra punya waktu luang untuk mendiskusikannya.
“Berarti soal kontrak ini sudah beres, ya. Besok pagi sebelum kamu pergi berkencan dengan Anaya, kita bahas bagian isinya. Bagaimana, Mas?”
“Ya, aku setuju, Vani.”
“Baiklah. Mungkin itu saja yang ingin kusampaikan. Maaf kalau mengganggu waktumu.”
“Tidak apa-apa. Kalau begitu, aku tutup teleponnya, ya.”
Tak lama kemudian, suara klik terdengar menandakan panggilan berakhir. Sharvani menurunkan ponselnya, dan segera beralih membuka chat room dengan Jefandra setelah melihat ada pesan baru masuk darinya. Mereka sudah berdamai sejak perdebatan terakhir, dan kali ini Jefandra mengundangnya datang ke acara peluncuran novel kelimanya yang digelar besok. Dia ingin Sharvani hadir di momen penting itu.
Sayang: [Aku mau kamu dengar langsung alasan di balik terciptanya karakter yang kutulis di buku ini. Kamu inspirasiku, Vani. Kamu berperan besar dalam penyelesaian buku kali ini.]
Membaca pesan itu membuat Sharvani terharu. Bahagianya sulit digambarkan, tapi bersamaan dengan itu, rasa bersalah juga menyeruak. Dia sadar telah menyakiti pria sebaik Jefandra. Cinta tulus yang dimiliki Jefandra tak seharusnya dibalas dengan kesalahan fatal yang telah dia perbuat.
Sambil menahan sesak yang tiba-tiba mendera dadanya, Sharvani pun membalas pesan itu.
Sharvani: [Kamu tahu, Jef? Aku selalu bangga padamu. Sekalipun kamu bilang aku adalah inspirasimu, tapi yang paling hebat itu kamu. Dari jari-jari dan pemikiran luar biasamu, lahirlah cerita dan karakter yang mengagumkan. Selamat atas terbitnya buku barumu, Sayang. Aku pasti datang dan akan selalu mendukungmu. Terima kasih sudah mengundangku. Aku beruntung memilikimu.]
Bersamaan dengan pesan itu, Sharvani menyertakan stiker berbentuk hati—cara kecil untuk menunjukkan sebesar apa perasaannya. Meski hubungan mereka dijalani secara diam-diam, kehadiran Jefandra tetap menjadi segalanya bagi Sharvani. Dia sangat berarti, bahkan jika dibandingkan dengan Galindra yang sah menyandang status sebagai suaminya.
Beginilah realita pernikahan karena perjodohan. Mereka terjebak dalam ikatan tanpa cinta, lalu juga turut mengorbankan orang-orang yang sebenarnya paling mereka cintai. Hidup Sharvani dan Galindra, benar-benar ironis sekali.
***
Sharvani sebenarnya berencana pergi ke mal setelah urusan membahas isi kontrak dengan Galindra selesai. Acara peluncuran buku baru Jefandra akan diadakan di Gramedia pukul sepuluh, dan dia sudah menyiapkan hadiah spesial berupa cokelat buatan tangannya sendiri, yang akan diberikan saat sesi tanda tangan dimulai nanti.
Sayangnya, persiapan penuh semangat itu berantakan seketika karena kedatangan mendadak kedua orang tua dan adiknya. Tanpa kabar terlebih dahulu, tiba-tiba saja sebuah mobil sudah terparkir rapi di halaman depan rumah mereka.
“Kenapa kau tidak bilang kalau orang tuamu mau datang?” bisik Galindra saat mereka buru-buru menuju pintu untuk menyambut. “Kita belum membuat persiapan apa-apa, Vani.”
“Aku juga nggak tahu, Mas. Mereka nggak ngabarin aku,” sahut Sharvani dengan wajah menyesal.
Dia merasa tidak enak hati, karena ini akan jadi hal merepotkan ke sekian kalinya—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga Galindra. Mau tak mau, mereka harus kembali berakting sebagai pasangan suami-istri yang harmonis di depan keluarga dan menunda rencana mereka untuk pergi hari ini.
“Maaf banget untuk yang kali ini, Mas. Tapi aku benar-benar mengandalkanmu. Mohon bantuannya selama beberapa jam ke depan.”
“Ya sudah, mari kita hadapi seperti biasa.”
Tepat saat bisik-bisik itu berakhir, Papa, Mama, dan Pandu—adik Sharvani—sudah menaiki undakan tangga dan kini berdiri tepat di depan mereka. Seketika, sandiwara pun dimulai. Sharvani dan Galindra langsung memasang senyum lebar, menyalami satu per satu dengan hangat, tak lupa memeluk penuh rindu. Setelah tiga minggu tak bertemu, rupanya keluarga Sharvani yang berinisiatif mengunjungi, karena biasanya yang berkunjung adalah Galindra dan Sharvani sendiri.
“Kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke sini?” tanya Sharvani sedikit merajuk, lengkap dengan bibir yang mengerucut manja.
“Kata Mamamu, biar jadi kejutan,” jawab Papa sambil tertawa kecil.
“Dan berhasil, kan? Lihat tuh ekspresi kalian, benar-benar nggak siap,” timpal Mama senang.
“Ya jelas kaget, Ma. Aku lagi nggak buat apa-apa. Mas Gale aja tadi cuma sarapan roti sama kopi. Rencananya hari ini kami memang mau pergi dan makan di luar, makanya aku nggak masak.”
“Astaga, Vani! Istri macam apa kamu ini? Sekalipun punya rencana makan di luar, tetap harus masak sesuatu buat suami di rumah.” Mama mulai mengomel dengan gaya khasnya, bahkan alisnya ikut menekuk karena gemas melihat kelakuan anaknya.
Sharvani tentu saja langsung memutar bola matanya, malas menanggapi. Sementara Galindra justru terkekeh pelan, seolah sedang menonton adegan lucu di depan matanya.
“Percuma punya latar pendidikan pastry dan punya kafe sendiri, tapi di rumah malah ogah-ogahan. Untung aja Galindra nggak buang kamu.”
“Please, Ma, dua hal itu sama sekali nggak ada hubungannya,” decak Sharvani setengah kesal. “Lagian aku juga nggak sering-sering begini. Di rumah aku cukup rajin, kok. Iya, ‘kan, Mas?” tanyanya sambil melirik Galindra, berharap mendapat dukungan.
“Iya, Ma.” Galindra mengangguk pasti, terlihat meyakinkan sekali. “Aku yang minta Vani tidak usah masak hari ini. Jadi, bukan salah dia.”
“Tuh, dengar sendiri, kan?”
Mama bersiap membuka mulut untuk membahas lagi, tapi Papa langsung menengahi, “Sudah, yuk masuk dulu. Masa baru sampai sudah debat di depan pintu? Malu dilihat orang lewat.”
Akhirnya mereka semua pun masuk ke dalam. Sharvani merasa sedikit gugup saat menuntun keluarganya ke ruang tamu, khawatir kalau Mama dan Papanya menangkap sesuatu yang mencurigakan. Tapi, seingatnya, semuanya masih terlihat normal. Dia dan Galindra memang selalu berjaga-jaga sejak awal. Mereka sengaja menata rumah agar terkesan hangat, seperti layaknya ditinggali pengantin baru. Tidak ada yang tahu bahwa mereka sebenarnya tidur di kamar terpisah.
Kamar utama sengaja diisi barang-barang milik mereka berdua, cukup untuk mengelabui jika ada yang masuk dan melihat-lihat—meskipun kamar itu tak pernah benar-benar mereka tempati. Untungnya, orang tua mereka bukan tipe yang suka mengusik ranah pribadi. Mereka percaya pasangan baru pasti butuh ruang sendiri, dan sejauh ini pemikiran itu sangat membantu.
“Ngomong-ngomong, Vani,” ujar Mama begitu sudah duduk di sofa. Tatapannya tajam, menyapu tubuh Sharvani penuh penilaian. “Kamu kelihatan agak beda. Jangan-jangan ... udah isi?”
“Isi apa? Kalau makanan sama minuman sih iya,” Sharvani menjawab cepat dengan nada setengah sewot. “Jangan ngomong yang aneh-aneh, deh, Ma. Aku masih sama kayak biasanya, kok.”
“Tapi serius, Mama ngerasa—”
“Mas, temenin mereka, ya. Aku ke dapur dulu bikin minum.”
Tak menunggu jawaban, Sharvani langsung kabur ke dapur, meninggalkan tatapan Mamanya yang penasaran. Untungnya Galindra kembali sigap dan langsung mengambil alih percakapan.
“Oh iya, Ma, soal rencana liburan ke Thailand waktu itu … jadi berangkat?”
“Kamu masih ingat, Gal? Wah, padahal itu udah cukup lama, lho.” Raut wajah Mama langsung berubah antusias, dengan cepat pula perhatiannya teralihkan. “Tentu saja jadi. Rencananya awal bulan depan kami bertiga berangkat. Kalian nggak mau ikut juga?”
“Sepertinya belum bisa, Ma. Pekerjaanku sedang padat dan Vani juga sibuk mengurus kafenya. Tapi kami akan memberikan tiket sebagai hadiah liburan.”
Bahkan sekarang mata Mama turut berbinar mendengarnya, meski begitu, beliau tetap merespons dengan sungkan, “Ah, nggak usah repot-repot, Gal. Diantar kalian ke bandara saja Mama sama Papa udah senang banget, kok.”
“Sama sekali tidak repot, Ma. Justru kami yang merasa harus minta maaf karena tidak bisa ikut merayakan anniversary pernikahan kalian di sana.”
“Tentu saja dimaafkan,” ujar Mama dengan senyum hangatnya. “Bahkan tanpa kamu bilang begitu pun Mama sudah mengerti, Gal.”
Lalu beliau menoleh ke arah Papa dan mengatakan dengan nada bangga, “Menantu kita ini memang luar biasa. Memang nggak salah kita jodohkan Vani sama dia, Pa.”
“Iya, Ma,” sahut Papa sambil mengangguk patuh.
Galindra yang mendengarnya hanya bisa tersenyum, lalu mengusap tengkuknya pelan—tanda canggung dan tak nyaman. Ucapan itu terasa berat baginya, karena semua yang mereka lihat hanyalah kepalsuan. Untuk menutupi rasa bersalah, Galindra akhirnya melirik ke arah Pandu, yang sejak tadi sibuk memainkan game di ponselnya. Adik iparnya ini memang pendiam, tapi saat diajak mengobrol, dia akan mendengarkan dan menanggapi dengan penuh perhatian.
***