Misi Yang Tertunda? (2)

1725 Kata
“Jangan lupa ya Ra, kita berangkatnya sama-sama dari rumah nanti,” pesan Bu Ellen sebelum menutup panggilan teleponnya kepada Sang Putri Bungsu. “Oke, Ma. Sampai nanti ya Ma. Sekarang Rara lanjut kerja dulu. Daagh,” sahut Klara cepat. Dia tak tahu saja betapa Klara mengomel sendiri begitu percakapan via telepon itu berakhir. “Tante Virny ini apa-apaan sih. Pakai acara mengundang kami makan di rumah mereka. Alasannya mau meminta tolong aku demo untuk membuat bolu singkong, sebagai persiapan perayaan ulang tahun salah satu Kerabatnya. Benar-benar alasan yang mengada-ada. Tapi mau ditolak jua susah. Aku tahu nih, pasti bakalan ketemu lagi sama Anaknya yang super nyebelin itu,” dumal Klara. Dia langsung teringat percakapan mereka di teras samping yang jauh dari kesan lancar. Seingatnya, sebagai Anak dari Sang Pemilik rumah, dia sudah berusaha untuk memulai percakapan dengan menanyakan tentang produk apa saja yang dijual di toko kue Bu Virny. Memang tidak terlalu relevan dan lucu. Pasalnya sebagai Teman yang akrab dengan Bu Virny, tentunya Bu Ellen sudah sering berkisah tentang Bu Virny. Dan waktu itu tanggapan Randy sepotong-sepotong. Terkesan terpaksa berada di dekat Klara. Membuat Klara ingin sekali menegur, “Hei. Nggak usah blingsatan begitu duduknya. Memangnya sofa terasku ada kutu busuknya yang aktif menggigit pantatmu?  Atau kamu merasa pantatmu itu p****t mahal, jadi semestinya duduk di sofa yang lebih empuk dari itu? Huh, aku kasih tahu ya! Dengar baik-baik! Satu-satunya alasan mengapa aku masih mau bertahan duduk di sini juga lantaran menghargai Tante Virny. Sudah kesan pertama yang kamu kasih tadi menjengkelkan, sekarang kamu pakai bertingkah segala.” Klara menganggap dirinya sudah berusaha mewakili Sang Mama untuk menjadi Tuan Rumah yang baik, yang menghargai Tamu, dengan berinisiatif bertanya lebih dulu. Dan menurutnya itu sudah lebih dari cukup.Yang namanya percakapan kan harus melibatkan dua belah Pihak, tidak bisa satu arah. Dan Klara yakin, semestinya Randy cukup paham dengan hal itu. Dia ingat, Randy seperti tak tertarik mengobrol dengan dia. Seperti tak punya bahan untuk diobrolkan pula dengannya  sampai-sampai mengomentari tanaman yang ada di pot bunga pula. Malahan ada saat-saat di mana Klara memergoki Randy tengah begitu asyik menatap salah satu lampu taman yang ditempatkan tak jauh dri deretan pot bunga, seolah lampu taman itu merupakan obyek yang sangat menarik, patut dilewatkan, dibandingkan dengan melihat paras cantiknya. Mengenangnya, tentu saja Klara geregetan lagi. “Di rumah Orang tuaku saja dia bertingkah macam itu. Sok-sokan nggak mau melihat ke aku. Nggak sopan! Dipikirnya aku juga mau kali, ngomong sambil menatap mukanya dia yang bikin ilfeel itu? Atau jangan-jangan dia itu memang Cowok Cupu yang sudah lama nggak pacaran, jadinya takut jatuh cinta sama aku lalu aku buat patah hati! Iyalah, pasti dia jarang pacaran itu. Atau jangan-jangan dia suka sama yang sejenis, makanya Tante Virny sampai sampai membuat ‘kesepakatan jahat’ sama Mama, untuk menjebakku supaya ketemu sama dia! Huh! Bisa jadi dia juga bagian dari kesepakatan jahat itu, hanya saja dia pakai acara berpura-pura nggak terlibat, supaya terlihat berwibawa. Lagian, mana ada sih, Anak Cowok, yang katanya jago berbisnis, otaknya oke, kok mau-maunya dikenal-kenalkan macam barang ditawarkan secara obral? Huh! Jangan-jangan dia juga sudah ditawarkan ke semua Anak dari Teman Arisan Tante Virny. Tapi karena potongannya menyebalkan begitu, semua menjauh dan lari sekencangnya. Pasti deh!” cela Klara yang mengomel sendiri di depan layar laptopnya. Dianggapnya, tingkah Randy itu sok acuh padahal butuh dan tak tahu diri, ingin dikejar dan digila-gilai Para Wanita. “Ih amit-amit! Menjijkkan sekali! Nyadar kenapa sih! Sudah penampilannya macam Bapak-Bapak setengah baya, lagak lagunya sok keren. Aku nggak bisa lupa waktu dia sok menyelipkan kaca mata hitam ke kemejanya. Nggak matching! Yang ada dia malah seperti o*******g yang mau menjerat Gadis Remaja,” omel Klara lagi, yang sepertinya belum tuntas kedongkolannya. Berpikir bahwa Randy akan lebih memperlihatkan sikap mentang-mentang apabila berada di rumahnya nanti sudah membuat Klara bagai mengalami kelumpuhan sebelah. Di dalam rasa sesak yang mengimpitnya, Klara hanya berharap semoga tidak ada Randy di rumah. Dia berharap Randy memiliki sesuatu urusan penting yang mengharuskannya untuk keluar rumah pada jam sesuai undangan dari Bu Virny. Atau, sebaiknya dia lumpuh layu sekalian deh pada hari itu, supaya nggak bisa keluar dari kamar, pikir Klara kemudian. Namun sekejap setelahnya Klara menyesali pemikiran jahatnya. Ia menepuk jidatnya. Ya ampun, hanya gara-gara sikap itu Cowok yang kurang bersahabat, aku jadi menyumpahi dia yang buruk-buruk. Duh, jangan sampai malah doa burukku itu berbalik ke aku. Ampuni aku Tuhan. Aku tarik kembali pemikiran burukku. Semoga saja kami tidak perlu bertemu, walau dia nggak harus sakit. Entahkah Tante Virny mendadak membatalkan undangannya, atau aku memiliki agenda super penting yang bisa aku jadikan alasan kuat untuk menghindarinya. Atau mendadak dia bertemu Cewek di jalan dan entah bagaimana mengikuti Cewek itu. Yang mana saja Tuhan, yang penting kami nggak ketemu, bisik hati Klara setelahnya. Dan ia bersungguh-sungguh dalam hal ini. Namun apa hendak dikata. Keinginan memang tidak senantiasa dapat sejalan dengan kenyataan yang menjelangnya. Hari ‘Ha’ datang. Malahan, Bu Virny sendiri yang sengaja menghubunginya. “Klara Sayang, nanti ketika kamu datang, singkongnya pasti sudah diparut semua. Jadi kamu tinggal ajari Tante cara buatnya, ya. Nanti Tante juga sambil masak makanan rumahan yang mudah disiapkan,” kata Bu Virny melalui sambungan telepon. Klara merasa bagaikan ada yang tersangkut di tenggorokannya. Dia curiga, jangan-jangan itu biji kedondong. Sebab rasanya sungguh tidak nyaman. Betapa mengesalkannya, di saat Bu Virny yang menyambut kedatangan dirinya dengan kedua Orang tuanya dengan begitu hangat, lagi-lagi Randy seperti berulah. Randy memperlihatkan sikap akrab dan hormat kepada kedua Orang tuanya, tetapi terkesan biasa saja kepadanya. Walau ‘biasa saja’ adalah sebuah kemajuan dibandingkan dengan ‘menyebalkan’ toh tetap saja Klara merasa masih ada ganjalan di hatinya. Kembali Klara merasa dirinya bagai dijebak. Dan kali ini lebih parah. Sementara Papanya mengobrol akrab dengan Pak Suwandi tentang masa muda mereka serta masa-masa di mana mereka berdua masih hidup sebagai Anak kost karena kuliah di luar kota, Bu Virny mengajak dirinya dan Sang Mama ke dapurnya yang luas. “Tuh, bahannya sudah siap semua. Maaf ya, ini Tante mengundang Kalian tapi malahan diajak ke dapur sekalian. Pertanda bahwa Klara dan Mamanya Klara bukan Orang ain tapi sudah bagaikan keluarga sendiri,” kata Bu Virny. Klara hanya dapat tersenyum tipis, seolah-olah tak tahu betapa kalimat Bu Virny penuh maksud. Bagaimana tidak penuh maksud? Asisten Rumah Tangga saja tidak terlihat barang hidungnya di dapur itu. Jika bukan atas instruksi dari Sang Empunya Rumah untuk menjauhi area tersebut, mana mungkin Seorang Asisten Rumah Tangga membiarkan Sang Majikan yang berjibaku di situ? Yang membuat d**a Rara terasa begitu sesak adalah kemunculan Randy ke dapur setelahnya. Rasanya dia ingin bertanya, “Heh! Ngapain kamu Anak Cowok masuk-masuk kemari? Ngobrol sana sama Papa dan Om Suwandi. Biar ada tiga Bapak-Bapak yang bercengkrama. Jangan bergabung sama Cewek-cewek di sini, ya.” Mujur, mulutnya masih bisa di-rem dengan baik. “Ran, itu celemeknya Klara coba kamu pakaian dan ikatkan sekalian,” kata Bu Virny santai. Dia sendiri memakai celemek dan secara bergantian, saling bantu dengan Bu Ellen untuk saling mengikat bagian belakangnya. Klara buru-buru menggoyangkan telapak tangannya. “Nggak usah Tante, saya bisa kok ikat sendiri.” “Masa?” “Ya kan saya biasa tinggal di apartemen. Apa-apa harus dilakukan sendiri Tante.” Entah mengapa kalimat ini meluncur dari mulut Klara ketika menerima celemek yang disodorkan oleh Randy dan buru-buru mundur satu langkah agar ada jarak yang terpaut dengan Cowok itu. Randy tersenyum miring dan bergumam lirih, “Sok mandiri. Sampai urusan kecil pun sok mandiri.” Telinga Klara terasa panas mendengarnya.  Sementara Bu Virny dan Bu Ellen sama sekali tak mendengar gumaman Randy. Mereka berdua sepertinya sengaja memberikan ruang kepada Randy dan Klara. Caranya, tentu menempatkan diri di sisi lain dari dapur yang luas itu. Rasanya tangan Klara sudah gatal. Kalau saja dia menemukan parutan di dekatnya, rasanya dia ingin memarut mulut Randy supaya tidak sembarangan mengeluarkan celetukan yang tak berguna. “Hari ini anggap saja sedang kelas demo ya, Klara. Mama kamu mengajari Tante membuat sayur asam yang seenak buatannya, sedangkan kamu mengajari Randy untuk membuat bolu singkong yang seenak buatanmu. Biar ke depannya, kalau dia mau ya buat sendiri. Kan jadinya nggak merebut jatah bolunya Tante yang kamu buatkan.” Ucapan Bu Virny bagaikan gelegar kilat di telinga Klara. Gimana sih Si Tante? Katanya dia yang mau belajar bikin?? ternyata Anaknya yang sudah bangkotan dan selalu memakai Sang Mama untuk mencapai kemauannya? Huh! Mau kenalan dan ketemu sama aku, Mamanya yang mengaturkan. Mau sok akrab dengan cara belajar membuat kue, Mamanya juga yang dijadikan alasan. Cowok macam apa dia ini! Gerutu Klara dalam diam. “Ayo langsung dimulai saja,” kata Randy. Klara tak menyahut, melainkan memeriksa kembali bahan-bahan yang tersedia. “Ini agak lucu ya, yang mempunyai usaha kuliner kami, tapi malahan kami yang diajari,” komentar Bu Virny. Bu Ellen tertawa. “Bu Virny bisa saja. Ini bukan belajar, tapi lebih ke acara memasak bersama.” Yang terjadi kemudian, seolah ada dua kubu yang saling berbeda keadaannya. Sementara di satu sisi Bu Virny dan Bu Ellen terus bercanda seraya memasak, di sisi satunya Randy dan Klara saling diam. “Wah. Kita sudah selesai duluan. Kalian berdua teruskan, ya. Ini nanti biar Si Mbak yang bawa ke meja makan saja. Oh ya, Klara, nanti Randy juga mau mengajak kamu memasak spaghetti bolognaise selagi menunggu bolunya di-oven. Kalau masakan yang ringkas-ringkas macam itu Randy paling suka tuh. Kadang Tante merasa percuma sekali, sempat menyekolahkan dia di sekolah kuliner kalau malas memasak yang ribet,” cetus Bu Virny sambi melepas celemeknya. Bu Ellen mengikuti tindakannya, walau diiringi tatap protes dari Klara. Lalu seolah tidak melihat tatapan Klara, Bu Ellen menurut saja ketika diajak meninggalkan dapur. “Ayo Bu Ellen, kita ngobrol-ngobrol saja di ruang keluarga. Biar nggak saling mengganggu. Para Suami biar mengobrol di ruang tamu. Kita-kita para Istri di ruang keluarga. Anak muda ya biarkan saja di dapur, ha ha ha.” Rasanya Klara bagai terperangkap di lubang gelap. Ingin benar dia menyumpah-nyumpah. Kalau memungkinkan, dia malah ingin mencekik leher Randy kuat-kuat. Dasar Cowok super ngeselin. Masak spaghetti sendiri sana. Itu mah aku juga bisa sambil merem masaknya. Sana, jangan dekat-dekat aku. Ini udaranya seperti berebut. Sesak rasanya! Jerit Klara dalam hati. Andai Klara tahu bahwa Bu Virny, sepersetujuan Bu Ellen, telah menempatkan kamera tersembunyi untuk merekam kegiatan memasak mereka di hari itu, bisa jadi dia bakal tercengang. * $ $ Lucy Liestiyo $ $ Fan Pages B!telucy
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN