Kejutan Yang Tak Diharapkan (2)

1445 Kata
Walau setengah ragu dan tak percaya benarkah nama Penelepon yang tertera di layar telepon genggamnya, Bu Ellen menjawabnya juga. “Hallo, Ra. Kok kamu sempat telepon Mama? Bukannya lagi sibuk banget?” “Hallo Ma. Iya, Rara kebetulan baru ke toilet sebentar makanya sekalian ngecek telepon. Lho Mama kok sudah di tempat parkir, maksudnya bagaimana? Mama sudah nggak di tempat acara? Kenapa? Acaranya nggak menarik?” “Ini lho, Tante-mu ini. Dia bilang ngantuk, tadi. Mungkin nggak terbiasa sama aura jingkrak-jingkrak ala Anak Muda begitu. Kurang enjoy barangkali. Sekarang sudah sampai di tempat parkir malahan nggak mau pulang dia. Mau nunggu kamu. Ini dia malah lagi cari-cari link untuk nonton secara streaming katanya.” “Hah? Mau lihat apaan di tempat parkir? Kenapa nggak masuk lagi saja? Kalau memang mau nonton lewat link ya sama saja dong dengan nonton di rumah. Pakai televisi. Lebih besar layarnya, lebih jelas dan lebih puas pula.” Kendaraan melambat, tepat di depan mobil yang biasa dipakai oleh Pak Alvin. Lantas berhenti sempurna. Sang Mama melirik kepada Bu Lidya. “Lid, mau masuk lagi nggak? Ini Rara kelihatannya nggak akan bisa ngomong lama-lama lho.” Bu Lidya menggelengkan kepalanya. “Tante Lidya nggak mau katanya. Itu kelihatannya dia seduah ketemu link-nya. Ra, kamu sekitar jam berapa ? Supaya Mama bisa kasih tahu Randy perkiraan waktunya.” “Hah? Ngapain sih dia?” “Hei..., ayo langsung jawab saja, Sayang.” Rasanya saat ini Klara ingin mencakar-cakar dinding dan membayangkan bahwa dinding itu adalah wajah Randy. “Masih lama Ma. Bisa dua sampai tiga jam lagi. Bilang ke dia mendingan pulang saja sekarang. Lagi pula Rara juga ditungguin sama Supir Rara, kok.” “Kamu jangan keras kepala deh. Sudah kamu nanti telepon ke Randy kalau selesai ya. Daagh!” Sang Mama segera menutup panggilan teleponnya. Baru saja Klara hendak balik menghubungi Sang Mama, namun beberapa pesan telah keburu masuk ke nomor telepon genggamnya. Karena berpikir selagi sempat,dia segera mengecek beberapa di antaranya. Salah satunya adalah dari Irene, yang rupanya berbunyi bahwa dirinya telah menyuruh Supir Klara untuk pulang. Sudah pasti pula diiringi dengan ancaman halus agar Klara bersikap baik kepada Randy. Klara menggelengkan kepala. Semestinya aku tahu Siapa Otak-nya. Ini aku harus bagaimana sekarang? Si Randy ngapain sih mau-maunya disuruh kemari? Dan aku harus bagaimana bilang ke Vino? Dia pasti curiga, pikir Klara dalam kalut. Selagi dia di tengah kalut, sudah ada beberpa pesan masuk dari Anggota timnya. Klara menghela napas panjang. Terlebih ketika dia melihat Vino yang tengah jelas berjalan ke arahnya. Mereka berdua bertemu di pertengahan karena Klara juga menuju ke arah Vinoyang mempercepat langkahnya. “Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Klara formal. Vino menggeleng dan tersenyum lebar. “Semuanya lancar. Ini sebentar lagi mau acara puncak.” “Terus kenapa kamu nyamperin aku sampai kemari? Aku juga ada sejumlah pesan teks dari Tim aku yang belum sempat aku baca.” “Kalau aku cari kamu, karena aku nggak lihat kamu. Makanya, aku tanya ke Tim-mu. Aku nggak mau sampai kamu ketinggalan melihat acara puncak. Aku rasa Anggota Tim-mu juga berpikiran begitu.” Klara mengangguk-angguk. Dia melihat ke sekitar dan setelah memastikan tidak banyak Orang di sekitar mereka, dia berkata lirih, “Vin, Mama aku kan ada di sini.” “Aku tahu. Kamu sudah bilang kan tadi?” Klara memejam mata. “Aku rasa aku harus pulang lebih dulu. Kalau misalnya review-nya dilakukan besok, bisa nggak?” Vino menatapi paras Klara yang tampak tengah menangging beban. “Ya nggak masalah buatku. Yang penting kamu baik-baik saja.” Refleks, Vino mendekat dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Klara. “Kamu mau pulang duluan bukan karena sakit atau kecapean, kan?” tanya Vino penuh perhatian. Klara buru-buru menepis tangan Vino. Dia khawatir ada Rekan Vino yang memergoki kededatan mereka. “Kamu ngaco. Nanti rekan-rekanmu melihat bagaimana?” Vino langsung mengembuskan napasnya. “Oke. Aku paham. Itu masalahnya, kan? Kamu mau pulang sama Mama kamu. Dan kamu begitu takutnya kalau Mama kamu sampai melihat aku. Dan seterusnya dan seterusnya.” Klara menatap kesal. Masalahnya itu lebih dari itu, tahu nggak? Aku nggak mau kamu dan Randy sampai ketemu karena aku beum tahu harus bersikap seperti apa. Ada Mama, soalnya, di tempat yang sama dengan dia. Kenapa sih kamu nggak ngerti-ngerti juga? ketus Klara dalam hati. Teringat Vino yang hari ini pun telah sempat mengirim signal ngambeg kepadanya, mendadak saja Klara merasa harus sedikit menenangkan Vino. Dia mencermati keadaan di sekelilingnya lalu mengusap pipi Vino. “Kamu tolong sabar. Itu saja yang aku minta sekarang. Nah, aku mau balik ke lokasi. Kita bisa kan, mengesampingkan dulu urusan pribadi ini? Kamu sudah janji untuk bersikap profesional, kan?” Vino terbungkam. Dia mencoba meresapi aliran hangat di pipinya, yang membuatnya sedikit terhibur. Klara tak berkata apa-apa lagi. Dia segera melangkah meninggalkan Vino. Dan Vino mengekor di belakangnya sambil menggertutu dalam hati, “Cewek satu ini memang kebiasaan. Suka kentang, setengah-setengah dan bikin Orang penasaran. Baru sekali ini aku dikerjain begini sama Cewek. Sepertinya aku harus mencari strategi baru. Aku mau bikin dia merasa bersalah sama aku. Lihat saja besok-besok, kalau yang ini sudah tuntas. Aku benar-benar mau bikin kamu ngejar-ngejar aku sampai kamu mempermalukan dirimu sendiri karena mengemis cint adan perhatian dari aku. Kamu itu benar-benar sudah membuat rencanaku kaca balau sejauh ini.” Sementara di tempat parkir, Randy terbingung sendiri dengan ulah Dua Orang Wanita yang setelah diantarnya ke mobil yang menunggu mereka, justru tidak segera meninggalkan tempat tersebut. Berpikir bahwa bisa jadi Dua Orang wanita itu akan jenuh selagi menunggu kedatangan Klara, Randy berinisiatif untuk menengok tas karton berisi roti yang diletakkannya di bagasi. Karena kebetulan Randy masih mendapatkan tempat parkir tak jauh dari mereka, Randy menghampiri mereka sembari membawa tas karton tersebut. “Tante, Tante menunggu Klara juga ya? Ini mungkin bisa sambil dinikmati selagi menunggu Klara,” kata Randy sembari mengulurkan tas karton berisi roti dan kue yang dibawanya dari outlet. Sebelum menunu ke tempat acara ini, Randy memang sengaja singgah ke outlet dan mengambil beberapa macam kue serta roti. Dipikirnya, akan diberikan kepada Klara ketika bertemu. Semata agar ada pembuka pembicaraan di antara mereka berdua. Namun kini, menyadari ada Dua Orang yang entah mengapa masih betah berada di tempat parkir, dia tergerak untuk memberikannya kepada mereka. “Apa ini, Ran?” tanya Bu Ellen. “Eng itu Tante. Beberapa macam kue dan roti dari outlet.” “Ah, kamu pakai repot-repot.” “Enggak kok, Tante.” Bu Lidya yang pura-pura menikmati tayangan acara di layar telepon genggamnya yang kecil, sebenarnya terus mencermati dan ‘menilai’ Vino secara sembunyi-sembunyi. “Kok banyak sekali, Randy?” “Oh, itu tadi. Saya pikir setelah acara kan mungkin saja Klara kelaparan atau bagaimana dan saya kurang tahu seleranya dia yang mana. Jadi saya bawa sekalian beberapa. Takutnya dia keasyikan kerja jadi lupa makan.” “Wah! So Sweet sekali kamu ini. Rara pasti langsung meleleh hatinya,” celetuk Bu Lidya. Randy langsung tersipu. Diam-diam dia menyesal telah salah bicara. Aku kan bukan mau perhatian sama Si Cewek Sombong itu. Tapi biar nggak kaku saja ketemu sama dia, batin Randy. Bu Ellen mengerling sekejap, seolah menegur halus. Bu Lidya hanya mesem saja. “Kalau begitu, Tante ambil beberapa saja, buat Tante berdua sama Si Bapak Supir. Nah, sisanya kamu bawa lagi. Benar kata kamu, Siapa tahu Rara lapar. Anak itu kalau kerja di rumah juga suka lupa makan. Apalagi ini, menggelar acara sebesar ini.” Bu Ellen menyodorkan kembali tas karton yang tadi diserahkan oleh Randy, setengah memaksa, setelah mengambil bebrapa potong roti dari sana. Randy tak kuasa menolak. “Yach! Habis acaranya,” keluh Bu Lidya. “Tuh, acaranya habis. Berarti kita nggak akan lama lagi menunggu. Rara. Tante mau mengucapkan selamat atas keberhasilannya. Setelah itu baru Tante pulang. Kamu masih sabar menunggu kan, Ran?” tanya Bu Ellen. “Ya, Tante. Saya tinggal dulu.” “Silakan.” Ketika Randy meninggalkan mereka, tak sadar Bu Ellen menggumam lirih, “Ternyata benar, Randy itu ada perhatian ke Rara. Iya nih, aku yang harus bantu mereka juga. Rara yang tadi kelihatan masih keras kepala. Rene itu kadang ada benarnya juga.” Tak seberapa lama kemudian, terdengarlah suara gegap gempita di sekitar mereka, yang diiringi oleh suara mesin kendaraan yang dinyalakan. Lantas satu demi satu kendaraan meninggalkan area parkir. Hanya tertinggal sebagian kecil. Kemungkinan besar itu adalah kendaraan dari Kru dan Penyelenggara. Saat meilhat bahwa lot di sebelah kendaraan yang ditumpangi oleh Bu Ellen kosong, Randy bergegas berpindah area parkir. Yang ada dalam pikirannya hanyalah, setidaknya Klara akan kesulitan untuk memperlihatkan sikap ketusnya apabila menyaksikan Sang Mama masih bertahan di sana. Randy tidak tahu saja, apa yang akan dihadapinya sebentar lagi. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN