Menara Hitam
Bulan kembali bersembunyi malam ini. Seolah tahu akan terjadi sesuatu malam ini, menjadikannya terlalu takut untuk menunjukkan batang hidungnya. Di langit kelam bulan Desember. Tangga 11. Tahun 232. Pukul 11 malam. Satu jam sebelum ulang tahun Ossena, empat orang berkumpul di dalam kamar gadis itu.
Raja Gregory duduk di kursi kecil meja makan Ossena. Terlihat canggung karena sejak ia membawa pulang gadis itu ketika bayi, baru kali ini ia menemuinya lagi. Matanya memandang ke arah Ossena. Kaget atas kecantikan gadis itu.
Pantas saja Ansel tidak pernah protes ketika mulai ditugaskan menjaga keamanan Menara Hitam, yang sebenarnya pasti membosankan untuk seorang panglima sekelas Ansel yang pasti lebih memilih untuk berada di medan perang.
Atas petunjuk Ishmenia lah Gregory menemukan Ansel kecil. Karena menurut penyihir itu, Peri Api memberitahunya bahwa takdir ketiganya akan saling bertautan. Ansel, Ossena, dan Irukandji. Manusia, peri, dan monster. Ketiga elemen yang dibutuhkannya untuk memenangkan setiap perang, kini ada di dalam genggaman Gregory Kane.
Gregory menoleh ke arah Ansel yang berdiri di depan pintu, berjaga. Tangannya menggenggam pedangnya dengan erat sementara matanya menatap lurus ke arah Ossena. Sudah tidak nampak jejak anak kelaparan dalam diri Ansel seperti ketika ia pertama menemukannya. Ansel kini berdiri menjulang dengan badan kekar dan rambut hitamnya yang lebat. Selalu menjadi bahan pembicaraan para wanita disetiap acara kerajaan karena ketampanannya dan posisinya yang adalah salah satu Panglima perang Illia. Posisi tertinggi di militer Illia langsung dibawah arahan Raja Gregory.
Ishmenia dan Ossena sementara itu, duduk di tepian ranjang. Tangan sang peramal menggenggam erat Ossena.
"Ingat, anakku. Jangan takut. Ia akan menuruti semua ucapanmu. Hal itu sudah tertanam dalam raganya. Ingatkah apa yang perlu kau perintahkan padanya?"
Ossena mengangguk.
"Memintanya untuk membela Illia melawan Eelry."
"Bagus," seru Ishmenia sambil tersenyum. Ia memeluk Ossena ke dalam dekapannya. "Selamat ulang tahun, anakku. Peri Api memberkatimu," bisiknya.
"Terima kasih, Ishmenia," balasnya.
"Baiklah, sekarang sudah waktunya."
Ishmenia melepaskan pelukannya dari Ossena, berdiri dan menggandeng gadis itu keluar kamar.
Ini adalah kali pertamanya Ossena menginjakkan kaki diluar kamarnya sejak lahir. Ia melirik ke arah Ansel sekilas ketika berjalan melewatinya. Wajah pemuda itu tampak kaku, berbeda dengan biasanya, pikir Ossena.
Diluar kamar, Ossena tidak membuang waktu untuk segera menoleh ke sekeliling menara. Menatap obor kuning yang menyala bergerak dalam keremangan dinding batu yang dingin. Berkobar tertiup angin yang berasal dari tubuh nya ketika dirinya berjalan melewati. Obor-obor itu disusun berjajar di sepanjang tangga, melingkar kebawah dengan pola persis seperti cangkang keong yang sering dibawakan oleh Ansel untuknya.
Entah sudah berapa anak tangga yang dilaluinya, Ossena tidak ingat. Tapi begitu mereka tiba di lantai dasar, beberapa prajurit lain dengan pakaian mirip dengan yang dipakai Ansel sudah menunggu. Memakai helem perang dengan pedang di pinggang kehadiran mereka mengagetkan Ossena. Ia menoleh ke arah Ansel yang sekilas memberinya sebuah senyuman tipis. Seolah menghantarkan angin keberanian bagi Ossena untuk melanjutkan langkah kakinya.
Dua orang prajurit masing-masing dengan membawa obor di tangan mereka berjalan di depan Ishmenia dan Ossena. Menuntun rombongan ke sudut ruangan yang ternyata terdapat lebih banyak anak tangga untuk turun semakin dalam ke bawah.
Baru saja Ossena hendak melangkah menginjak anak tangga paling atas mengikuti kedua prajurit yang sudah turun, ketika Ansel menyela.
"Ijinkan saya berjalan duluan, Nona Ossena."
Ossena menghentikan langkahnya dan membiarkan pria itu lewat di depannya sebelum ia sendiri mengikuti dari belakang. Ossena tidak lagi heran dengan panggilan Ansel, pria itu memang selalu bersikap kaku jika mereka tidak sedang sendirian. Tidak lagi memanggilnya dengan sebutan yang biasa di gunakannya dan malah memanggilnya dengan sebutan Nona.
Tangga yang dilalui Ossena terasa sempit dan curam. Dengan dibatasi oleh dinding di kanan dan kiri jalan, lebar tangga hanya cukup dilalui oleh satu orang. Bahkan beberapa kali, bahu bidang Ansel bertabrakan pada dinding, menimbulkan bunyi gesekan dari baju kulitnya dan semen.
Ossena berjalan tak jauh di belakang Ansel diikuti oleh Ishmenia, Gregory dan sekitar 5 prajurit lainnya.
Setelah perjalanan yang cukup jauh seolah menuju dasar bumi, merekapun tiba ke anak tangga terakhir. Bau lembab dan busuk menyeruak ke hidung Ossena, membuat gadis itu harus menahan nafasnya untuk meredakan rasa mual yang muncul. Gregory dan beberapa prajurit bahkan secara refleks mengangkat tangan mereka ke depan hidung berusaha menghalangi bau yang menyengat itu merasuk semakin dalam ke indra penciuman mereka.
Cahaya dari obor yang di bawa oleh kedua prajurit berkelebatan, menimbulkan bayangan-bayangan di dinding ruangan bawah tanah. Yang ternyata cukup luas.
Tanpa jendela dan penerangan, Ossena tidak bisa membayangkan bagaimana seseorang bisa tahan untuk hidup di tempat seperti itu selama bertahun-tahun.
Ansel berjalan mendekati satu-satunya pintu yang ada di ruangan itu. Tampak berat, kokoh dan berkarat, pintu dari besi itu hanya memiliki sedikit celah diatasnya. Kecil, dan hanya mampu dilalui oleh tikus atau binatang kecil lainnya. Yang cukup bodoh untuk masuk ke dalam ruangan tanpa bisa keluar lagi. Samar Ossena bisa mendengar bunyi ratai yang di seret-seret di dalam ruangan.
Irukandji...? panggilnya dalam hati.
Ossena bisa merasakan antisipasi dari mahkluk itu. Menatapnya dengan penuh keinginan. Walau Ossena tidak bisa melihat Irukandji dari balik pintu, tapi ia bisa merasakannya. Seolah semua perasaan yang dimiliki mahkluk itu berasal darinya, atau perasaannya lah yang berasal dari mahkluk itu. Entahlah, ia mulai tidak bisa membedakan satu dengan yang lainnya.
Ansel menggenggam sebuah kunci sebelum kemudian menoleh ke arah Gregory yang menganggukkan kepala, memberinya ijin untuk membuka pintu sel. Ansel melirik sekilas ke arah Ossena yang berdiri terpaku menatap pintu. Pandangan matanya menatap melewati pintu besi itu dan lurus kearah mahkluk di dalamnya.
Ansel memasukkan kunci ke dalam lubangnya dan memutarnya terbuka. Ia menarik pedangnya keluar dari sarung yang langsung diikuti oleh para prajurit yang berdiri di belakangnya. Suara dentingan pedang tergesek pada penutupnya menggema keras di dalam ruangan bawah tanah mengagetnya Ossena yang langsung membuatnya memundurkan langkahnya.
BLARRRR!!!
Suara pintu besi yang terpental terbuka mengagetkan semua orang. Ansel yang berdiri paling dekat dengan pintu terpelanting ke belakang, tertabrak daun pintu yang terlempar lepas dari bingkainya. Belum sempat ada orang yang sempat bereaksi, sebuah kelebatan bayangan melesat keluar dari dalam sel dan berdiri di depan tubuh Ossena.
Berbalut perban yang sudah tidak lagi putih, matanya yang gelap, bergerak mengamati sekeliling dengan liar, menyala terang di dalam ruangan. Satu tangannya terjulur kebelakang seolah ingin melindungi tubuh gadis yang kini berdiri kaget di balik punggungnya.
Ansel bergegas meraih pedangnya yang terpental tak jauh dari kakinya dan bangkit.
"Lindungi Yang Mulia!" teriaknya ke arah para prajurit lainnya yang langsung membentuk benteng di sekeliling sang raja.
Ansel sementara itu, mengangkat pedangnya dan mengarahkannya ke d**a Irukandji yang masih berdiri diantaranya dan Ossena.
"Menyingkir dari gadis itu!" perintahnya kepada mahkluk yang bertubuh jauh lebih tinggi darinya.
Memiliki wujud layaknya seorang pria, mahkluk itu menggeram rendah. Suaranya mengancam, terdengar seperti dengkuran yang keluar dari tenggorokan seekor singa. Badannya sedikit membungkuk ke depan seolah bersiap untuk menerjang maju, sementara telapak tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Menunjukkan otot lengannya yang mengencang.
Sadar bahwa mahkluk itu tidak bergeming oleh ancamannya, Ansel mengeratkan pegangan tangannya pada pedangnya sebelum mulai menyerang maju.
SLASH!! BRUAKKK!
Kilasan pedang disusul oleh suara tubuh Ansel yang kembali terhempas ke tembok. Kali ini dengan cengkeraman dari tangan mahkluk itu ke arah lehernya. Menghimpit saluran nafasnya erat.
Bisa dirasakannya tulang lehernya yang merenggang dan berbunyi dalam cengkeraman tangan kasar mahkluk yang kuat itu. Sedikit lagi tenaga dari mahkluk itu, dan Ansel yakin, disinilah nyawanya berakhir.
"STOP!" Terdengar suara Ossena menjerit dari balik badan mahkluk itu.
"Irukandji, hentikan! Lepaskan dia."
Ansel bisa merasakan cengkeraman tangan mahkluk itu mulai melonggar dari lehernya bersamaan dengan teriakan Ossena. Menghantarkan tubuh Ansel melorot berlutut sambil terbatuk-batuk. Nafasnya tersenggal mengusaha memasukkan oksigen kembali ke dalam paru-parunya.
"Ansel, kau tidak apa-apa?" Ossena berlari menghampirinya, melewati tubuh Irukandji yang masih berdiri di hadapannya.
"Nona... berdirilah... di belakang...ku." Dengan susah payah Ansel berusaha bangkit dan mengdorong tubuh Osena kebalik punggungnya, menjauhkannya dari jangkauan mahkluk itu.
"Hentikan, kalian berdua. Ansel, ia tidak akan menyakitiku." Ossena berseru dari balik punggung Ansel. Tangannya menarik lengan Ansel yang terbentang dihadapannya. Menariknya turun dan melangkah di antara kedua sosok yang masih saling menatap dengan pandangan tidak suka.
Ossena menoleh ke arah Irukandji. Ia harus mendongakkan kepalanya untuk menatap mata mahkluk yang masih tidak berkedip memandang Ansel.
"Irukandji..."panggilnya lembut.
Tangannya terulur menyentuh lengan mahkluk yang berbalut perban itu.
"O!" seru Ansel tertahan ingin mencegah Ossena.
Tapi gadis itu tidak mendengar, ia sudah mengeluskan telapak tangannya ke permukaan perban yang sedikit mengelupas di lengan Irukandji, menyentuh kulitnya yang terasa kasar. Berkerut dan berwarna coklat kemerahan, bagaikan kulit orang bekas luka bakar. Kulit yang menurut orang memiliki racun yang mampu membakar mahkluk apapun yang bersentuhan dengannya.
Tapi entah mengapa, Ossena yakin, sentuhannya pada Irukandji tidak akan melukainya. Dan benar saja, ketika mereka bersentuhan, yang terjadi hanyalah pergerakan emosi dari keduanya. Ossena menyerap semua kemarahan dari mahkluk itu, dan sebagai gantinya, mahkluk itu menyerap kedamaian yang dipancarkan Ossena.
Perlahan mahkluk itu mengalihkan pandangannya dari Ansel ke arah Ossena. Pandangan matanya yang tadinya penuh api, padam. Seakan seseorang telah mengguyurkan air dingin ke seluruh tubuhnya. Ototnya yang tadinya bersiap untuk menyerang kini melemas.
Mahkluk itu menegakkan tubuhnya, dan balas menjulurkan tangan kirinya ke arah Ossena. Mengelus pipi gadis itu sekilas, sebelum kemudian berucap.
"Aku sudah menunggumu entah berapa lama... Maafkan aku tidak bisa menyiapkan dunia yang layak untuk kedatanganmu, peri..." Suara mahkluk itu terdengar rendah, dan pelan. Dalam, bagaikan sebuah bisikan.
Dijarak sedekat itu Ossena bisa melihat bagaimana menyedihkannya keadaan Irukandji. Perban yang terbalut di tubuhnya berwarna campuran antara lumut dan darah kering.
Kepalanya yang botak dan tidak berambut, terlihat sebagian dari balik balutan perban yang sudah tidak rapat lagi, memperlihatkan kulit kepalanya yang berkerut dan kasar. Beberapa bagian perban di wajahnya mengelupas terbuka, menampakkan kulit mahkluk itu yang dalam keadaan yang sama dengan kulit yang terpampang di lengan dan kepalanya.Membuat Ossena yakin bahwa kulit di sekujur tubuh Irukandji, pastilah dalam keadaan yang sana. Rusak seolah terkena luka bakar.
Kesedihan Ossena semakin bertambah ketika ia menyadari bahwa aroma busuk yang daritadi diciumnya rupanya keluar dari tubuh Irukandji. Mengingatkan Ossena akan makanan yang dibiarkan terlalu lama dan basi.
Gadis itu menoleh ke arah Gregory Kane,yang masih berlindung di belakang tembok para prajuritnya.
"Yang Mulia," panggilnya dengan suara lembut. "Jika memang Yang Mulia menginginkan Irukandji berperang membawa nama Illia, berikan perlakuan yang layak padanya. Ijinkan ia tinggal bersamaku di atas, dan berikan makanan yang sama denganku. Bebaskan ia dari belenggu yang sudah merantainya selama ini. Tidakkah Yang Mulia lihat ia tidak berbeda dengan dirimu dan diriku? "
Gregory yang masih berlindung di belakang prajuritnya, menegakkan tubuhnya. Matanya menyipit menatap kearah Irukandji yang masih terlihat dengan tenang memperhatikan wajah Ossena.
"Akankah... mahkluk ini akan mematuhi perintahku?" tanya Gregory dengan suara sepelan mungkin seolah tidak ingin membangunkan Irukandji yang tampak masih terhipnotis oleh keberadaan Ossena.
Ossena menoleh ke arah Irukandji sebelum menjawab, "Kami saling memahami. Aku yakin ia tidak akan melukaimu."
Gadis itu kembali menatap Gregory, "Sejujurnya, aku tidak paham akan apa yang ingin kau capai dengan peperangan. Tapi Ishmenia dan Ansel mempercayaimu. Dan aku mempercayai mereka. Jika mereka mengatakan satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian di Dataran Hijau adalah dengan peperangan, maka tentu saja aku akan membantumu. Irukandji...akan membantumu. Baiarkan aku ikut bersamamu ke medan perang. Untuk memastikan bahwa Irukandji tidak akan lepas kendali. "
"A..apa?" sela Ansel yang masih terduduk diatas lantai. Pria itu mengangkat dirinya berdiri dengan susah payah sebelum meneruskan. "Medan perang bukanlah tempat yang pantas untuk gadis sepertimu, Nona Ossena. Kau tidak ingin terjebak di tengah-tengah prajurit yang sedang bentrok satu-sama lain."
"Aku bisa menjaga diri. Lagipula, apa yang menjamin Irukandji akan menuruti kalian bila satu-satunya mahkluk yang didengarnya tidak ada di dekatnya?" ucap Ossena memberi alasan yang tidak bisa di bantah oleh siapapun.
Gregory menarik nafas,sambil tersenyum. Tidak masalah baginya bila gadis itu ikut ke medan perang, selama ia menetapi janjinya untuk mengendalikan Irukandji untuknya.
"Baiklah. Aku menyetujui permintaanmu."
"Oh...satu hal lagi Yang mulia. Aku tidak mau dikurung. Ijinkan aku dan Irukandji untuk bebas, aku janji aku tidak akan kemana-mana."
Gregory tampak berpikir sejenak akan hal yang diajukan Ossena. Ia tahu ia akan kelimpungan jika sampai Ossena kabur dan membawa Irukandji. Tapi mengurungnya juga bukanlah hal yang masuk akal kini gadis itu sadar bahwa ia bisa mengontrol senjata yang sanggup menghancurkan kerajaannya dalam sekali kemarahannya. Satu-satunya harapannya adalah hubungan yang dimiliki gadis itu dengan Ishmenia dan Ansel akan cukup untuk menahannya.
"Baiklah. Aku akan meminta Ansel bertanggung jawab atas dirimu. Dia lah yang akan kusalahkan jika sesuatu terjadi padamu," putus Gregory.