Kejutan Yang Tak Diharapkan (1)

1418 Kata
“Ini sudah tanggung lho Lid, nggak lama lagi juga kelihatannya bakal selesai. Yakin mau pulang sekarang?” bisik Bu Ellen di telinga Bu Lidya, untuk mengimbangi suara berisik di sekitar mereka. Di dalam diam Bu Ellen sedikit menyesali mengapa tiket VIP yang semestinya untuk Suaminya itu justru jatuh kepada Bu Lidya. Namun karena terkesan tak rela telah menawarkan dan akhirnya memberikannya kepada Bu Lidya, akhirnya Bu Ellen menghibur diri dalam diamnya. “Iya. Aku ngantuk berat.” Bu Lidya balas berbisik. Bu Ellen sedikit menyesal mendengarnya. Waduh. Padahal aku mau melihat sendiri puncak acara nanti, pikir Bu Ellen. Dia melirik ke sebelahnya. Dan dengan berat hati dia mengangguk. Memang susah mengajak Orang yang jadwal tidurnya selalu di bawah jam 11 malam. Tapi ya sudahlah. Sisanya aku saksikan lewat tayangan video saja, kata Bu Ellen dalam hati. “Yuk,” kata Bu Ellen kemudian. Tepat saat Bu Ellen usai mengatakannya, Bu Lidya menguap kembali. “Nanti ini ada tayangan ulangannya kan Mbak?” tanya Bu Lidya sambil bangkit berdiri. Bu Ellen mengangguk. Segera mereka mencari jalan untuk keluar. Tapi sebenarnya bukan masalah siaran ulangnya. Aku itu kepngen ketemu langsung sama Putriku yang membanggakan ini. Aku kepengen memeluk dia dan mengucapkan selamat atas prestasinya ini. Dan tentu saja nggak bisa aku temui sebelum acara tuntas. Itu bisa mengganggu konsentrasi dia. Namanya juga lagi kerja, batin Bu Ellen sambil menelan kecewanya. Begitu mereka telah meninggalkan area acara, Bu Ellen berusaha untuk menghubungi Sang Supir. Barangkali karena belum mendapatkan sahutan dari Sang Supir, Bu Ellen memutuskan untuk menuju ke tempat parkir saja. “Ngapain kita harus jalan begini Mbak?” “Panggilan teleponku belum disahuti. Kamu sudah ngantuk, kan? Nah, sebaiknya kita langsung ke mobil.” “Ooooh..., oke.” Sewaktu mereka berdua berjalan menuju tempat parkir, ada bunyi klakson di belakang mereka. “Apa sih? Kita sudah jalan di pinggir juga,” keluh Bu Lidya. Ia lantas menoleh ke belakang. Mobil yang mengklakson mereka tampak melambat. Kaca mobil itu terbuka. “Mau ngapain lagi itu Orang? Kita sudah jalan di pinggir begini dia mau cari gara-gara? Pasti nih, Anak muda yang nyetirin,” keluh Bu Lidya lagi. “Tante! Tante Ellen!” Bu Ellen menoleh. Bu Lidya juga menepuk pundaknya. “Itu yang nyetir kenal sama Mbak?” Kendaraan melambat, tepat di sisi mekre berdua. “Tante Ellen, kok jalan kaki?” tanya Sang Pengemudi setelah memerhatikan dari kaca spion tengah bahwa tidak ada kendaraan lain di belakangnya. Tentu saja. Rata-rata Pengunjung sudah berada di dalam area pertunjukkan dan menikmati acara yang bergulir. Bu Ellen memperhatikan Sang Pengemudi dengan saksama. “Randy?” “Iya, Tante. Tante mau kemana?” “Ke tempat parkir. Ini Supir Tante belum jawab panggilan telepon Tante.” “Wah, lumayan jauh itu Tante. Mari saya antar.” Randy segera menghentikan kendaraan dan membukakan pintu tengah untuk kedua Wanita yang kira-kira seumuran dengan Mendiang Mamanya. “Lho, masa kami berdua duduk di belakang? Kamu jadi seperti Supir.” Randy tertawa dan menyahut, “Nggak masalah Tante. Silakan.” “Ayo Mbak. Itu di belakang takutnya ada mobil.” Berkata begitu, Bu Lidya sedikit mendorong punggung Bu Ellen. Bu Ellen bergegas naik ke mobil. “Tante kok sudah pulang? Memang acaranya sudah selesai?” tanya Randy ketika kedua Wanita itu telah duduk di jok tengah. “Belum. Ini Tante Lidya sudah mengantuk. Kamu sudah kenal sama Tante Lidya? Kalau belum, kenalan sekarang saja.” “Hallo Tante Lidya. Saya Randy.” “Hallo Randy, saya Lidya, masih Sepupu sama Tante Ellen.” Usai mereka berdua saling menyapa, Bu Ellen bertanya, “Kamu kok ada di sini?” Randy agak segan ketika akhirnya menjawab, “Mau jemput Klara, Tante.” Bu Ellen tak dapat menahan senyumnya. Wah. Kemajuan. Kok Rara nggak bilang apa-apa, ya? Pikir Bu Ellen. “Oh ya? Aduh, tahu begitu tadi Tante ajak kamu nonton temani Tante. Ini Tante Lidya payah. Jam segini sudah minta pulang,” kata Bu Ellen. “Mbak kok begitu sih.” Randy tertawa. Bu Ellen memerhatikannya. Sebenarnya Anak ini menyenangkan juga. Dan cukup sopan. Tapi kenapa ya, Rara kelihatannya nggak tertarik sama dia? Atau sebenarnya mereka berdua pura-pura nggak tertarik? Gengsi, karena merasa dijodohkan? Bisa jadi, namanya juga Anak Muda. Ataukah ini saatnya aku sebagai Orang tua sebaiknya memberi doa yang terbaik saja dan mendukung prosesnya biar berjalan sebagaimana mestinya? Tanya bu Ellen dalam hati yang sebetulnya bertanya-tanya di dalam diam, adakah Klara dan Randy sesungguhnya salng berkomunikasi tanpa setahunya. “Tante tahu nggak, mobilnya diparkir di sebelah mana?” tanya Randy. “Tadi sih kelihatannya di area depan sini. Soalnya tadi kami diturunkan dulu sih. Coba Tante telepon lagi,” kata Bu Ellen lalu segera menghubungi kembali Sang Supir. Bu Lidya mengerling dengan tatapan bingung. Lah. Nggak tahu pastinya parkir di mana terus tadi itu mau mengajak cari satu-persatu? Ini mobil ratusan bahkan mungkin ribuan begini, pikir Bu Lidya. “Hallo, Iya Bu,” sahutan Sang Supir melegakan Bu Ellen. “Hallo Pak, Bapak parkir di sebelah mana ya?” “Di Lot A-3, bu. Sisi yang menghadap ke timur. Tapi untuk apa Ibu tanya tempat parkir segala? Apakah acaranya sudah selesai? Saya saja yang jemput Ibu di tempat saya drop Ibu tadi?” “Nggak usah. Kita yang hampiri ke sana. Tadi Bapak saya hubungi ngak jawab soalnya.” “Jangan, Bu. Jauh. Saya ke tempat Ibu sekarang. Di tempat yang tadi, kan? Maaf, tadi sewaktu Ibu telepon, perangkat teleponnya sedng saya pakai. Ini baru saja saya mau telepon balik. Sebentar ya Bu, saya segera meluncur ke sana,” sahut Sang Supir. “Nggak usah, Pak. Bapak di situ saja. Ini saya sudah di dalam kendaraan. Bapak nyalakan saja mesinnya.” “Baik, Bu. Sekali lagi maafkan saya.” “Nggak masalah, Pak.” Meski belum terlalu paham apa yang dimaksud Sang Majikan, Sang Supir memutuskan untuk mematuhi perintah Sang Majikan. Dia segera menyalakan mesin kendaraan. “Randy, Supir Tante parkir di Lot A-3, sisi yang menghadap ke Timur katanya.” “Oke, Tante.” Randy yang mulai memasuki area pakir segera menuju titik yang dimaksud. “Ngomong-ngomong, kamu kenapa sih, nggak meminta saja tiket untuk nonton, ke Rara? Kasihan kan, kamu hanya kebagian jemput begini. Acaranya meriah sekali, lho.” Randy sedikit ragu. Dia sedang berusaha merangkai jawaban yang tepat ketika pertanyaan lanjutan dari Bu Ellen terdengar kembali. “Kamu sibuk sekali, ya?” Rasanya Randy ingin menarik napas lega. “Lumayan Tante. Untungnya tadi sewaktu singgah ke kantor Om Alvin dan ketemu Kak Irene, saya dikasih tahu untuk jemput Klara. Dan dikasih tahu juga lokasinya serta perkiraan selesainya acara sekitar jam berapa. Jadi saya atur waktu untuk kemari.” Ada sedikit rasa kecewa yang menyapa Bu Ellen. Hm. Ternyata andilnya Irene. Dan ternyata inilah jawaban atas dugaanku yang tadi. Rupanya memang belum ada apa-apa antara Randy sama Rara. Tapi bukannya aku semestinya bersyukur? Ini Randy sudah mau lho, berada di sini? Sekarang aku bantu saja dia, supaya sambutan Rara ke dia nanti nggak mengesalkan Randy, pikir Bu Ellen. Bu Ellen melirik arlojinya. Dia menimbang-nimbang apakah sebaiknya menelepon Sang Putri. Usai berpikir sesaat, dikiriminya Sang Putri pesan teks. To : Dear Rara Rara sayang, kira-kira kamu sampai jam berapa pekerjaannya tuntas? Ini Randy sudah jemput kamu. Kami sudah ada di tempat parkir. Nanti kamu bersikap yang baik ke Randy ya. Mendadak Bu Lidya yang dari tadi mendengarkan percakapan Randy dan Bu Ellen, iseng menatapi pesan teks yang dilihatnya diketik dan dikirimkan ke Sang Keponakan. Sikap ingin tahunya mendadak muncul. Dia segera mengetik sebuah pesan teks untuk Bu Ellen. To : Mbak Ellen Mbak, jadi ini Randy yang Mbak pernah singgung dulu itu? Yang katanya mau didekatkan sama Rara tapu nggak ada perkembangan yang baik sesudahnya? Aku baru ingat. Tadi itu kirain Randy yang lain. Anaknya baik dan sopan kelihatannya. Aku kok jadi penasaran mau melihat bagaimana dia dan Rara ketemu nanti. Bu Ellen yang tengah memegang telepon selulernya langsung membaca pesan teks yang masuk itu. Bu Ellen mengerling kejam dan bertanya lirih, “Rasa ngantuknya sudah hilang?” Sekarang dia jadi curiga, jangan-jangan Irene adalah Anak Kandung dari Bu Lidya karena sifat mereka yang mirip, suka mau tahu urusan Orang lain. Bu Lidya hanya tersenyum saja. “Yang di depan sana mobilnya kan, Tante?” Pertanyaan Randy mengusik Bu Ellen. Dia tak menyangka kalau Randy masih mengingat kendaraan Sang Suami yang kerap dipakainya. “Iya, betul.” Saat itulah, secara tak terduga, telepon genggam Bu Ellen berbunyi. Bu Ellen mengernyitkan alis ketika mengetahui Siapa yang meneleponnya. * $ $ Lucy LIEstiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN