“Eeeeh..., Randy... sejak kapan ada di situ? Pandangan Tante tadi terhalang badannya Rara, jadi kamunya nggak kelihatan,” kata Bu Ellen.
Dalam hati Klara ingin benar mengumpat.
Ya ampun, Ma. Memangnya sebesar itu badanku? Mama ini keterlaluan. Dan makhluk yang nggak diharapkan ini ngapain pakai beredar di sini? Nggak penting banget tahu nggak sih, kehadirannya? Bikin ribet hidupku, ketus Klara dalam hati.
“Itu Tante, tadi dari jauh saya sudah lihat Klara berlari ke arah sini,” ucap Randy.
“Ran, kebetulan sekali. Itu lho, Keponakan Tante ini katanya kedinginan. Kamu ada bawa jaket atau apa nggak? Tolong pinjami. Dan tolong segera ajak masuk ke mobil. Kasihan, takut dia masuk angin. Kata Mbak Ellen, dia itu sudah dari pagi lho, mempersiapkan acara ini. Kasihan, kan? Sudah, kalian berdua pulang sana,” ujar Bu Lidya tiba-tiba.
Rasanya Klara ingin menjerit.
Nggak Tante Lidya, nggak Kak Irene. Bocor semua mulutnya, keluh Klara di dalam diamnya.
Wajah Klara langsung masam.
Ia buru-buru mengatakan, “Nggak. Nggak. Nggak ada yang kedinginan.”
Randy tersenyum kecil.
Dia melepas jaket yang dia kenakan dan memakaikannya ke badan Klara.
“Maaf ya Klara. Kamu pakai ini saja.”
“Waaaah... so sweet.”
Ucapan ini terlontar dari mulut Bu Lidya.
Bu Ellen menyenggol lengannya, dan dengan ekspresif Bu Lidya berteriak, “Auuw!”
Bu Ellen melirik Sang Adik Sepupu.
Klara segera menyingkirkan jaket yang disampirkan di punggung dan lengannya oleh Randy barusan, dikembalikannya kepada Sang Pemilik.
“Ini. Pegang saja. Nggak usah repot-repot.”
Dalam hati Klara membatin, “Disangkanya parfummu wangi apa, segitu percaya dirinya pakaikan jaketmu itu ke badan aku, nggak minta ijin dulu. Memangnya aku ini Siapa-mu?”
Randy menerimanya dengan hati dongkol.
Sebenarnya dia juga ingin berkata ketus, “Hih! Ge er sekali. Kalau nggak untuk menjaga etika di depan Tante Ellen dan Tante Lidya, mikir dua kali aku sebelum melakukannya.”
“Nah, kalian pulang deh. Ran, tolong antarkan rara sampai apartemennya, ya. Kamu tahu kan, Apartemen Marbelle yang di jalan Boullevard Flamboyan itu lho. Sudah, jalan sekarang saja. Biar kalian berdua bisa cepat sampai tujuan dan bisa cukup istirahata. Besok kan kalian berdua pasti kerja lagi.”
“Siap, Tante. Saya tahu daerah itu. Kami jalan duluan kalau begitu.”
Klara ingin sekali menyahuti, “Kami? Kepalamu yang kami? Kami itu melibatkan dua Orang! Memangnya aku setuju kamu wakili begitu? Huh!”
Tetapi mendadak terlintas sebuah pemikiran di benaknya kala dia menyaksikan beberapa Orang keluar dari gedung.
Astaga! Vino! Bagaimana kalau mendadak Vino keisengan lalu mengecek ke parkiran? Atau Salah Satu Rekan Kerjanya? Bagaimana kalau ada yang melihat aku diantarkan oleh Randy lalu jadi berita nggak benar ditambah banyak prasangka nggak jelas? Ih! Sekadar membayangkannya saja aku sudah malas, pikir Klara.
Maka akhirnya Klara berkata, “ Ma, Tante, aku pulang ya.”
“Sebentar,” ucap Sang Mama sambil menggerakkan tangannya, memberi isyarat agar Sang Putri mendekat dan sedikit menunduk.
Klara menurutinya. Dipikirnya Sang Mama akan memberitahu sesuatu hal secara pribadi kepadanya.
“Ya, Ma. Ada apa?” tanya Klara pelan.
Sang Mama menjulurkan tangan untuk menjangkau kepala Klara, lalu mendekatkan kepala itu ke keepalanya. Lantas diciumnya pipi Klara dengan penuh sayang dan membelai lembut kepalanya.
“Selamat ya, Sayang. Acaramu sukses besar. Padahal, ini pertama kalinya kan, kamu menangani acara semacam ini? Mama bangga. Tadi Mama sempat bertukar pesan sama Papa. Papa juga bilang kalau dia bangga sama kamu. Semoga kamu selalu sukses ya Sayang. Sekarang, cepat pulang, lalu istirahat. Mikirin kerjaannya besok lagi, ya,” ucap Sang Mama.
Randy dapat mendengarnya dengan jelas.
“Terima kasih, Ma.”
“Tante juga mau mengucapkan selamat, Keponakan Tersayang!” seru Bu Lidya.
“Terima kasih Tante.”
“Rara jalan sekarang ya. Mama sama Tante Lidya juga hati-hati di jalan.”
“Daagh sayang! Randy, bawa mobilnya nggak usah ngebut-nebgut ya!”
“Baik Tante.”
Ketika Klara membalikkan badannya, hampir saja dia bertabrakan dengan Randy.
Secara refleks, Randy menggemait lengannya, untuk mencegah jangan sampai Gadis itu limbung.
Wajah Klara langsung merengut dan melepaskan tangan Randy.
“Maaf,” ucap Randy.
“Oh ya, selamat atas acaranya yang sukses, ya. Tadi aku sempat melihat secara streaming sementara menunggu kamu,” sambung Randy sembari mengulurkan tangannya.
“Terima kasih,” sahut Klara pendek.
“Parkir di mana?” tanya Klara kemudian.
“Itu, di sebelah sana. Yuk,” ajak Randy.
Tiba di dekat mobilnya, Randy mendahului langkah Klara dan membukakan pintu untuk Gadis itu.
Jika di depan Bu Ellen tadi dia cukup banyak berkata-kata, sekarang dia mulai irit berbicara.
Klara membalasnya.
Gadis itu langsung masuk dan duduk di jok samping Pengemudi.
Ketika kendaraan Randy mulai bergerak meninggalkan area parkir dan melewati depan kendaraaan yang ditumpangi Bu Ellen, Klara melihat sendiri kendaraan Sang Mama juga mulai bergerak dan berjalan di belakangnya. Seolah membuntuti mereka.
Klara menghela napas panjang.
“Terima kasih ya, kamu sudah mau repot-repot datang kemari segala dan memberi aku tumpangan untuk pulang. Lain kali nggak usah lho.”
Randy tidak menyahut.
Cowok itu tampaknya asyik memerhatikan keadaan jalan.
Klara mulai merasa geregetan.
Nggak sopan ini Cowok. Seperti nggak rela aku menumpang di mobilnya. Lagi pula Siapa yang mau menumpang? Dia yang bodoh mau-maunya disuruh Kak Iren kemari. Dia sangka enak ya, dikasih tumpangan, terus dicuekin begini? dumal Klara dalam diam.
Selagi Klara berharap lekas sampai di apartemennya dan terbebas dari Randy yang segera menjadi dirinya sendiri dan dianggap sebagai ‘Patung Perunggu’ begitu tak lagi berada di depan Sang Mama, telepon genggam Klara berbunyi.
Klara langsung melihat Siapa yang meneleponnya karena takut ada Kru yang menghubunginya.
Ketika melihat nama yang tertera di sana adalah Vino, dia jadi bimbang.
Dia mengerling ke samping.
Alangkah sebalnya hati Klara.
Dia melihat Randy benar-benar mengabaikan dirinya.
Klara mengembuskan napas kemudian bertanya, “Nggak keberatan kalau aku angkat teleponnya? Ini dari Orang di lokasi event. Takutnya ada suatu permasalahan karena tadi aku pergi duluan.”
Randy memalingkan wajahnya sesaat dan dengan gerakan tangannya mempersilakan agar Klara menerimanya saja. Tanpa beban.
Setengah mati Klara menahan diri supaya tidak sampai mencibir menyaksikan reaksi Randy tersebut.
Sok mahal sekali suaranya. Padahal aku sudah mengalah ngomong begitu panjang demi alasan kesopanan karena aku sadar posisiku yang nebeng dia saat ini, kata Klara dalam hati.
Lekas digulirnya jemari tangannya, menyentuh ikon telepon berwarna hijau.
“Hallo?” sapa Klara.
“Hai, Sayang. Kamu sudah ketemu sama Mama dan Tantemu?"
Suara Vino terdengar sangat riang.
Klara sampai menahan napas.
Mana dia tahu kalau Vino pakai meneleponnya segala pada saat seperti ini?
"Hei Sayang, kok malahan diam begitu? Sudah di mobil sama Mama kamu? Atau jangan-jangan kamu sudah di jalan, ya?"
Suara Vino tetap seperti biasanya, mendayu-dayu kala mengucapkan panggilan 'Sayang' kepada Klara. Jenis Suara yang selalu sanggup melenakan Para Lawan Jenis.
Klara tak dapat menyangkal, hatinya tetaplah berdebar mendengarnya.
Gerakan refleks yang dilakukan oleh Kara setelahnya adalah menempelkan telepon genggamnya lebih dekat lagi ke telinga, seakan takut kalau sampai Randy mendengar suara Vino.
Lantas beberapa saat kemudian dia merasa geli sendiri mengapa harus melakukannya.
Hei! Bukannya malah bagus? Aku sekalian mengeluarkan kata-kata mesra saja ya, ke Vino? Biar Si Randy ngadu ke Kak Iren bahwa aku sudah punya Pacar. Biar dia juga bisa menolak kalau disuruh-suruh jemput aku begini? Tanya Klara dalam hati.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $
Fan Pages B!telucy