Enam Belas

1024 Kata
Ye-Jun mengangkat ponselnya yang terus berdering nyaring saat sedang duduk santai usai sarapan tadi. Eomma calling~ Alis Ye-Jun terangkat sebelah saat ia melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Tumben sekali ibunya menelepon sepagi ini. "Halo?" "Ye-Jun! Apa kau sudah tiba di rumah?" "Iya, aku sudah di rumah sejak semalam. Ada apa eomma?" tanya Ye-Jun. "Datang lah kerumah bersama istrimu hari ini." Ye-Jun melirik Aida yang sedang duduk di kursi samping tengah serius melihat siaran di t.v, ia menghembuskan nafas pelan. Ia masih lelah sejak tiba semalam. Sebenarnya ia ingin istirahat seharian saja. "Memang ada apa, eomma? Aku masih capek." "Paman mu datang! Huh, dasar laki-laki itu. Tiba-tiba pergi begitu saja lalu sekarang tiba-tiba menampakan mukanya di rumah! Kau kemarilah bersama Aida. Kenalkan istrimu itu padanya. Dia kan tidak hadir saat kau menikah." "Paman ku yang mana? Kalau eomma lupa, aku punya 3 orang paman." Ye-Jun mendengar ibunya mendengus kesal yang membuatnya sedikit terkekeh. "Hiro, adik bungsu ayahmu itu. Datang lah bersama istrimu. Dan kau tau tidak? Paman mu juga sudah menikah! Jahat sekali ya tidak memberi tahu kita-" Kata-kata yang di lontarkan oleh ibunya sudah tidak lagi terdengar di telinganya. Lebih tepatnya, sejak ia mendengar ibunya menyebut nama Hiro. Tangannya langsung terkepal erat sehingga membuat telapak tangannya terasa seperti tertusuk oleh kuku jarinya sendiri. Rahangnya pun mengeras, hingga membuat suara geraman tertahan. Aida yang duduk di kursi samping melangkah mendekat dan duduk di samping Ye-Jun. Ia menepuk pelan bahu Ye-Jun yang membuat pria itu kaget luar biasa. Wanita di sampingnya itu mengerutkan dahinya bingung, ia menatap Ye-Jun dengan rasa khawatir. "Kau kenapa? Ada apa?" Ye-Jun menatap istrinya dalam, mulutnya terbuka namun tidak ada kata-kata yang terlontar. Membuat istrinya semakin bingung dengan pria itu. Setelah mengendalikan rasa di dadanya, ia berkata "Dia kembali, Aida..., dia kembali...." Aida tidak tahu apa yang sedang di bicarakan oleh Ye-Jun. Ye-Jun mematikan sambungan ponselnya. Ia tahu, pasti sekarang ibunya itu sedang mengamuk karena tindakan tidak sopannya. Tapi saat ini ia tidak peduli tentang itu. Orang itu benar-benar sudah kembali. Mereka yang sudah menghancurkan hati dan jiwanya kini telah kembali. Mereka berdua telah kembali. Sekarang Ye-Jun yakin wajahnya sudah sangat pucat. Rasa sakit yang di tinggalkan mereka berdua masih begitu terasa untuk Ye-Jun. Ye-Jun menghembuskan nafasnya kasar, mengusap wajahnya dengan keras. "Aarrggh!" teriaknya kencang. Aida yang kaget mendengar teriakan Ye-Jun yang tiba-tiba di hadapannya terlonjak kaget. "Kau kenapa? Kenapa tiba-tiba berteriak seperti itu?!" Ye-Jun menatap tajam pada Aida, "Tolong kau tinggalkan aku sendiri. Sekarang." "Hah? Memang kau kenapa? Kenapa tiba-tiba menyuruh Aida keluar?" "Sudahlah! Jangan banyak tanya! Aku bilang keluar ya keluar!" bentak Ye-Jun. Aida bangun dari kursinya, "bisa tidak jangan membentak seperti itu?! Hah?! Aida tanya baik-baik tapi kau malah mengusirku!" Ye-Jun berdecak marah lalu menendang meja yang ada di dekatnya, membuat Aida melangkah mundur. Bukan hanya kaget tapi juga merasa takut pada suaminya. Ye-Jun menatap tajam pada Aida, "Sekarang kau keluar atau aku yang akan menyeretmu keluar! Demi Tuhan! Bisa kah kau mendengar permintaan ku sekali ini?!" Aida yang merasa kesal, marah dan sedikit sakit hati karena bentakan tadi, langsung beranjak pergi dari sana. Ia berjalan kearah kamarnya, mengambil tas slempangnya lalu kembali turun ke bawah. Ia terus berjalan tanpa melihat Ye-Jun sama sekali, lalu mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja pantry. Membuka pintu rumah mereka, keluar dari rumah itu dengan menutup pintu yang sedikit di banting. Ye-Jun menendang kursi yang tadi ia duduki sekali lagi, perasaan marahnya ia luapkan pada istrinya yang tidak tahu menahu. Rasa bersalah mulai menyusup dalam dadanya. Lagi-lagi ia tidak bisa mengontrol rasa amarahnya jika sudah berhubungan dengan kedua orang itu. Ia menjatuhkan badannya ke sofa, mengusap wajahnya dengan keras karena rasa frustasi dan amarahnya. Ye-Jun menatap langit-langit ruang t.v. Pikirannya kembali melayang pada masa-masa itu. Masa bahagia juga sekaligus masa kelam untuknya. Ia menutup matanya dengan tangannya, bahunya sedikit gemetar. Rasa amarah itu berubah menjadi perasaan yang pilu. Perasaan yang sama sekali tidak di harapkan oleh Ye-Jun. Perasaan yang seharusnya sudah ia hapus sejak dulu. Sejak pengkhianatan yang di lakukan wanita itu. Dan sekarang, ia sudah menikah. Ia tidak ingin Aida untuk jatuh cinta padanya. Tapi ia ingin menghargai istrinya. Bukan tanpa alasan Ye-Jun meminta Aida untuk tidak boleh mencintainya. Karena dengan bodohnya di hati Ye-Jun masih ada wanita itu, wanita yang pernah sangat di cintai oleh jiwa dan raganya. Yang mampu menaklukan hatinya. Yang mampu menjadi cahaya di dalam hidupnya. Seharusnya dengan pengkhianatan wanita itu, Ye-Jun menghapus semua perasaannya. Tapi entah kenapa rasanya begitu berat untuk Ye-Jun. Perasaannya masih setia melekat di hatinya. Dan bayang-bayang wanita itu pun masih dengan hebatnya bercokol di relung batinnya Jika bukan karena paksaan ibunya, ia tidak ingin menerima perjodohan itu. Aida pantas mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik darinya. Yang mampu memberikan cinta dan seluruh hatinya untuk istrinya itu. Bukan pria seperti dirinya, yang dengan tololnya masih menyimpan kenangan masa lalu bersama wanita itu di sudut hatinya. Bukannya ia tidak mau melupakan. Jika bisa, Ye-Jun ingin sekali bisa melupakannya. Melupakan mereka yang sudah dengan kejam mengkhianatinya. Tapi ia tida mampu. Ia tidak mampu mengusir bayang-bayang itu. Ia tidak mampu menyembuhkan hatinya. Selama ini ia hanya mampu berlari dan menyangkal semuanya, menyangkal semua kenyataan yang ada. Ia hanya bisa berlari, menjerit dengan keras di dalam perasaanya. Lalu memasang benteng setinggi-tingginya. Sebab itu, ia meminta pada Aida untuk tidak pernah jatuh cinta padanya, karena ia takut. Ia takut untuk merasa terluka kembali. Ia takut untuk di khianati kedua kali. Ia takut untuk di tinggalkan.... Dan sekarang, ia dengan bodohnya memebentak dan mengusir istrinya hanya karena rasa amarahnya. Rasa marah yang seharusnya ia luapkan pada si pengkhianat justru ia tumpah kan pada istrinya. Jujur saja, ia lelah. Sungguh. Ia lelah untuk terus berlari seperti ini. Ia lelah untuk memasang benteng pada hatinya. Tapi ia tidak tahu bagaiaman cara untuk melepaskannya.... Ye-Jun mengambil ponselnya yang sejak tadi tergeletak mengenaskan di sampingnya. Ia mencari nama Aida di kontak ponselnya. Ia menekan nomor itu lalu menaruh ponsel itu di telinganya. Ia membuang nafas keras ketika mendengar bahwa nomor ponsel Aida sedang tidak aktif. Dia pasti mematikan ponselnya.... Ia membuaka kakao talk nya, mencari id Aida. To : Ai Aku minta maaf. Ku mohon akftikan ponsel mu.... Send ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN