*Alfath pov
Gadis ini kutarik menuju lift khusus untuk petinggi Xaviar yang tak perlu mengantri untuk bisa mengaksesnya. Aku menuju kelantai paling atas tempatku bekerja. Didalam lift tidak ada pembicaraan, Mikayla menjadi patung tepat berdiri dibelakang. Dari kaca kuperhatikan ia menunduk memainkan jarinya, aku tahu dia sangat gugup. Kaki gadis itu tidak berhenti bergerak gusar.
Ting
Pintu lift terbuka, aku berbalik dan menarik tangannya keluar dari lift. Aku menariknya masuk kedalam ruanganku. Sebelum benar-benar masuk ke ruangan pribadiku. Aku berhenti tepat di depan meja sekertaris yang menjaga lobby. Kedua sekertarisku menatap kami seraya membungkuk memberi hormat.
Aku berucap dengan angkuh. "Selama gadis ini belum keluar dari ruanganku, jangan biarkan siapa saja masuk! Kalian mengerti?" Mereka berdua mengangguk menyetujui ucapanku.
Kutarik lagi Mikayla masuk kedalam ruanganku dan mengunci pintu dengan cepat sebelum ia berontak dan kabur.
Tangannya sudah berontak meminta dilepaskan olehku. Setelah memastikan ia tidak akan kabur aku melepas tangannya. Dia sedikit meringis memegangi pergelangan tangannya itu.
"Sekarang apa yang akan kau katakan sayang?" Tanyaku tetap tenang. Berbicara seolah tak ada apa-apa.
"Kita bicara tapi tidak perlu mengunci pintunya kan?" Balasnya menatap pintu yang sudah kukunci rapat. Ada tatapan takut tersirat di matanya.
"Kenapa? Kau takut aku memperkosamu lagi disini?" Tanyaku dan dia langsung memundurkan langkahnya menjaga jarak agar lebih jauh dariku. Dia sensitif. Namun aku tak bosan memancing ketakutannya itu.
"Jangan macam macam atau saya teriak tuan!" Tekannya membalas tatapan tajamku.
Aku tertawa sinis. "Ck, kau tidak tahu ruangan ini kedap suara?" Dia tampak semakin panik. Saat aku berusaha mendekatinya, ia semakin menjauh dan menatap was-was kearahku.
"Ja..jangan lakukan hal bodoh tuan" gugupnya. Aku terkekeh mendengar suara gemetarnya itu. Apa begitu takutnya ia padaku? Kurasa sudah cukup aku menakutinya.
"Baiklah, kita hanya ingin bicara kan? Kau mau bicara apa?" tanyaku melipat kedua tanganku di d**a.
"Jangan katakan pada semua orang kalau kita, Anda dan saya pernah herhubungan." Ucap Mikayla.
"Kau takut disangka jalang? Karna sudah melayaniku?" Mikayla menatapku tajam. Yang kukatakan jelas salah, dia sama sekali tidak melayaniku. Aku yang memaksanya untuk memuaskanku. Aku hanya suka menggodanya. Jahat? Aku tak menyangkalnya.
"S..saya tidak melayani anda!"
"Jangan membentakku, aku benci hal itu. Kau lupa aku boss disini?" Tanyaku. Mikayla menggigit bibir bawahnya. Kegugupan gadis itu semakin bertambah saat aku menatapnya tajam. Aku tertawa melihatnya dan itu justru membuatnya mengernyit bingung. Terlihat karna dahinya mengerut.
"Kau takut padaku? Sayang, aku tidak akan kasar kalau kau tidak membangkang." Mikayla terdiam, ia tidak menjawab. Hingga sebuah suara pelan keluar dari bibir manisnya itu.
"Lalu saya harus diam saat anda melecehkan saya?" Lirihnya menatapku sedu.
"Aku tidak melecehkanmu, Kau harusnya beruntung bisa melakukannya denganku sayang. Banyak gadis yang dengan suka rela melakukannya untukku." Remehku.
"Saya bukan gadis itu tuan, anda memang atasan saya yang memiliki segalanya. Tapi bukan berarti anda bebas memperlakukan saya seperti binatang. Saya bukan jalang pemuas nafsu anda" lirihnya meneteskan air mata dengan tenangnya.
"Tapi nyatanya aku memilihmu untuk menjadi pemuas nafsuku" balasku datar tanpa ekspresi.
"Anda tidak memiliki perasaan! Anda b******k!" Umpatnya.
"Aku tidak perduli lagi dengan umpatanmu itu" ucapku tersenyum sinis. Aku berjalan cepat kearahnya hingga ia tidak punya waktu untuk menghindariku. Kuhimpit tubuhnya dan kutatap dia tajam. Dia masih berusaha mendorong dadaku, tenaganya sangat lemah jadi aku tidak bergerak sedikitpun saat ia berusaha membuatku menyingkir dari hadapannya.
"Sayang.." panggilku hingga dia berhenti berontak dan membalas menatapku.
"Lepaskan saya." ucapnya.
Kutarik dagunya hingga wajahnya mendongak kearahku. Kuhapus sisa air mata itu dengan ibu jariku begitu lembut. Jujur aku tidak pernah selembut ini pada wanita. Aku selalu kasar dan memperlakukan mereka layaknya binatang pemuas nafsuku saja. Mikayla gadis pertama yang membuatku jatuh cinta.
"Kau selalu saja membuatku ingin menikmatimu key" ucapku memejamkan mata menghirup rambutnya.
"Hentikan tuan. Ini dikantor" Ucapnya berusaha menjauhkan kepalanya.
"Lalu, kalau aku menikmatimu seperti kemarin dirumahmu bagaimana?" Tanyaku dan dia hanya menggeleng keras. Tangannya masih berada di dadaku untuk menjaga jarak.
"Jangan buat aku bertindak kasar padamu hmm" aku mengelus lembut pipinya kemudian mengusap bibir merah bergetarnya itu.
"Bibir ini begitu memabukkanku" kutatap tajam bibirnya itu. Tidak tipis dan tidak tebal. Begitu sempurna. Kudekatkan wajahku kearahnya dengan sedikit memiringkan wajahku.
Cup
Kukecup bibirnya sekilas lalu menatapnya lagi. Dia sudah menunduk enggan menatapku. Kutarik tengkuknya dan kucium lagi. Kali ini bukan kecupan melainkan sebuah lumatan. Aku melumat bibirnya atas bawah. Dia meremas kemejaku, aku bisa merasakan remasan tangannya pada dadaku. Gadis ini sangat gugup.
Setelah puas aku melepas ciumanku tapi wajahku masih sangat dekat dengannya, hidungku tertempel dengan hidungnya. Aku melihat ia menangis, air matanya mengalir deras membasahi pipi. Aku benci melihatnya menangis seperti ini.
"Jangan menangis aku tidak suka melihatmu menangis!" Bentakku. Dia terdiam dan mengusap sisa air matanya kasar lalu menatapku tajam.
"Lepaskan saya" ucapnya.
"Aku belum puas" balasku enteng. Mikayla menghembuskan nafasnya kasar. Apa gadis itu kesal? Sudah pasti dia kesal padaku.
"Saya harus bekerja. Lepaskan saya" ucapnya lagi.
Oke aku menyerah.
"Baiklah. Nanti malam aku akan mengunjungimu." Ucapku sambil membenarkan letak rambutnya. Aku mengusap pipinya lembut lalu berbisik.
"Pastikan nanti malam kau menyambutku." bisikku.
Dia hanya diam tidak membalas ucapanku. Aku menjauhkan tubuhku darinya, mengambil kunci yang kusimpan dan membuka pintu untuk gadisku ini. Dia melangkah keluar dari ruanganku tanpa menoleh sedikitpun padaku.
*Mikayla Pov
Aku keluar dari ruangan si b******k itu. Tatapan tajam dari para sekertaris cantik Alfath tertuju padaku saat aku keluar dari ruangannya. Aku tidak perduli lagi, yang jelas aku bahagia karna sudah terbebas dari pria aneh macam Alfath. Bibirku sudah kuusap berkali-kali untuk menghapus jejak bibirnya. Membayangkan ciumannya tadi membuatku merinding.
Lalu apa-apaan dia? Nanti malam ingin kerumahku? Apa dia gila? Aku jelas tidak akan mau menerimanya. Sebagai atasan ataupun seorang tamu sekalipun.
Aku kembali masuk kedalam ruang kerjaku, duduk dikursi dan langsung memakan habis waffleku yang ada diatas meja. Lagi dan lagi para karyawan mengerubungiku. Aku tidak perduli lagi kali ini. Kuketik dengan rapi surat pengunduran diriku.
Hari ini aku mengundurkan diri dan akan pindah kerumah papa dan mama. Aku tidak akan mau ditemukan pria b******k itu. Aku tidak mau lagi tidak berdaya dibawah kuasanya. Satu satunya cara aku harus melarikan diri sejauh yang kubisa.
"Kau sudah gila? Hei Key kau mau mengundurkan diri dari perusahaan nomer satu ini?" Teriak Diana setelah aku memasukkan suratku pada amplop.
"Aku tidak perduli lagi! Yang jelas aku tidak mau bertemu si b******k itu!" Balasku.
Aku meletakkan suratku diatas meja, setelah itu membereskan barang barangku. Aku keluar dari ruangan kantor tanpa perduli lagi teriakan Diana. Aku harus segera bergegas membereskan pakaianku yang ada dirumah, setelah itu pindah kerumah papa dan mama.
Surat pengunduran diri yang seenaknya ku letakkan di atas meja HRD yang tengah beristirahat, aku tidak peduli ia akan menerima surat pengunduran diriku atau tidak. Tapi yang pasti. Diterima atau tidak, aku sudah memenuhi syarat dan ketentuan dalam kontrak.
Selamat tinggal Xaviar Group, aku akan terbebas dari pimpinan psyco yang ternyata adalah pria b******k tak punya hati.
- To be continue -