Jam menunjukkan pukul 08.05 ketika Galindra memasuki gedung firma hukum tempatnya bekerja. Langkahnya mantap, jas biru dongker membalut tubuh atletisnya dengan rapi. Di tangan kanannya ada sekotak cupcake buatan Sharvani, sementara tangan kirinya menenteng map kulit berisi berkas penting klien hari ini. Dia sempat menyapa satpam di lobi dengan anggukan kecil dan senyum sopan, bahkan memberinya satu cupcake. Karena lift belum juga tiba, dia berdiri sejenak sambil membuka ponsel—mengecek pesan dan satu surel mendesak dari klien yang tengah berselisih soal hak asuh anak. Begitu lift terbuka, Galindra masuk dan menatap sekilas pantulan dirinya di dinding logam. Ada sedikit kantung mata—bekas begadang menyusun draf mediasi semalam yang belum sepenuhnya hilang dari wajahnya. Tapi bukan itu yan