“Fel, kamu sudah dengar belum?” tanya Mariska pelan, setelah menengok ke kiri dan ke kanan, demi memastikan tidak ada Orang lain di sekitar lorong yang tengah mereka selusuri yang mungkin mendengarkan perkataannya. Dia menyempatkan menoleh ke belakang juga setelahnya.
Fela menghentikan langkahnya sesaat dan menggoyang lengan Mariska.
“Apa?” tanyanya seiring gerakannya mengedikkan dagu.
Wajah Fela tampak haus gosip.
“Sepertinya sedang ada persaingan terselubung antara Mas Nando dengan Mas Vino.”
Fela mengernyitkan alisnya.
“Masa sih? Jangan bergunjing deh.”
“Fakta.”
“Jangan begitu. Mas Nando itu tetap levelnya llebih tinggi ketimbang Mas Vino. Mas Vino naik jadi Producer, Mas Nando jadi Executive Producer. Dan kalau soal pengalaman kerja sama lingkup pergaulan, ya tetap Mas Nando jauh lebih unggul.”
Mariska tersenyum penuh arti.
“Wah senyumnya mencurigakan nih.”
“Jangan bergunjing. Ayo sambil jalan.”
Mariska menyindir Fela dengan membalikkan perkataan Rekannya itu.
Fela menggamit lengan Mariska.
“Oh, ayolah, Riska. Bilang terus terang, ada juicy gossip apa?”
Fela setengah berbisik.
Mariska mengedikkan bahunya. terkesan ogah-ogahan untuk membocorkan sesuatu.
Fela jadi sedikit kesal.
“Hei, ayo jangan buat aku penasaran. Kebiasaan deh, ngomong pakai setengah-setengah. Kentang banget, Neeeeng!”
“Lho, nggak ada gosip. Yang ada itu kenyataan.”
“Oke, oke, Apa juga namanya. Ayo bilang!”
“Harus ada kompensasi.”
Fela mengerling sebal.
“Ini kita kan mau ke studio 8. Aku traktir es podeng kesukaanmu yang belinya pakai antri panjang itu deh. Sama siomay-nya sekalian. Yang saking enak selalu nggak afdol kalau cuma makan satu porsi di tempat, harus minta dibungkus juga satu porsi lagi buat dibawa pulang.”
Mariska tersenyum miring.
“Boleh deh. Ayo secepatnya kita berangkat. Kalau enggak nanti Mas Vino yang tambah mentang-mentang itu ngomel, karena kelamaan nungguin kita di sana. Ih, dia makin belagu sekarang ya, semenjak naik jabatan,” ucap Mariska
Fela memencet tombol lift.
Lantaran hanya mereka berdua yang ada dalam kotak lift, mereka melanjutkan obrolan.
“Mas Vino itu lagi jadi buah bibir dan dipuji-puji, soalnya program acara yang dia tangani rating-nya naik terus.”
“Itu sih aku tahu.”
“Bukan itu saja. Program baru dia juga kabarnya sudah hampir diproduksi.”
“Oh, terus?”
“Sementara program acara yang menjadi tanggung jawab Mas Nando justru lagi menurun rating-nya.”
“Itu juga aku sempat dengar deh.”
“Bukan cuma itu. Aku sama Teman-teman curiga deh, yang diterapkan sama Mas Vino itu bukan ide orisinal dia. Aku curiga ada Seseorang di belakang dia. Mana mungkin dalam tempat singkat kok dia bisa bersinar seperti itu. Aku nggak yakin dia punya otak sekreatif itu. Dan Tim Kreatif dia juga masih yang lama. Cuma ide-ide yang dia kemukakan jadi tampak cemerlang begitu, belakangan ini.”
"Hm..., ada benarnya pemikiranmu itu. Tapi..."
Pintu lift terbuka di lantai dasar.
Mereka menghentikan obrolan berbau gosip itu barang sejenak, sampai akhirnya mendapatkan sebuah taxy konvensional dan duduk nyaman di dalamnya.
"Tapi apa? Tadi terputus."
“Kan Mas Vino memang banyak yang naksir. Ya bisa jadi Salah Satu dari Talent yang dia casting, atau bahkan Teman-teman dia di luar lingkup pekerjaan yang kasih itu itu ke dia.”
Fela yang memulai kembali percakapan mereka.
Mariska menjentikkan jari.
“Tepat! Dan sepertinya aku tahu Siapa Cewek itu.”
“Siapa? Siapa?”
Fela tampak begitu berminat untuk tahu. Seperti mendengar gosip baru Artis Pendatang yang langsung naik daun saja.
“Dari obrolan yang aku dengar tanpa sengaja antara Mas Nando sama Mbak Sonia yang bagian Talent Management itu, sepertinya Cewek itu Mbak Klara deh.”
Fela memutar bola matanya.
“Klara yang mana ya? Kok namanya asing?”
Mariska tersenyjm samar.
“Ingat nggak, dulu pernah ada satu rencana kerja sama yang bakal dilakukan antara Channel 789 sama salah satu Event Organizer, sudah beberapa kali rapat, tapi tahu-tahu menguap begitu saja.”
“He eh, sempat dengar.”
“Nah, itu Pemiliknya namanya Mbak Klara.”
Fela menatap bingung.
Mariska merasa terganggu.
“Itu muka kenapa begitu? Jelek banget tahu nggak!”
“Bukan begitu, Riska. Aku lagi berusaha menghubungkan, ngapain Mbak Klara itu sudah batal kerja sama, kok mau-maunya malah membantu Mas Vino? Apa untungnya buat dia? Setahuku, perusahaan jasa Penyelenggara yang dia punya juga bukan kelas abal-abal.”
“Cinta, kali. Bisa jadi mereka sudah pacaran dan itu berawal dari dulu.”
Fela kembali memutar bola matanya.
“Masa sih? Kita nggak pernah tahu ada yang kirim makanan atau barang ke Mas Vino atas nama Mbak Klara.”
Mariska tersenyum.
“Beda kelas. Mungkin kalau sekadar kirim-kirim makanan bukan levelnya Mbak Klara. Aku rasa ini win-win solution. Jadi hubungan percintaan lancar, hubungan kerja sama juga tetap berjalan baik. Namanya juga Event Organizer, tentu saja ide di kepalanya banyak.”
“Ah. Belum ada bukti.”
Mariska menoyor lengan Fela.
“Ih ini Anak! Bagian Kreatif tapi otaknya nggak high speed. Payah!” ejek Mariska.
“Heh, ini otak dipakai buat kerja, bukan buat cari tahu yang begitu.”
“Ya sudah. Kalau begitu nggak usah diomongin lagi.”
“Riska, ayo dong. Sebelum sampai nih.”
Mariska mendengkus.
“Lha tadi aku sudah bilang, Mas Nando sama Mbak Sonia kan ngobrol. Isi obrolannya itu antara lain, Mbak Klara sudah memasukkan kembali proposal kerja sama yang dulu. Tahu nggak ajaibnya? Banting harga. Bukan cuma dibanting, itu harga setelah dibanting terus dinjak-injak, dibejek, ditendang kali. Orang dengar-dengar angkanya jungkir balik semua. Sampai aku dengar celetukan dari Orang dalam begini : Wow! It is too good to be true. Sudah begitu, lewat jalur khusus lagi masukin proposalnya. Terus, Mbak Klara ini seperti menyelipkan syarat, maunya yang Mas Vino yang menangani nanti. Padahal kan kita tahu sendiri bahwa...”
“Apa?” potong Fela tak sabar.
“Mbak Sonia sama Mas Nando kan lagi saling pendekatan. Maklum, dengar-dengar keduanya keseringan saling bercurhat tentang perselingkuhan Pasangan masing-masing, jadi akhirnya timbul saling suka deh. Mas Nando putus sama Tunangannya, Mbak Sonia gagal menikah. Pas deh. Klop macam merk biscuit. Nah, jelas, kan? Ya tentunya Mbak Sonia lebih bela Mas Nando dong. Lebih-lebih dia tahu bahwa peningkatan performa Mas Vino itu melonjak drastis.”
“Maksudnya?”
“Iiiih Anak ini! Tolong deh! Intinya, Mbak Sonia nggak yakin sih kalau Mas Vino secerdas dan sekreatif itu. Dia juga meragukan kepemimpinan Mas Vino. Sekarang maupun ke depannya nanti.”
Fela mencoba mencerna perkataan Mariska.
“Riskaaaa! Kamu masih ada dendam sama Mas Vino, ya?”
“Kenapa kok mendadak tanya begitu?”
“Ya karena dari ucapan kamu itu tendensius banget.”
“Enggak, lah! Aku sih kerja ya profesional saja. Siapa yang nggak kesal kalau sudah kerja lembur berhari-hari, double bahkan triple job, bukan cuma badan yang capek tapi otak dan hati juga, terus seenaknya diomelin di depan Orang-orang seakan kita nggak becus kerja? Padahal aku sendiri lagi ada sedikit permasalahan keluarga waktu itu. Aku nggak tega meninggalkan pekerjaan walapun mendengar Ibuku jatuh sakit. Sudah begitu, tahunya bukan dari Ibu tapi dari Sepupu aku, pakai diomelin dan dikatain Anak yang nggak berbakti dan terlalu mementingkan diri sendiri. Ibuku kan nggak mau sampai aku tahu bahwa beliau sakit, karena tahu pekerjaanku ya begini ini, harus konsentrasi, sering musti 'menambal' kalau ada Tim yang kekurangan Kru, dan sebagainya. Nah sementara Mas Vino? Seenaknya ngoceh. Ih, itu Cowok ya, kalau lagi ngomel mulutnya sadis banget. Itu sebelum dia disorot lho, ya apalagi sekarang. Makin besar kepala deh!”
Fela menghela napas panjang.
Ditepuknya pundak kanan Mariska.
“Aku ngerti. Tapi bagaimanapun juga, kita itu kerja tim. Sudah ya, kamu berusaha untuk melupakannya.”
“Fel..”
“Apa?”
“Kamu mau tahu kelanjutannya?”
Fela mengerling sesaat.
“Kalau itu membuat kamu semakin kesal, jangan.”
“Sudah telanjur.”
“Terserah kalau begitu.”
Mariska memalingkan wajahnya.
“Kamu tahu nggak, event yang dulu itu kan nggak jadi diselenggarakan. Nah, dengar-dengar lagi nih, nantinya kerja sama yang ditawarkan kembali sama Mbak Klara itu akan diterapkan dalam rangkaian perayaan ulang tahun stasiun televisi ini.”
“Hah?”
“Nah, kan? Sudah terbayang bakal seperti apa efeknya kan? Pasti super duper keren. Mbak Klara bakalan menunjukkan totalitasnya. Dan yang memetik manfaatnya Siapa? Ya Mas Vino, lah!”
Fela manggut-manggut.
“Ya tapi itu kan juga baik buat kita semua, Mar. Lebih-lebih, kamu dan aku juga pasti masuk tim-nya Mas Vino. Itu poin plus buat kita. Dan kita juga bakal bisa banyak belajar dari Mbak Klara.”
“Hm.”
“Kok hm? Kelihatannya kurang senang begitu.”
“Sejujurnya aku lebih suka kalau Mas Nando yang menangani. Menurutku, dia lebih kompeten. Dia juga punya sikap yang baik, mengayomi ke anggota tim dia. Kepemimpinannya sudah teruji. Sedangkan Mas Vino, ya tahu sendiri deh...”
Fela terdiam.
Taxy konvensional yang mereka tumpangi melambat.
“Kita masuk ke lobby Mbak?” tanya Sang Pengemudi.
“Nggak usah, Pak, di sini saja,” jawab Fela.
Lalu dia menoleh pada Mariska.
“Kita sudah sampai. Ayo netralkan suasana hati kamu. Supaya enak pas komunikasinya nanti.”
“Hm.”
Fela membayar ongkos taxy lalu mencermati wajah Mariska.
“Hei, sudahlah, Riska. Menurutku, kita itu bekerja di tim Siapa saja, ujung-ujungnya adalah bagaimana kita mampu bekerja sama dan pandai-pandai menempatkan diri.”
Mariska yag baru saja turun dari armada taxy mendelik.
“Maksudmu, aku kurang pandai bekerja sama maupun menempatkan diri?”
Fela menggaruk kepalanya.
“Enggak begitu. Oh ayolah Riska Sayang, jangan terlalu sensitif dong. Ini berlaku untuk aku, untuk Mas Vino, untuk kamu, Semua Orang deh,” pungkas Fela sembari mengisyaratkan agar mereka mengakhiri topik tersebut.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $