7. Dragontail

1816 Kata
Kerajaan Dragontail Raja Yon Tebald mengatupkan telunjuk dan ibu jarinya. Meremas keduanya di depan bibirnya sambil berpikir. Berita yang baru saja disampaikan oleh salah satu mata-matanya membuatnya was-was. Raja Illia sedang bersiap untuk menyerang Kerajaan Eelry di Barat. Salah satu dari lima kerajaan yang tersisa di Dataran Hijau, dan juga salah satu yang terlemah. Wajar  jika Gregory mengarahkan kekuatan pasukannya kesana. Rupanya pria itu sudah tidak sabar untuk mulai mencoba lagi meneruskan cita-cita ayahnya, menguasai seluruh Dataran Hijau, pikirnya. Dalam keadaan normal, Yon Tebald tidak takut pada Illia. Kerajaan nya jauh lebih kuat dari Illia. Mereka memiliki armada laut yang cukup besar. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh kerajaan Illia. Benteng dari Kerajaannya dikelilingi oleh pegunungan Turdurn di selatan dan samudra di barat, membuatnya  tidak tertembus. Ditambah dua ekor naga peliharaannya, membuat Dragontail salah satu kerajaan yang disegani di Dataran Hijau. Bahkan ayah Gregory, Frederic pun, tidak berani menyerang Dragontail ketika dirinya menjabat sebagai Raja Illia. Tapi kabar terbaru yang dibawa oleh mata-matanya hari itu membuatnya cemas. "Seberapa yakinkah kamu akan berita itu Barnabas?" tanya Yon kearah pria yang sedang berlutut di hadapannya itu. "Menurut sumber, mereka mengurungnya di dalam sebuah menara selama ini. Terasingkan dari dunia luar, tersembunyi di dalam penjara bawah tanah. Menunggu hingga peri yang bisa mengontrolnya tumbuh dewasa. Saya memang tidak melihatnya depan mata kepala sendiri, tapi pelayan itu terlalu bodoh untuk berbohong kepadaku." "Sumbermu seorang pelayan?" Barbabas mengangguk, "Pelayan khusus di menara, Yang Mulia. Ia bertugas melayani sang peri." "Hm...Irukandji? Dan seorang peri? Benarkah?" ulang Gregory berusaha untuk tidak mempercayai berita yang di sampaikan Barnabas. Tapi Barnabas adalah salah satu mata-mata kepercayaannya yang selama ini tidak pernah mengecewakannya. Jadi jika ia mengatakan bahwa Illia memiliki kedua mahkluk itu, maka bisa di pastikan keakuratan berita itu. Yon meremat dahinya mencoba mengingat cerita kakeknya, Jan Tebald,  yang konon katanya bertemu dengan Irukandji dan perinya. Apakah ia berhasil mengalahkannya? Apa yang terjadi? Diusia nya yang sudah 70 tahun, ingatannya memang sudah tidak setajam dulu. Tapi ia masih mengingat dengan jelas gambaran yang diberikan kakeknya tentang peri yang ditemuinya. Berambut perak. Bertubuh mungil, ramping, dan terlihat ringan. Kecantikan dan pesona yang dimiliki mahkluk itu, tidak ada wanita dari dunia ini yang bisa mengalahkannya. Siapa sangka, kini Raja Illia berhasil menangkap seorang peri dan Irukandjinya. Bahkan berniat menjadikannya sebagai senjata. Sudah gilakah ia? Tidak tahukah ia bahwa peri dan Irukandjinya adalah mahkluk yang berbahaya jika sampai lepas kendali? Apakah ambisinya untuk menguasai Dataran Hijau sudah membutakan matanya? Yon menyandarkan punggungnya ke kursi singgasananya.Memikirkan apa yang akan di lakukannya sekarang dengan informasi yang di milikinya. "Nigel! Bawakan aku buku harian Raja Jan Tebald!" perintahnya kepada penasehat kerajaannya. "Aku perlu mempelajari apa yang kakek ku lakukan ketika bertemu dengan peri dan Irukandjinya." Nigel yang sedari tadi berdiri di sisi kursi rajanya membungkukkan badannya dan menghilang masuk ke dalam lorong. Yon mengembalikan perhatiannya kembali pada mata-matanya yang masih berlutut di hadapannya. "Barnabas," panggilnya ke pria yang memiliki bekas luka bakar di tangannya itu.  "Kembali lah ke Illia. Pantau terus perkembangan disana. Kirimkan merpati bila ada kabar terbaru. Sementara ini kita biarkan saja mereka menyerang Kerajaan Eelry. Aku ingin melihat seberapa kuat Irukandji yang dimiliki Illia. Siapa tahu ia lepas kendali dan malah balik menyerang tangan yang memberinya makan." Barnabas membungkukkan badannya sebelum berdiri dan berjalan keluar. Bersamaan dengan masuknya Pangeran Sagar Tebald, anak pertama dari Raja Yon. Mengenakan celana kulit berwarna coklat dan betelanjang da-da, Sagar memiliki rambut yang panjang hingga ke bahu. Berwarna coklat  senada dengan jenggotnya yang menjuntai. Otot dan da-danya yang besar dipenuhi oleh bekas luka yang di dapatnya dari berbagai medan perang sejak ia masih berusia remaja. Pria itu memiliki badan yang tegap walau sudah berusia 45 tahun, dan merupakan salah satu ksatria yang ditakuti keahlian perangnya di Dataran Hijau. Ahli dalam teknik bela diri yang dipelajarinya dari negara di seberang lautan sejak kecil, Sagar memiliki pedang yang berbeda dengan kebanyakan ksatria Dataran Hijau. Jika kebanyakan ksatria memiliki pedang yang berat dan panjang. Senjata Sagar, melengkung bak kuku naga, tipis dan ringan. Dengan ujung yang kecil dan runcing. Mampu menusuk dan mengait, menyobek dan mengoyak daging musuh dengan mudah. Pandangan Sagar mengikuti Barnabas ketika ia berpapasan dengannya sebelum berlutut di hadapan ayahnya. "Yang Mulia memanggilku?" tanya Sagar sambil menatap ke arah lututnya yang tertekuk satu. "Sagar, aku mempunyai tugas untukmu. Temui ayah mertuamu, Raja Urian dari Venzor. Sepertinya genderang perang dengan Illia sebentar lagi tidak bisa dihindari. Peringatkan mereka untuk mulai bersiap-siap. Karena jika sampai Illia berhasil mengalahkan Eelry, Aku yakin Venzor yang ada di sebelahnya pasti akan menjadi sasaran berikutnya. Katakan bahwa kita akan mengirimkan seribu prajurit untuk membantunya." Sagar mengerutkan dahinya mendengar ucapan ayahnya. Kepalanya mendongak menatap wajah Yon. "Eelry, walaupun kerajaan kecil tapi mereka memiliki troll di pasukannya. Pasukan Putri Aelina juga tidak kalah tangguhnya dengan pasukan Illia. Tidak mungkin mereka akan dengan gegabah menyerang kerajaan yang sudah bertetangga sejak lama dengannya." Yon mendengus mendengar jawaban dari anaknya tentang Eelry. Sudah sejak lama ia mengincar Aelina. Sebagai putri tunggal Raja Eelry, kecantikan Aelina memang tersohor di Dataran Hijau. Masih berusia 23 tahun, lebih cocok sebagai cucu Yon daripada istrinya, mungkin yang menjadikan salah satu alasan Raja Eelry menolak pinangan Yon. "Yah... Sekarang rupanya Illia memiliki senjata rahasia. Seorang peri dan monsternya?" "Irukandji?" Sagar bertanya dengan mata berbinar. Sering mendengar cerita tentang keganasan mahkluk itu dalam medan perang dari cerita dan dongeng masa kecilnya,  selalu membuat Sagar penasaran. Dirinya belum pernah melihat satupun dengan mata kepala sendiri. Dan hal-hal yang diceritakan turun menurun kepadanya terdengar terlalu dilebih-lebihan. Monster dengan pedang bersinar biru? Sentuhan yang membakar kulit dan darah yang mampu menghancurkan tulang? Jika benar mahkluk semacam itu ada. Maka Sagar ingin bertemu, dan mengalahkannya. Karena hanya satu yang diinginkan oleh Sagar. Menemukan lawan yang sepadan dengannya. Memiliki jiwa petarung yang kuat, Sagar belum pernah terkalahkan dalam pertarungan satu lawan satu. Membuatnya yakin bahwa di Dataran Hijau, tidak ada satupun musuh yang layak untuk menjadi lawan duelnya. Kini ayahnya mengatakan kemunculan mahkluk yang konon disebut sebagai sebuah senjata di Dataran Hijau? Ia tak sabar untuk menemukannya. Yon mengangguk mendengar pertanyaan anaknya. Ia melambaikan tangannya keatas, "Sudah, lakukan perintahku dan segeralah pergi ke Venzor. Agar cepat, bawa satu kapal kita dan pergilah lewat laut." Sagar mengangguk. Menundukkan kepalanya dalam-dalam sebelum berdiri dan berlalu dari hadapan Yon. "Mau kemanakah dirimu kali ini?" tanya Sarah ketika melihat suaminya memasukkan beberapa pakaian ke dalam buntelan tasnya. "Ayah memintaku untuk ke Venzor," jawabnya singkat tanpa menoleh ke arah wanita itu. "Mengapa?" Sarah berjalan mendekati Sagar dan berusaha membantu suaminya merapikan baju yang sedari tadi hanya di masukkan dengan. "Sesuatu tentang peperangan dengan Illia. Tidak penting untukmu ikut memikirkannya, istriku." Sagar membalikkan badannya dan menatap Sarah. Wanita berumur 36 tahun itu masih terlihat sangat cantik dimatanya. Berkulit putih dan berbibir merah, Sagar jatuh cinta padanya sejak pertama kali melayangkan pandangannya pada Sarah. Duapuluh tahun yang lalu, ketika hari pernikahannya dilangsungkan. Sagar dan Sarah memang menikah karena dijodohkan. Persatuan kekuatan antara Dragontail dan Venzor, seperti kebanyakan pernikahan antar para bangsawan, tapi Sagar merasa beruntung. Wanita yang dijodohkan sebagai istrinya adalah sosok yang dicarinya selama ini. Lembut, hangat, keibuan. Hal-hal yang jarang ditemuinya di dunianya yang penuh kekejaman dan kekerasan. Pria itu menjulurkan tangannya mengelus pipi Sarah. Mengamati alis wanita itu yang berkerut seperti biasa ketika ia ditugaskan untuk pergi. "Jangan khawatir. Aku bukan ke medan perang. Aku hanya akan mengunjungi ayahmu dan memperingatinya akan sesuatu. Setelah itu aku akan segera kembali." "Apakah Venzor dalam keadaan bahaya?" Sagar menggeleng, "Tidak. Ayah hanya ingin Bernard bersiap-siap. Sudahlah wanita secantik dirimu tidak perlu disusahkan dengan urusan politik dan perang. Apakah kau sudah makan?" "Uh hm..." Sarah mengangguk sambil tersenyum. Ia selalu kagum bagaimana bisa pria sekasar dan sebrutal Sagar sanggup memperlakukannya dengan lembut. "Tapi aku belum memakan pencuci mulutku," bisik wanita itu sambil mengelus kejantanan suaminya. Sagar menutup matanya merasakan belaian tangan Sarah yang selalu sanggup membangkitkan gairahnya. "Bolehkah aku menikmatimu sebelum kau berangkat?" Suara Sarah membuat sagar menggeram pelan dan membuka matanya. Menatap Sarah yang sedang menarik gaun nya sendiri lepas dari pundaknya. Dengan sangat perlahan seakan menggodanya, membuatnya harus menahan tangannya untuk tidak merobek gaun itu dalam sekali hentak. Setelah kain terakhir terjatuh ke lantai, Sarah meraih celana suaminya dan menariknya turun. Memperlihatkan bagian tubuh Sagar yang memiliki ukuran yang sama memukaunya dengan bagian tubuhnya yang lain. Sarah mendorong d**a Sagar memerintahkan pria itu untuk duduk diatas ranjang, sebelum dirinya sendiri berlutut di sela pa*ha Sagar. "Mmmhhh Sarah...Kau satu-satunya yang memahami diriku..." erang Sagar ketika wanita itu memasukkan tubuhnya yang sudah panas ke dalam mulutnya yang basah. Sagar membuka matanya dan mengamati wanita yang dengan rakusnya menghisap dirinya seolah benda itu adalah udara. Dan tanpanya ia tidak bisa hidup.  Suara decakan yang dibuat dari air liurnya yang mengalir dari sisi bibirnya membuat tubuh Sagar makin berdenyut. Ia menjulurkan tangannya dan mencengkeram rambut hitam Sarah. Mendorong kepalanya makin turun. Membuat wanita itu tersedak ringan ketika ujung tubuhnya yang kaku, mendesak masuk semakin ke dalam dan menyentuh pangkal tenggorokannya. Sudah duapuluh tahun pernikahan mereka, dan setiap kali, wanita itu selalu tersedak ketika Sagar dengan sengaja melakukannya. Hal yang menurutnya membuat mulut Sarah terasa makin berliur, licin dan panas. Tangan Sagar mulai menggerakkan kepala Sarah naik dan turun mengikuti keinginannya. Perlahan awalnya, semakin lama semakin cepat, sementara sebelah tangannya meraih kebawah, mencari da*da istrinya dan meremasnya ringan. Memainkan ujung nya yang terasa makin meruncing dibawah sentuhan jemarinya. "Mhhh..." Desahan Sarah terhalang oleh benda yang masih terus menyodok tenggorokannya ketika Sagar mendadak meremas dan mencubit ujung dadanya. Membuatnya melompat kecil. "Jangan berhenti Sayang. Sebentar lagi..." desah Sagar sambil makin kencang menghujamkan dan menarik kepala istrinya dan terus menambah kecepatan nya. Hingga ia bisa merasakan api yang tadinya menyala redup, kini membesar dan semakin panas. Berpusat di sela pahanya, naik keatas menuju tubuhnya yang masih berada dalam dekapan air liur Sarah yang hangat dan kental. Dan akhirnya... Menyembur keluar memasuki mulut wanita itu. Sagar mengerang keras. Ia yakin suaranya pasti terdengar hingga ke barak prajurit yang ada di seberang lapangan. Tapi pria itu tidak perduli, seorang lelaki menikmati istrinya adalah hal yang wajar dan bukan sesuatu yang patut di sembunyikan. Ia bahkan tidak akan segan untuk menyetubuhi istrinya di tengah lapangan jika perlu. Berusaha memperpanjang kenikmatannya, tangan Sagar mencengkeram rambut Sarah dan mendorongnya ke bawah hingga dagu wanita itu menempel pada pangkal pahanya. Bisa dirasakannya air liur dan cairan miliknya meleleh keluar dari mulut wanita itu, menetes hingga ke betis Sarah yang putih, sebelum kemudian berakhir di atas lantai kamarnya. Sagar melepaskan jemarinya, memberi Sarah peluang untuk mengeluarkan benda itu dari mulutnya dan menghirup udara segar yang sedari tadi pasti  susah untuk dilakukan. Sambil tersenyum Sagar menatap wajah istrinya yang masih terengah-engah. "Apakah kau sudah kenyang sekarang, sayangku?" tanya Sagar sambil mengelap bibir dan dagu istrinya yang masih belepotan oleh ludah dan cairan kental yang keluar darinya. Sarah menjulurkan lidahnya kebawah dan menjilat dagu dan bibirnya sendiri, menyapu cairan yang tersisa di wajahnya sambil mengedip, "Cukup untuk beberapa hari. Berjanjilah kau akan kembali lagi sebelum aku lapar?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN