Telepon genggam Klara bergetar untuk kesekian kalinya.
Bila semenjak tadi Klara masih bertahan untuk tak menghiraukannya karena tak mau konsentrasinya terganggu sedikitpun, kali ini dia berubah pikiran. Dia pikir ada baiknya untuk menanggapi. Karena semakin lama didiamkan, semakin getarannya dirasanya mengganggu.
Dia merogoh saku celananya dan mengambil telepon genggam tersebut untuk mengetahui Siapa gerangan yang menelepon. Dia menggeleng putus asa begitu mengetahui Siapa yang menghubunginya. Dia menduga, yang sedari tadi menghubungi berkali-kali juga pasti Orang yang sama.
Pasalnya, Semua Kru-nya baik yang saat ini tengah stand by di kantor maupun berada di lokasi event masing-masing termasuk yang bersamanya, tahu benar bahwa dirinya sedang tak ingin diganggu saat ini. Dia sudah berpesan pula kepada Tim yang standby di kantor untuk menangani urusan lain, sehingga Para Pemakai jasa Organizer-nya tetap dapat terlayani dengan baik.
Klara menatap ke sekeliling. Dia merasa lumayan lega saat ini karena semua persiapan acara sejauh ini berjalan dengan sangat lancar sebagaimana dengan yang ia inginkan. Segenap Kru-nya yang dilibatkan dalam event ini juga bekerja sesuai arahan yang diberikan. Yang lebih membuat dirinya merasa lega luar biasa adalah karena tidak ada gesekan yang berarti antara Tim yang dia miliki dengan Tim dari Vino.
Sudah begitu, Klara mendapati bahwa Vino sendiri sejauh ini juga cukup ‘tertib’. Cowok itu tidak memanfaatkan celah sekecil apapun untuk menunjukkan perhatian yang berlebih kepada dirinya selagi mereka bekerja, yang dianggap oleh Klara dapat menimbulkan bisik-bisik yang hanya berefek buruk.
Maka memutuskan segera menjauh dari area rehearsal untuk menerima panggilan telepon dari Irene.
“Kenapa sih? Selalu saja telepon pada saat yang kurang tepat? Untung saja semua Pengisi Acara sudah mendapatkan giliran dalam rehearsal dan yang ini yang terakhir,” dumal Klara lirih.
Dalam hati Klara berdoa agar apapun juga yang akan disampaikan oleh Irene sebentar lagi, tidak akan mengacaukan mood baiknya yang masih sangat diperlukan hingga acara selesai nanti.
“Ya Kak Iren, ada apa?”
“Ada apa, ada apa? Kamu ini seperti nggak suka aku telepon. Aku ini sudah menghubungi kamu semenjak tadi padahal pekerjaanku saja juga sedang banyak,” omel Irene dalam kesewotan yang tak tersembunyikan.
Klara menyabarkan hatinya.
Orang hamil kan harus disayang. Sudah, dimaklumi saja deh, batin Klara yang sebetulnya ingin dia membalas ucapan Irene dengan tak kalah sewot, “Kak Iren tahu nggak sih? Aku ini lagi sibuk. Super sibuk malahan! Event ini amat sangat penting bagiku dan bagi... Vino!”
Tapi sudah jelas dia tak mungkin untuk melakukan tindakan ‘bunuh diri’ tersebut.
Ia menelan ludah dan bertanya dengan suara yang lebih pelan, “Iya Kak. Ada apa?”
“Begitu dong cara tanyanya. Kan lebih enak didengarnya.”
Klara menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ampun, ampun, nggak ngerti Orang lagi sibuk berat, keluh Klara dalam hati.
“Iya Kak..., aku lagi repot sekali nih.”
Kalimat Klara macam kalimat yang membangkitkan macan tidur saja.
“Tahu..., tahu, Nona Super Sibuk.”
“Kak, bukannya begitu...”
“Ya sudah, karena kamu super sibuk, aku mau langsung tanya, kamu kapan ada waktu?”
Klara mendesah.
“Kak Iren tolong bilang saja langsung. Maaf Kak, aku juga sedang di lokasi event sekarang.”
“Ra, kamu itu nggak ada rasa bersalah sama sekali ya? Pertama, saat misa memperingati 100 hari meninggalnya Tante Virny.”
“Kan Kak Iren tahu sendiri aku sedang ada rapat penting untuk event. Event yang ini. Dan saat itu sudah masuk tahap persiapan akhir. Mana bisa aku tinggalkan begitu saja??”
“Ya padahal kan kamu bisa suruh Anggota Tim kamu yang menghadiri rapat itu. Cuma satu kali rapat terakhir, kan? Kamu juga kan nggak menghadiri rapat itu sendirian, kan?”
Klara tahu tak ada gunanya berdebat dengan Irene. Hanya akan semakin merusak suasana hatinya dan membuang waktu secara percuma saja.
“Kak..., oke, oke aku salah soal itu.”
Puas Kak? Puas? Keluh Klara dalam hati.
“Yang kedua, kenapa tadi lama sekali angkat telepon dari aku?”
Ini pun Klara merasa tak perlu menjawab.
“Ra, kamu masih di sana?”
“Iya Kak.”
“Balik ke masalah misa 100 hari untuk memperingati meninggalnya Tante Virny, Om Suwandi sebenarnya kecewa sekali kamu nggak bisa datang.”
Hati Klara berbisik, “Ngibul. Ngibul. Ngibul. Om Suwandi memaklumi kok. Orang aku sudah bicara sendiri sama Beliau pas aku ditelepon.”
“Ada hal yang semestinya disampaikan secara pribadi ke kamu saat itu.”
Ah, terserah deh Kak, Kak Iren mau bilang apa bebas deh. Yang penting cepat selesai pembicaraan yang menguji kesabaran ini, batin Klara pasrah.
“Makanya sekarang begini, ini event ini kapan selesai? Maksud aku, kata Mama biasa setelah selesai sebuah event kan kamu masih disibukkan denan acara review segala. Kapan beresnya, supaya aku bisa sampaikan ke Om Suwandi supaya kamu bisa ngobrol-ngobrol sama Beliau.”
Klara menepuk jidatnya perlahan.
“Kak, nanti aku kabari, ya. Aku sudah harus balik ke lokasi.”
“Sesusah apa sih unuk menentukan waktu, Ra? Jangan banyak alasan!”
“Kak Iren, aku serius nggak bisa menjanjikan dulu sekarang. Maaf. Biar event ini selesai sepenuhnya. Mohon kesabaran Kak Iren.”
Suara Klra begitu memelas. Sebuah taktik baru yang dipelajarinya dari Vino kalau ingin meminta sesuatu darinya.
Rupanya, taktik ini lumayan menuai hasil.
“Ya sudah, jangan lupa mengabari aku selambatnya lusa.”
“Okay Kak, daagh!”
Klara langsung mematikan teleponnya.
Usai dengan itu, dia menghirup napas dalam-dalam, seolah pembicaraan singkat dengan Irene barusan sangat menguras energi baiknya.
Diurutnya pelipisnya.
Dia terkaget setengah mati ketika berbalik badan.
Hampir saja dia terjatuh.
Tangan Vino terulur, menangkap pinggangnya.
Klara langsung menstabilkan posisi berdirinya dan menyingkirkan tangan Vino dari pingganggnya. Bak Seorang Pencuri yang waspada akan kemungkinan buruk, pandangan mata Klara langsung menjelajah ke sekitarnya.
Syukurlah, nggak ada Siapa-Siapa di sini, batin Klara lega.
“Kamu ngapain ada di sini?”
“Nyusul kamu. Habis tadi aku cari-cari di dalam nggak kunjung ketemu.”
“Oh. Ada apa? Ada masalah?”
Vino menggeleng.
“So far so good. Semuanya masih on the track.”
“Oh, bagus itu.”
Vino mengusap pipi Klara lalu dengan gerakan singkat mendaratkan sebuah kecupan mesra di sana.
Dengan gugup Klara berusaha menepis, walau tetap saja sia-sia.
“Vin, jangan begini. Nanti ada yang melihat kan nggak enak,” tegur Klara sambil mendorong d**a Vino.
“Nggak ada kok.”
“Jangan diulangi. Tolong. Kita kan lagi kerja. Nggak enak jadi suasananya. Tadi juga, kamu pakai rangkul pinggang aku segala.”
“Sayang, kalau nggak aku lakukan, kamu sudah jatuh tadi.”
Klara mengibaskan tangannya.
“Yuk, masuk.”
“Telepon dari Siapa sih Sayang, kok wajah kamu jadi berubah begitu? Jadi rada cemberut?”
“Siapa lagi kalau bukan Kak Irene.”
“Dia bilang apa?”
“Nggak penting. Dan nggak ada hubungannya sama pekerjaan kita.”
“Sabar ya Sayang.” ucap Vino lembut.
Berkata begitu, tangannya mengelus punggung Klara.
Dan Klara merasa amat nyaman untuk beberapa saat. Meski setelahnya, disingkirkannya pula tengan Vino dari sana.
“Sebenarnya aku penasaran, kenapa Kakakmu itu kok sangat menindasmu.”
Klara menggeleng enggan.
“Malas buat membahasnya. Lagi pula aku sudah pernah menyinggungnya.”
“Tapi aku penasaran sih, sama detailnya.”
Klara menghela napasnya.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $