Walau di mata Para Kru-nya Sosok Klara terbilang amat jarang meninggalkan tempat acara hanya berselang sekitar satu jam sepuluh menit dari penutupan acara terlebih ini adalah gelaran yang cukup besar, toh mereka sama sekali tidak berkeberatan.
Terang saja, yang pertama, Klara adalah Bos mereka. Jelas saja Klara sangat berhak meninggaljan mereka lebih dulu. Lantas yang kedua, semua urutan acara juga telah terselenggara secara sukses.
Klara lah, yang agak ragu. Dan itu terlihat pada pancaran wajahnya.
Sampai-sampai Sang Lawan bicara yang meyakinkannya, setelah mengetahui bahwa kepergian Klara ini bukan karena Klara merasa tidak sehat atau terlampau lelah.
“Nggak apa Mbak Rara. Kami bisa tangani. Dan jangan khawatir, saya juga akan memberikan informasi ke Mbak Rara, apabila ada perkembangan terkini. Tenang saja,” kata Ferry, salah satu Kru andalan Klara.
Klara menganggukinya.
“Beneran nggak apa, kan? Saya juga sudah bicara ke perwakilan Media 789, bahawa kita akan mengadakan review besok. Maaf ya, soalnya Mama dan Tante saya rupanya terus menunggu saya.”
Ferry tersenyum.
“Beneran dong, Mbak. Mbak Rara hat-hati di jalan, ya. Malah saya mau minta ijin, boleh nggak kalau Kru kita yang Cewek-cewek biat pulang duluan saja?” tanya Ferry.
“Boleh,” sahut Klara cepat.
“Oke. Terima kasih Mbak. Hati-hati di jalan.”
“Terima kasih Fer. Aku duluan ya.”
“Silakan Mbak.”
Ferrry mengacungkan ibu jarinya.
Kamu memang bisa diandalkan, Fer. Sebagaimana halnya Gerald untuk banyak acara pameran. Sepertinya ke depannya nanti aku harus fokuskan kamu untuk menangani sejumlah acara semacam ini, batin Klara, yang segera terkenang dengan beberapa penawaran yang sedang berjalan. Dia sangat yakin, dengan keberhasilan acara ini, akan ada kabar baik untuk sejumlah penawaran kerja tersebut.
Klara segera beranjak setelah menitipkan beberapa pesan kepada Ferry.
Dia ingin sesegera mungkin menemui Sang Mama, setelah tahu posisi di mana posisi parkir kendaraan yang ditumpangi Sang Mama.
Namun langkah kaki Gadis itu terhenti ketika ada sebuah tangan yang mencekal lengannya dari arah belakang. Cekalan yang tampak tergesa untuk menahannya. Seketika perasaan Klara langsung tidak enak. Dia menoleh.
“Eh, Vin! Ada apa?” tanya Klara yang buru-buru mengibaskan tangan Vino.
Alih-alih menjawab, Vino malah mesem kecil.
“Ada masalah?” tanya Klara.
Vino menggeleng dan kembali berusaha untuk menjangkau tangan Klara.
Klara menghindar dan mengisyaratkan agar Vino menjaga sikap.
Terlebih ketika tatap matanya bersirobok dengan tatap mata Mariska yang kebetulan tengah tertuju kepadanya.
Sementara Mariska tampak sedikit grogi lantaran terpergok tengah melihat ke arahnya.
Gadis itu lekas menganggukkan kepalanya dan tersenyum.
Klara membalas senyum Mariska.
“Ih kaku amat, kenapa sih?” protes Vino.
“Apanya yang kaku?”
Tanya Klara dengan suara tertahan.
“Ya kamu. Masa aku cuma mau pegang tangan saja nggak boleh,” ucap Vino seenaknya.
Klara berdecak kesal.
“Vin, aku harus bilang berapa kali sih! Aku nggak mau dijadikan bahan gosip. Lagi pula aku sedang terburu-buru mau pulang. Kalau memang nggak ada masalah, ya sudah aku tinggal dulu. Dan kalau ada sesuatu hal yang mendesak, ada Ferry yang bisa mewakili aku,” kata Klara pelan.
Vino mendengkus.
“Aku tadi cuma mau tanya apa kamu sudah mau pulang? Ayo, aku antar keluar dari sini.”
Klara menggeleng kuat-kuat.
“Kenapa?” protes Vino sebal.
“Ada Mamaku dan Tanteku.”
Vino mengangkat bahu.
Itu lagi, pikir Vino.
“ Ya sudah terserah kamu deh. Hati-hati di jalan ya. Kalau kalau sudah sampai apartemenmu, kasih tahu aku,” ucap Vino datar.
Klara mengangguk dengan matanya.
Dia sungguh merasa tak nyaman karena ada beberapa pasang mata yang diketahuinya tengah menatap ke arah mereka berdua.
Bahkan Mariska juga langsung mendekati Fela.
Fela menyambut Mariska dengan wajah haus gosip.
“Ada apa?”
“Kelihatannya mereka berdua sedang bertengkar.”
“Ah. Apa yang dipertengkarkan? Acara sukses kok malah bertengkar.”
“Nggak tahu juga. Aneh saja. Aku tadi sempat tanya ke Kru Mbak Klara. Mereka bilang Mbak Kalra itu Bos yang luar biasa. Sukanya menunggu sampai semua rangkaian acara selesai dan sedapat mungkin langsung mengadakan review. Mereka juga bilang, Mbak Klara itu kan pulangnya juga terakhir biasanya.”
“Ah! Masa sih?”
“Kalau nggak percaya tanya saja ke mereka. Makanya, aneh kan, kalau hari ini pulang duluan.”
“Mungkin lagi ada perlu.”
“Entah. Tapi tadi aku sempat korek keterngan dari Salah Satu Kru Mbak Klara. Kru lepasan sih, tapi katanya sudah sering juga dihubungi untuk terlibat langsung dengan acara yang ditangani Mbak Klara. Itu makin menguatkan dugaanku.”
“Dugaan apa?”
“Ya bahwa mereka berdua itu pacaran. Orang dia itu sering lihat Mas Vino bantuin kok, kalau Mbak Klara ada acara. Makanya tadi Kru yang itu sempat menyapa Mas Vino dengan akrab. Mas Vino juga kelihatannya lumayan kenal sama dia.”
“Ya biarin saja sih. Yang penting nih, acara ini sukses, performa kerja kita juga ikut bagus. Pasti ada penilaian tersendiri. Sykur-syukur kalau kita dikasih bonus.”
“Amin.”
“Iya, makanya. Nggak usah ngurusin urusan pribadi mereka berdua. Masa bodoh. Asalkan...”
“Asalkan apa?”
Fela tersenyum tipis dan menyahut, “Asal keberhasilan acara ini nggak membuat Mas Vino jadi semakin mentang-mentang seperti yang kamu takutkan.”
“Nah, itu!”
Fela menggeleng.
“Sudah ah! Lanjut kerja yuk!”
Mariska mencibir.
“Kamu ini. Sudah mancing Orang, terus seenaknya minta Orang berhenti membicarakan soal itu. Dasar!”
Fela mesem tengil.
Sementara itu, Klara tak menunggu sahutan Vino. Dia langsung melangkah cepat.
Tidak terpikir oleh Klara untuk menghubungi Sang Mama dan meminta dijemput di depan pintu masuk saja. Dia sengaja memilih berjalan kaki ke tempat parkir. Angin malam yang berhembus menerpa tubuhnya.
“Uf! Sial sekali! Tahu begitu tadi aku bawa jaketku. Ini anginnya nggak enak banget,” keluh Klara.
Gadis itu setengah berlari, menghampiri kendaraan yang amat dikenalnya.
“Itu Rara. Ngapain dia lari-lari begitu?”
Pertanyaan Bu Ellen mengusik Bu Lidya yang menguap berkali-kali tetapi masih ngotot untuk bertahan dan menyaksikan ‘pertemuan’ Randy dengan Klara.
Bu Lidya tersentak.
“Hah? Mana? Kok cepat? Tadi bukannya bilang masih lama? Atau jangan-jangan dia mau minta supaya kita pulang duluan saja? Biar dia sama Randy nggak terganggu sama kita?”
Bu Ellen tertawa kecil menanggapi pertanyaan Sang Adik Sepupu.
Ia membuka jendela mobil dan melongok ke luar.
“Ra! Rara!” Seru Bu Ellen sambil melambaikan tangannya.
Klara segera menghampiri badan mobil.
Ia mengatur napas yang sedikit terengah lantas berkata kepada Sang Mama, “Aku ikut Mama saja.”
“Hush! Apa-apaan! Nggak sopan itu. Randy sudah menunggu kamu dari tadi.”
“Siapa yang suruh? Salahnya dia sendiri ada di sini,” kata Klara.
“Ra, jangan begitu. Mama nggak pernah ngajarin kamu bersikap begitu. Ayolah. Kamu ini biasanya selalu menghargai Orang lain. Enggak enak kalau nanti terdengar sama Randy,” ucap Sang Mama lirih.
“Benar itu, Keponakan Tersayang! Calon Suami sebaik itu jangan disia-siakan. Bahaya! Nanti langsung diperebutkan sama banyak Cewek di luar sana,” cetus Bu Lidya.
Klara menggertakkan giginya.
“Ma, ayo dong. Aku numpang Mama. Ini gara-gara Kak Irene sih. Pakai acara minta Supir aku pulang segala, tanpa sepengetahuanku. Ini di sini sangat susah untuk nunggu taksi konvensional lewat atau memesan taksi daring. Apalagi sekarang sudah jam segini. Aku duduk di depan nggak apa deh,” ucap Klara dengan menekan rasa sebalnya.
“Jangan dong, Ra. Sudah, kamu samperin Randy gih, sana. Tadi Mama lihat dia sudah pindahin mobilnya supaya lebih dekat kemari, soalnya kan sudah banyak lot yang kosong.”
“Aduh Ma, tolong deh. Ini anginnya nggak enak, Ma. Mama tega kalau aku masuk angin kelamaan berdiri di luar begini?” Tak sadar Klara mengeluh. Dan sialnya, suaranya lumayan keras.
“Hallo, Klara,” sebuah sapaan terdengar dari arah belakang.
Klara bagai tengah menonton film horor.
Wajahnya langsung menegang.
Dia bahkan tidak tertarik untuk menoleh.
Sial. Sial. Apa-apa kalau berkaitan sama Kak Irene selalu saja begini efeknya ke aku, pikir Klara.
Dia tidak tahu saja, sebentar lagi dirinya akan lebih sebal lagi.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $