Irene Yang Kembali Beraksi (2)

1181 Kata
Gadis itu mengembuskan napasnya dengan berat, seolah dirinya berusaha untuk melepaskan beban. Beban untuk menjawab pertanyaan yang tidak dikehendakinya. Vino mengerling mesra, terang-terangan berniat hendak menggoda Gadis itu. Klara yang menyadari akan hal itu, segera mengelak dari kerlingannya, menatap ke arah lain. “Kamu tahu kan fokus kita sedang amat sangat diperlukan saat ini. Jadi nggak ada pentingnya buat ngomongin hal yang lain.” Pernyataan yang begitu telak. Bukan sekadar untuk melepaskan diri dari ‘keharusan’ bertutur tentang akar ‘permasalahan’ yang membuat Irene begitu bebas menindas dirinya, tetapi lagi-lagi sekaligus mengingatkan Vino untuk menjaga sikap profesional mereka. Vino tersenyum kecil memahami pesan terselubung itu. Rupanya dia tahu benar Klara memergoki kerlingan matanya yang sungguh ingin menggoda tadi. “Ya maksudku nggak sekarang juga, Sayang. Lain kali aku kepengen dengar.” Klara tidak menyahut. Ia memilih untuk mempercepat langkah kakinya, meninggalkan Vino yang terbengong. Klara sampai lupa menanyakan ada hal apa yang hendak disampaikan oleh Vino sehingga memerlukan untuk menyusulnya segala. * “Rene, jangan lupa ya, acaranya malam ini. Disiarkan secara langsung lho. Mulai dari jam tujuh malam hingga jam dua belas malam. Keren, kan? Kamu pulang kantornya tepat waktu ya. Nggak apa menonton dari rumah. Karena nanti kalau menonton di lokasi, takutnya kamu terlalu capek. Kan lagi hamil.” Ucapan Sang Mama terdengar begitu ceria dan bersemangat dalam panggilan video kepada Irene menjelang sore itu. “Iya. Padahal aku penasaran sekali mau ikut menonton secara langsung seperti Mama sama Tante Lidya. Dhika sama Mama Gwen payah sih, nggak kasih ijin. Nyebelin,” sahut Irene dengan bibir yang mengerucut. “Ini demi kebaikan kamu, Sayang.” “Iya. Selalu deh dibilang demi kebaikan aku.” “Ya memang. Kamu bakalan capek kalau ada di sana. Sudah, jangan terlalu kecewa. Kan Papa juga terpaksa nggak bisa menemani Mama karena ada perjalanan mendadak ke luar kota kemarin itu.” Irene mengangkat bahu. “Iya sih. Papa juga agak berat hati waktu memutuskan untuk berangkat kemarin itu. Tapi mau bilang apa? Ya, namanya juga Klien lagi butuh bantuan darurat, Ma. Mereka lagi ada pemeriksaaan pajak. Aku dengar sendiri Papa sudah meminta maaf sama Rara, kok.” Bu Ellen mengangguk. “Iya. Papa tahu sendiri betapa pentingnya perhelatan ini buat Rara. Ini pertama kalinya dia berkolaborasi dengan tim internal Channel 789. Bahkan Papa bilang, Rara sampai bolak-balik berdiskusi ke Papa sebelum mengajukan proposalnya. Ah. Semoga saja acaranya booming dan bisnis Rara semakin berkembang. Siapa tahu Channel 789 akan menawarkan kerja sama exclusive kepadanya ke depannya nanti. Kan Channel 789 ini termasuk yang paling bungsu di antara jejeran stasiun televisi yang ada sekarang. Hebat kan, berani mengadakan acara sebesar ini?” Irene semakin kesal mendengarnya. “Sudah Ma, jangan terlalu banyak membahas soal acara ini. Bikin aku jadi nelangsa saja karena nggak bisa menyaksikan secara langsung karya besar dari Adikku.” Sang Mama langsung terdiam. “Menonton dari televisi kan sama saja, Sayang.” “Ya jelas beda dong Ma. Auranya, suasananya. Kurang asyik dan kurang hidup. Lagi pula terlalu banyak jeda iklan. Ih, aku ini iri berat sama Mama dan Tante Lidya. Terutama Tante Lidya, beruntung sekali bisa mendapatkan undangan lungsungan yang harusnya menjadi milik Papa.” “Sudah, sudah. Yang penting kamu dukung Adikmu ya,” hibur Sang Mama. “Selalu, Ma. Tapi jangan karena dia keasyikan kerja melulu cari uang melulu terus lupa deh sama kewajiban.” Sang Mama mengerutkan kening. “Hah? Kewajiban apa?” “Ya kewajiban untuk memberikan Seorang Menantu yang kualitas unggul semacam Randy dong, Ma.” “Ren..” “Ma, nggak boleh begitu terus lho. Setelah selesai event ini, Rara sama Randy harus dipertemukan. Ah, aku punya ide.” Sang Mama agak panik mendengar kalimat terakhir dari Irene. “Ren, tolong ya, kamu fokus sama kandunganmu saja. Soal Rara sama Randy biar menjadi urusan Papa, Mama, dan Om Suwandi.” “Ah, Mama sama Papa lama. Aku sudah bilang ke Rara setelah selesai event ini, aku harus ketemu sama dia.” Bu Ellen terperangah. “Jangan Ren!” “Lho, kenapa? Rara itu kan Adikku, Ma. Masa aku nggak boleh ketemu dan ngobrol-ngobrol sama dia?” protes Irene tanpa menyembunyikan ketersinggungannya. “Bukannya begitu...” “Terus apa, Ma?” “Ya tentu saja kamu boleh ngobrol sama dia kapan saja. Tapi jangan sekali-kali kamu membocorkan tentang pesannya Mending Tante Virny.” “Ya enggaklah, Ma. Itu kan murni haknya Om Suwandi.” “Oh, syukurlah.” Bu Ellen menarik napas lega. Irene mencibir. “Mama ini, kenapa selalu negative thinking sama aku sih? Aku itu sudah lumayan lama nggak ngobrol santai sama Rara Ma. Aku juga sekalian mau mengorek tentang Si Cowok yang ada di foto itu. Pasti Mama belum menanyakannya sampai sekarang, kan?” “Ren..., waktunya belum pas.” Sang Mama menjawab dengan berat hati. “Mama nunggu sampai mereka berdua menjalin hubungan yang serius, terus akhirnya jadi menimbulkan masalah?” “Heh, jangan seperti itu bicaranya.” “Habis, Mama sih.” “Ren, kamu jangan keterlaluan dan menyudutkan Rara ya.” Irene berdecak. “Aku punya caranya Ma, tenang saja.” “Janji sama Mama.” “Iya. Sudah, Mama sekarang siap-siap pilih kostum kembaran sama Tante Lidya gih, pilih outfit yang paling oke, terus dandan yang cantik. Kan mau girls night out mumpung Papa lagi di luar kota. Awas ya, itu mata jangan lirik-lirik Cowok muda. Aku bakal titip pesan sama Pak Andra supaya pasang mata pasang telinga biarpun nggak sekadar menyetir. Biar dia bisa mengadukan semua ‘pelanggaran’ yang mungkin Mama perbuat di sana,” ujar Irene. Sang Mama tertawa. “Wah, kamu ngaco omongannya.” “Lha, Mama kan tahu sendiri, Channel 789 ini kan memang acaranya kebanyakan menyasar kaum muda dan yang berjiwa muda. Siap-siap jadi yang umurnya paling senior nanti ya Ma, di lokasi acaranya,” ejek Irene. “Hush!” “Daaagh Mama. Have fun, ya. Salam buat Rara kalau sempat ketemu. Bilang ke dia, aku bangga sama dia.” “Pasti. Biarpun Mama nggak yakin dia sempat ketemu sama kami. Daagh.” Meski komunikasi melalui panggilan video itu berakhir, toh bagi Irene justru menyisakan beberapa hal yang menurutnya harus dilakukannya secara cepat. Yang pertama dilakukannya adalah mencari nomor telepon Seseorang di daftar kontaknya. “Huh. Malas sebenarnya berurusan sama dia. Tapi nggak apa deh. Hitung-hitung sekalian mencari tahu apakah dia ada informasi baru tentang Rara, dan sekalian membanggakan Adikku juga di depan dia,” gumam Irene. Begitu nomor kontak yang ia tuju ketemu, Irene langsung mengetik sebuah pesan teks. To : Heidy Hai. Apa kabar? Lagi sibuk nggak? Mau ngobrol nih kalau lagi agak senggang. Jawaban dari Heidy langsung diterimanya. From : Heidy Kabar baik, Ren. Sebentar. Kasih gue waktu lima belas menit. Gue lagi meeting tapi kelihatannya hampir selesai. Nanti gue yang telepon elo. Irene membalas singkat. To : Heidy Oke deh. Irene baru akan menyandarkan punggungnya ketika terdengar ketukan di pintu ruangannya. “Hhhhh! Siapa sih! Ganggu Orang melulu kerjanya!” Dumal Irene. Dia tak tahu saja, Sosok yang kemudian akan muncul di depan matanya bakal membuat dirinya memekik tak tertahan. *  $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN