Menara Hitam
Ossena duduk diatas kasurnya sambil memeluk lututnya. Sementara matanya tidak berkedip, terus menatap ke arah Irukandji. Mahkluk itu sedang duduk di kursi meja makannya berhadapan dengan Ansel. Tubuhnya yang besar terlihat kontras dengan perabot di dalam kamar Ossena. Jika sedang berdiri, Ansel yang menurut Ossena sudah lebih jangkung darinya, hanya bisa sampai di telinga monster itu.
Tidak, bukan monster. Pria. Mahkluk apapun Irukandji sekarang, tapi ia tidak di lahirkan sebagai monster. Melalui koneksi keduanya, Irukandji menceritakan pada Ossena apa yang ia ingat, yang tidak begitu banyak. Hidup terlalu lama dalam kesepian, sepertinya membuat Irukandji lupa akan masa lalunya. Tapi ia ingat bahwa ia adalah manusia. Seorang prajurit, hidup pada jaman ketika peri masih berkuasa di bumi. Jauh sebelum keserakahan manusia menyingkirkan mereka dari bumi.
"Jadi, kau adalah manusia? Dan sudah hidup ratusan tahun?"tanya Ansel. "Apa yang terjadi padamu? Bagaimana kau akhirnya hingga menjadi... begini?" Ansel menunjukkan Irukandji dari ujung kepalanya hingga kakinya.
Mahkluk itu menatap balik ke mata Ansel tidak menjawab pertanyaan pria itu.
"Apakah kau tidak bisa bicara?" cerca Ansel kesal.
"Ia bukan tidak bisa bicara, ia tidak ingat bagaimana ia menjadi seperti sekarang. Dan lagi menurutnya apa yang terjadi padanya bukanlah urusanmu," sahut Ossena dari ranjang.
Ansel menoleh ke arah Ossena dengan dahi berkerut.
"Kau bisa membaca pikirannya tanpa menyentuhnya, O?" tanya Ansel.
Ossena mengangguk, "Ya, jika kami berdekatan. Sepertinya hubunganku dengannya berbeda daripada hubunganku dengan orang lain. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi Irukandji bagaikan bagian dari diriku, atau aku bagian darinya..." ia menggelengkan kepalanya, "... entahlah."
Ansel menggertakkan rahangnya mendengar jawaban Ossena. Sesuatu mengganggu pikirannya ketika Ossena mengatakan bahwa mahkluk yang duduk di hadapannya itu lebih berarti dari yang lain. Darinya. Tapi Ansel tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak ingin Ossena mengetahui perasaannya pada gadis itu. Saat ini, baginya yang terpenting adalah misinya. Menjaga keselamatan Ossena, dan membawa nama Raja Gregory sebagai penguasa tunggal.
"An..., Irukandji...hm... ia mengatakan bahwa ia tidak menyukai mu," ucap Ossena sambil tertawa kecil.
Ansel menatap wajah Ossena sambil mendengus, "Yah... katakan padanya kalau aku juga tidak menyukainya."
"Baiklah... kalian berdua sebaiknya akur. Jangan sampai aku harus turun tangan dan memaksa kalian untuk bersikap baik satu sama lain," sahut Ossena sambil berjalan mendekati keduanya.
"Perlukah ia membalut kulitnya, An?" tanya Ossena menyentuh sebagian perban yang membalut tubuh Irukandji. Sudah tidak lagi berwarna putih tapi lebih terlihat kuning kecoklatan, menyembul dari balik lengan dan betisnya yang tidak tertutup baju. Ossena mengalihkan perhatiannya ke punggung Irukandji yang terlihat dari balik pakaiannya yang compang camping. Tidak terbalut oleh perban, Ossena bisa melihat bahwa punggung mahkluk itupun penuh dengan bekas luka parut. Sama seperti yang dilihatnya di lengan Irukandji.
"Tentu saja ia perlu membalut kulitnya. Sentuhannya bagaikan racun untuk manusia. Menyakitkan dan membakar kulit. Kita harus berhati-hati. Ia bisa melepasnya dalam perang, tapi selain itu, Raja Gregory menginginkan kulitnya tertutup."
Ossena mengerutkan bibirnya tanda tidak suka akan ucapan Ansel, tapi ia tidak membantah. Ia menoleh ke arah Irukandji.
"Iru, kau perlu untuk mandi dan mengganti perbanmu. Baumu sangat...hm...tidak enak. Ansel, bisakah kau meminta pelayan Menara untuk membawakan air hangat untuknya? Dan apakah kau punya pakaian lain untuk mengganti bajunya yang sudah compang camping?"
Ansel mengalihkan pandangannya ke tubuh Irukandji dan menatapnya dari kepala hingga kaki.
"Untuk ukuran tubuhnya? Tentu saja tidak ada yang punya. Kau perlu baju milik troll,"
"Ansel!" seru Ossena.
Pria itu menghembuskan nafas kesal, "Baiklah akan kucarikan sebisanya. Tapi aku tidak akan membiarkanmu sendirian disini berdua dengannya. Kau sudah bebas sekarang, ayo ikutlah denganku. Kita bisa pergi ke pasar di kota membelikan baju untuknya, sementara ia membersihkan diri di sini."
Ansel bangkit berdiri sambil melanjutkan, "Oh ya... Raja Gregory hendak mengadakan jamuan makan malam besok malam untuk merayakan ulang tahunmu dan memperkenalkanmu pada rakyat Illia, Ossena. Ia akan mengirimkan beberapa pakaian untukmu siang ini. Oh... dan pakailah mantel, udara diluar sedang dingin sekali, dan jangan lupa cadar. Kita tidak ingin ada kerusuhan terutama dari para pria yang tidak terbiasa melihat kecantikan wajah seorang peri."
Ossena tercekat mendengar perintah Ansel. Bisa keluar dari Menara Hitam sudah menjadi harapan dan impian Ossena sejak kecil. Kini ketika hal itu akan terjadi, ia malah merasa sangat ketakutan. Belum lagi dengan berbagai peringatan yang di lontarkan Ansel, sebegitu mengerikankah dunia luar?
"Uhm... Aku...Aku..."
Ansel mengerutkan dahinya melihat Ossena yang masih tidak beranjak dari sisi Irukandji.
"Kenapa, O? Tidak inginkah kau melihat dunia luar?"
"Tentu saja, setiap hari aku memimpikan untuk keluar dari menara. Melihat benda-benda yang sering kau bawakan untukku. Tapi kini saatnya tiba, jantungku berdebar-debar."
Ansel tersenyum lembut, "Tidak usah takut, peri O. Aku akan menjagamu. Akan kubawa beberapa prajurit untuk mengawal, kita akan baik-baik saja."
Ansel melangkah ke arah lemari pakaian Ossena dan menarik sebuah mantel berkerudung, dan cadar. Ia lalu berjalan mendekati Ossena dan menjulurkan tangannya yang bersarung. Melihat itu, Irukandji pun ikut bangkit.
Ossena menoleh ke arah Irukandji dan menjawab, "Kau tidak ikut, Iru. Kau perlu mandi. Jangan khawatir, aku akan segera kembali membawakan baju ganti untuk mu."
Gadis itu menerima juluran tangan Ansel yang kemudian menggandengnya keluar diiringi tatapan mata tajam Irukandji.
Di bawah, Ansel memerintahkan Salma, salah satu pelayan menara, untuk mengurusi kebutuhan Irukandji. Memberinya makan dan memandikannya.
"A...apa? Tuan memintaku untuk memandikan..." Salma mendekatkan wajahnya ke arah Ansel sebelum membisikkan, "...monster itu?"
Ossena yang mendengar perkataan Salma langsung menoleh kearah sang pelayan dengan alis berkerut.
"Apa kau bilang? Ia bukan monster!" jawab Ossena kesal.
Ansel menjulurkan satu tangannya diantara keduanya berupaya mencegah Ossena semakin mendekati Salma.
"Sudahlah... Antar saja ia ke bawah memakai kamar mandi prajurit," perintahnya ke Salma. "Biarkan ia mandi sendiri. Jangan ada yang menyentuh kulitnya. Berikan dia perban baru untuk mengganti perbannya yang lama."
Ansel kemudian menoleh ke arah prajuritnya dan memastikan bahwa ada orang yang menjaga Irukandji setiap saat dan mengawasinya untuk tidak keluar dari Menara Hitam. Meskipun ia ragu ada diantara mereka yang bisa menahannya jika mahkluk itu memutuskan untuk kabur. Ansel menoleh ke arah Ossena yang berdiri di belakangnya.
"Apakah kau yakin ia tidak kan kemana-mana?"tanyanya.
Gadis itu mengangguk. "Aku sudah memintanya untuk bersikap baik."
"Hm... Baiklah. O, pakai mantel dan cadarmu," pinta Ansel sambil menyerangkan pakaian Ossena yang sedari tadi masih di pegangnya. Ia kemudian menoleh ke arah para prajuritnya dan menunjuk sebagian dari mereka yang berdiri berjajar. "Kalian berempat, siapkan kuda dan ikuti kami."
Ossena memasang mantel dan menutupi wajahnya dengan sehelai kain berwarna senada dengan baju hijau yang di pakainya sambil terus mengawasi Ansel. Heran mendengar nada suara Ansel yang terdengar tegas dan kaku ketika berbicara dengan bawahannya. Sangat berbeda dengan suara Ansel yang lembut ketika berbicara dengannya. Ossena masih berdiri termenung ketika Ansel meraih pedang miliknya dan menggantungkannya ke pinggangnya, sebelum kemudian meraih lengan Ossena dan menggandengnya keluar.