Kalkulasi Seorang Vino (2)

1112 Kata
“Begini saja, ya, Ra? Atau sini, kamu duduk di sebelahku?” Vino menepuk pembaringan. Klara lekas menggeleng. Entah mengapa, dia menangkap potensi bahaya apabila mau duduk di sebelah Vino. Dan hati kecilnya sigap memperingatkannya tentang hal itu. “Aku di sini saja.” Vino tersenyum. “Yang mana saja deh, yang membuatmu nyaman,” kata Vino lembut. Vino menatap Klara secara intens lalu membelai paras Klara. “Kamu tahu nggak Klara sayang, kadang-kadang aku tuh masih nggak percaya, kalau kita berdua itu benar-benar sudah menjalin hubungan? Rasanya dulu itu aku seperti mengkhayal yang nggak mungkin saja.” Vino menautkan tangannya melingkari pinggang ramping Klara. Hati Klara berdebar keras. Jarak mereka kian mendekat juga. Ketika Vino menangkup kedua pipi Klara dan menatap kedua bola matanya, Klara hampir tak sanggup untuk membalas tatapan itu. “I love you, Klara. Kamu membuat hari -hari aku semakin indah. Dan jujur, kalau nggak karena kamu, karir aku pasti sudah stuck. Diam di tempat.” “Kamu bikin aku semangat melakukan apa pun,” ucap Vino lagi, dan mulai mengecup dahi Klara. Saat ini Klara merasa hatinya melumer. Ketika Vino mulai mendaratkan kecupan di pipinya lantas menyadari gelagat bahwa Vino akan mencium bibirnya, secara refleks Klara menatap ke arah pintu. “Jangan khawatir, nggak ada yang resek di sini kecuali Si Delon. Dan dia sepertinya sedang sibuk menghabiskan banana roll dan yang lainnya. Dia nggak punya asalan untuk mendekat ke sekitar sini.” Pipi Klara langsung memerah mendengarnya. Dia malu karena Vino dapat membaca isi pikirannya. Lalu dengan gerakan yang lembut Vino memeluknya. Demikian eratnya, sampai-sampai Vino dapat merasakan detak jantung Gadis itu. Rasanya Klara kian terbuai saja. Hatinya kian berdebar kencang kala Vino mulai mencium bibir ranumnya serta melumatnya. Klara memejamkan matanya, menikmatinya. Namun ketika Vino mengakhiri ciuman di bibirnya dan mulai mencium leher jenjangnya juga, Klara merasa bagaikan ada aliran listrik yang menyangat tubuhnya. Dia berada di antara ingin membiarkan dan menikmatinya saja dengan ingin mengakhirinya supaya tidak keterusan. Dan Vino semakin beraksi. Lidahnya mulai menjilati leher jenjang Klara, membuat napas Klara mulai terengah. Lantas ketika tangan Vino mulai bergerak menelusuri bukit kembar Klara, menjamah dan meremesnya pelan, saat itulah Klara bagai tersadar. “Vin, stop Vin!” ucanya setengah menyentak. Aku nggak bisa mendiamkan lebih lama. Aku merasa aneh. Aku merasa Vino itu sepertinya sangat bernafsu dan aku rasanya... seperti tengah dilecehkan..., pikir Klara. Ini.., ini sungguh tidak benar. Aku bodoh sekali kalau sampai terlarut, batin Klara setelahnya. Vino mengabaikan ucapan Klara. Dia masih meneruskan aksinya. “Vin, stop aku bilang!” kali ini Klara benar-benar menyentak. Tampaknya ada panik dan kegaulan yang bercampur di sana. Dan bukan itu saja. Klara juga menyingkirkan wajah Vino dari area lehernya. Vino terkaget. Kekagetannya dimanfaatkan Klara untuk sedikit menjauh dari Vino. Vino menatap dengan kecewa. “Klara Sayang, kita kan sudah lama pacaran, kenapa kamu masih saja sekaku itu?” tanyanya pelan. Klara tercekat. Seolah ada biji kedondong di tenggorokannya yang membuatnya kesulitan untuk berbicara. “Klara...” Suara Vino yang pelan, diiringi dengan merengut di wajahnya, entah mengapa justru membuat Klara merasa bersalah. Ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. “Vin, kalau aku nggak stop tadi, aku takut kalau kita berdua sampai lupa diri dan keterusan..,” ucap Klara lirih. Rasanya ada sepasang tanduk yang tertancap begitu kuat di kepala Vino. Menyadari Klara menunduk begitu dalam karena tampaknya menyesal telah ‘mengecewakannya’, Vino menyeringai. Takut keterusan? Dasar Cewek kolot! Itu tadi masih jauuuuuh...., dari intinya. Aduh, ampun deh ini Cewek ajaib banget. Dari gemetarannya dia, sikap canggungnya, dan semua-muanya yang selama ini dia tunjukkan setiap kali aku melakukan sentuhan fisik, aku tambah yakin dia memang masih virgin. Dia itu kepengen tahu, kepengen merasakan enaknya, tapi takut akibatnya. Ah, kebaca banget. Buat aku, cukup aneh fakta ini. Dia itu cakep, hebat banget sampai di umurnya yang sekarang masih bisa mempertahankan virginitas dia. Rada aneh, Cewek lajang, tinggal sendirian di apartemen, lingkup pergaulan juga semestinya lumayan tapi masih bisa berprinsip macam itu. Yah, anggap lah, Keluarganya juga super kolot. Tapi kalau semakin diamati, kadang suka bingung, jangan-jangan aku ini Cowok pertamanya dia? Tapi nggak mungkin! Masa umur sudah segitu belum pernah pacarn? Atau..., dari dulu dapat Cowok alim atau bahkan cupu? Atau Cowok b**o kali ya? Atau bisa juga, justru dia diputusin sama Cowoknya ya gara-gara begini ini, terlalu pelit, teelalu pelit sama Cowok! Berbagai pemikiran singgah di kepala Vino. Vino melihat, Klara masih saja menunduk. Dia tak tahu saja, ada pergumulan hebat di hati Klara. Tadi rasanya aku kelewatan. Aku nggak bisa menjaga diriku dengan baik. Aku yang membuka celah untuk dilecehkan. Tapi mengapa..., rasanya aku memang sulit untuk menolak Vino? Aku begitu takut kalau aku mengecewakan dia? Dan mengapa..., aku kesulitan menatapkan batasanku jadinya? Pikir Klara. “Vin..,” ucap Klara lirih. “Ya?” “Aku kepengen pulang. Boleh antar aku pulang sekarang?” Rasanya Vino kepengen ngamuk mendengarnya. Dia merasa ‘belum mendapatkan apa-apa’. Dia merasa kalkulasinya menunjukkan kata posisi ‘tekor’. Dia pikir, dia ini secantik apa? Itu, Cewek-cewek yang mengejar-ngejar perhatianku malah lebih cantik dari pada dia. Kirain setelah mendapatkan hati dia, apalagi berhasil mencium bibirnya untuk pertama kalinya waktu itu, dia bakalan takluk sepenuhnya sama aku. Kenyataannya? Bhhhh! Masih kepegen dikejar melulu. Padahal kurang banyak apa yang sudah aku lakukan buat dia? Aku sudah sediakan waktu dan perhatian khusus buat dia. Setelah Papa bisa kembali menangani urusan operasional kantor dan aku terbebas dari kewajibanku datang ke sana, aku mulai rutin mengiriminya voice note ataupun video ucapan selamat pagi dengan kata-kata semanis madu. Tapi sampai sekarang..., rasanya sudah sekali buat menyetir dia mengikuti kemauanku, batin Vino sebal. Vino masih terbenam dalam kekesalannya kala menyadari ada embusan angin. Ya, embusan angin karena Klara bangkir dari duduknya. Vino tersentak. Tak disangkanya sikap Klara akan sekeras itu. Dia panik dan segera menangkap tangan Klara. “Hei... sebentar Sayang. Sebentar. Ayo aku antar.” Klara mengembuskan napas panjang. Dan Vino sungguh terpana kala mendengar Gadis itu berkata lirih, “Vin..., rasanya tadi itu kita sudah kelewatan.” “Kelewatan?” “Ya. Kita melampaui batas.” Rasanya Vino ingin menghardik Klara. Tapi itu sama saja tindakan bunuh diri. Dia segera memasang ekspresi berlawanan. “Aku minta maaf ya, Sayang.” Klara mengangguk. Dan Vino ingin tertawa nyaring rasanya. Benar-benar Cewek Cupu! Mau dikasih enak malahan nolak! Pikir Vino. Vino membelai pipi Klara dan membisikkan kata-kata selembut mungkin, “Aku salah Sayang. Aku terlalu buru-buru menarik kamu ke kehidupanku. Kita jalani dengan lebih perlahan, ya.” Dan hati Klara melemah. Seolah barusan mendengar penyesalan dari Vino, sekaligus kesanggupan Cowok itu untuk lebih menjaga sikap. Dia mengangguk. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN