Angin bulan desember langsung menerpa wajah Ossena, membuat gadis itu tersentak kaget dan melangkah mundur. Bukan karena dingin, tidak. Karena walaupun ia memang memakai mantel bulu yang tebal, tapi badan Ossena sepertinya tidak terpengaruh suhu dari luar. Kekagetannya adalah karena ia belum pernah merasakan hembusan angin di wajahnya sebelumnya. Membelai halus seolah sebuah tangan lembut yang menyentuh permukaan kulitnya.
"Kau tidak apa, O?" tanya Ansel kembali dengan suara lembutnya.
Ossena mengangguk.
"Indah sekali, Ansel," seru nya sambil memandang ke segala arah.
Mata Ossena membelalak makin lebar di celah sempit antara kerudung dan cadar nya. Bak anak kecil yang baru pertama kalinya melihat dunia, Ossena menatap tumpukan salju berwarna putih yang menutupi seluruh permukaan padang rumput, lembut bagaikan permen kapas yang sering dibawakan oleh Ansel. Di kejauhan, tampak susunan batu berwarna hitam yang menjulang tinggi mengelilingi sebuah Kota.
"Itu Kota Illia, O," tunjuk Ansel ke arah pandangan Ossena.
Illia? Akhirnya aku akan melihat Kota Illia,! pikirnya girang. Ossena menengadahkan kepalanya. Dipandanginya langit biru yang membentang tanpa awan, bak sebuah mangkok, pikir Ossena. Gadis itu mengangkat sebelah tangannya menutupi matanya yang mengernyit, berusaha menatap matahari yang walaupun bersinar terik, tapi kalah kuat oleh rasa dingin dari salju yang membentang di sekelilingnya.
Segerombolan burung yang mendadak terbang berhamburan dari sebuah pohon tapa daun, mengalihkan perhatian Ossena. Ranting-rantingnya yang telanjang bergoyang bersamaan dengan bunyi kepak sayap dan cuitan dari paruh mungil mereka. Panik oleh sesuatu yang mengagetkan mereka dari istirahatnya.
Setelah gerombolan burung itu menghilang, Ossena melangkahkan kakinya keluar dari menara dan menoleh ke arah laut. Berlari kecil ke arah tebing, membuat Ansel yang khawatir,langsung menyusul nya. Pemuda itu menyambar lengan Ossena.
"Jangan terlalu dekat ke tebing, O. Kau bisa jatuh ke bawah."
Ossena berdiri sejenak dalam gandengan tangan Ansel, mengamati deburan ombak yang terpecah menabrak dinding tebing. Bebatuan yang basah di kejauhan tampak bergelimang cahaya, memantulkan sinar matahari bulan desember yang menyembul cerah pagi itu. Di kejauhan tampak sebuah perahu menyeberangi lautan, berlayar dengan kain warna merah nya membentang lebar. Melaju tanpa suara didalam tiupan angin laut.
"Apa itu, Ansel?" tanya Ossena menunjuk ke arah perahu.
Ansel mengernyitkan matanya berusaha melihat simbol yang terpasang di layar kapal.
"Kapal perang, O. Milik...hm... Dragontail."
Kemana kapal itu berlayar? Mengapa hanya satu? Pikiran Ansel berputar di dalam kepalanya.
"Ayo, O. Kita berangkat. Semakin siang pasar akan semakin ramai, aku tidak ingin kita terjebak di dalamnya."
Ossena mengangguk dan berjalan mengikuti tarikan tangan Ansel, menghampiri salah satu prajuritnya yang berdiri memegangi kuda miliknya dan membisikkan sesuatu. Pemuda itu memerintahkan sang prajurit untuk menyampaikan pesan kepada Raja Gregory akan apa yang baru dilihatnya.
Kapal Dragontail, berlayar tunggal menuju selatan. Sang prajurit mengangguk paham.
Ansel kemudian menoleh kembali ke arah Ossena.
"Ayo, O. Kubantu kau naik," ucap Ansel.
Ossena menatap wajah Ansel sambil terbelalak.
"Naik?" tanyanya menunjuk ke arah binatang yang dipegang oleh Ansel.
"Jangan takut, ia tidak akan melukaimu. Aku akan memegangimu, pijak kan saja kakimu di sini." Ansel menunjuk ke arah pijakan kaki yang tergantung di sisi badan kuda, kemudian melanjutkan, "Lalu dengan berpegangan pada ujung sadel, tarik badanmu ke atas. Alungkan kakimu ke sisi badannya yang sebelah sana, dan kau seimbang kan dudukanmu. Mudah bukan?"
Ossena mengerutkan kening nya mencoba memahami instruksi Ansel. Tanpa berkata apa-apa ia lalu membuka sarung tangan yang dipakainya dan mengelus binatang berkaki empat itu.
Ijinkan aku naik, Kawan, bisiknya dalam hati.
Seketika binatang bermata bijaksana itu menekuk kaki depannya, memberi ijin Sang Peri untuk naik.
"Terima kasih, teman," bisik nya lembut sambil menyarungkan sarung tangannya kembali dan melompat naik ke punggung binatang itu.
Sang kuda langsung berdiri begitu Ossena sudah duduk dengan aman diatasnya.
"Ayo, An. Naiklah. Apa yang kau tunggu? Perlukah aku meminta kudamu untuk menunduk?" tanya gadis itu ketika Ansel masih terbengong melihat apa yang barusan terjadi.
Pria itu tertawa sambil menggelengkan kepala.
"Kemampuanmu selalu membuat ku terkesima, Peri O," jawabnya sambil melompat naik ke atas sadel dan mendudukkan tubuhnya di belakang Ossena.
"Baiklah, Titus, ayo kita berangkat. Hyah!" seru Ansel menyentakkan kakinya ke perut kuda nya yang langsung melesat berlari diikuti ke empat prajurit yang mengikuti mereka di punggung kudanya masing-masing.
Ossena mengeratkan pegangannya pada tangan Ansel yang mencengkeram kendali Titus. Ada perasaan takut tapi sekaligus bebas ketika tubuhnya melesat maju menunggangi binatang itu. Ditambah berada di jarak yang sangat dekat dengan Ansel membuat jantungnya berdetak lain dari biasanya. Ia bisa merasakan hembusan hangat nafas yang keluar dari hidung pria itu di pipinya.
"Kau baik-baik saja, O?" tanya Ansel ketika mereka sudah melewati padang rumput bersalju dan hendak masuk ke dalam gerbang kota.
Ossena mengangguk.
"Ossena, benahi cadarmu dan turunkan ujung kerudungmu lebih kebawah. Aku tidak ingin ada orang yang melihat wajahmu," perintah Ansel.
Selain warna rambut yang berbeda, Ansel juga tidak ingin kecantikan langka yang dimiliki Ossena menarik perhatian dan mengundang orang yang berniat tidak baik untuk melukai nya.
Ossena menurut dan membenahi cadar tipisnya yang tersingkap oleh angin, naik hingga menutupi hidungnya. Lalu ia menarik kerudung nya lebih turun hingga ke dahi. Menyisakan mata lebarnya yang bersinar indah sebagai satu-satunya yang terlihat dari wajahnya
Ia melihat Ansel menganggukkan kepalanya kepada penjaga gerbang yang membungkuk melihat kedatangannya.
"Mereka semua menghormatimu, An. Aku tidak tahu kau memiliki pangkat yang tinggi."
Pertanyaan Ossena membuat Ansel tertawa.
"Aku sudah melewati beberapa pertempuran sebelum Raja Gregory menugasku di Menara. Setiap kembali dalam keadaan hidup, Yang Mulia memberi ku imbalan. Salah satunya adalah kenaikan pangkat. Hingga akhirnya aku berhasil menjadi salah satu Panglima di pasukan militer nya bersama dengan 3 orang lainnya, menjawab hanya kepada Yang Mulia."
"Wuah... pencapaian yang hebat!" seru Ossena yang sebetulnya tidak begitu paham apa yang dijelaskan oleh Ansel. Tapi ia bisa merasakan kebanggaan memancar dari mata pria itu ketika menjelaskan tentang keberhasilan nya.
"Aku berhutang banyak kepada Yang Mulia. Ia selalu memperhatikan tumbuh kembangku sejak kecil. Menyekolahkanku dan mengajariku bela diri. Mengabdi pada Illia adalah salah satu caraku untuk berterima kasih padanya," jelas Ansel.
Ossena bisa merasakan bahwa Ansel mengagumi dan menghormati Gregory Kane dari nada suaranya.
"Nah kita sudah hampir sampai, O," ucap Ansel membuat perhatian Ossena kembali teralih ke jalanan. Mereka sedang melewati sebuah lorong menuju ke tengah kota. Seorang kakek tua duduk merapat di dinding batu memandang ke arah Ossena sambil mengacungkan tangannya ke atas dan menggumamkan sesuatu yang tidak dimengerti oleh Ossena. Di sebelahnya, seorang anak kecil tanpa memakai baju berdiri dengan tubuh dekil dan wajah yang penuh ingus.
"Apa yang pria itu mau, An?" bisiknya ke arah Ansel ketika kuda mereka melewati keduanya.
Ansel melirik sekilas kemudian menjawab, "Mereka pengemis, O. Kota ini penuh dengannya."
"Pengemis?"
"Orang yang tidak memiliki pekerjaan dan harus meminta-minta untuk bisa menyambung hidup."
"Mengapa mereka tidak memiliki pekerjaan?"
Ansel menggaruk rambutnya bingung untuk menjelaskan.
"Uhm... Kebanyakan dari mereka adalah para pengungsi yang datang dari kota lain yang hancur karena perang dan terpaksa mengemis karena tidak ada yang mau memberi mereka pekerjaan. Atau mungkin karena usia, mereka sudah terlalu tua dan lemah untuk bekerja, dan tanpa ada keluarga yang menanggung hidup tua mereka, mau tidak mau mereka ada di jalanan."
Ossena menoleh kembali ke belakang menatap pria tua itu yang kini terlihat sedang mengacungkan tangannya ke arah orang-orang yang melewatinya seolah ia tidak terlihat. Baru sadar rupanya pria tua itu bukanlah satu-satunya. Berjajar di sekeliling tembok, orang-orang dengan pakaian compang camping dan kumuh berdiri berjejer. Sebagian dengan anggota tubuh yang tidak lengkap, tanpa kaki, tanpa tangan, berbalut perban yang kotornya mirip dengan perban yang membalut Irukandji.
Derap kaki Titus yang mendadak berhenti mengalihkan perhatian Ossena kembali pada keramaian pasar di hadapannya. Ansel melompat turun dari kudanya dan mengacungkan tangannya ke atas.
"Lompat lah, aku akan menangkapmu."
Ossena menurut dan meluncur ke bawah. Yang langsung di tangkap oleh tangan kokoh Ansel yang memeluk pinggangnya.
"Baiklah, jangan sampai terpisah dari ku, O," perintah Ansel menggandeng tangan Ossena erat-erat.
Keempat prajurit yang mengikuti mereka, turun daru kuda mereka masing-masing dan berjalan mengikuti keduanya.
Ossena membelalak kan matanya menatap kerumunan orang di pasar sementara Ansel terus menerobos melewati pedagang-pedagang yang berjejer di sekeliling pasar. Pria itu berhenti di depan pedagang kain yang menjual berbagai jenis pakaian. Sementara Ansel menanyakan pakaian terbesar yang mereka miliki, mata Ossena menangkap sesuatu dari ujung matanya. Berwarna merah muda dan tergulung di sebatang kayu.
Gula-gula! Serunya dalam hati.
Tanpa sadar ia melepaskan genggaman nya dari tangan Ansel yang masih sibuk memilih baju dan berjalan mendekati pedagang gula-gula. Matanya makin membulat ketika melihat bagaimana sang pedagang memintal serat-serat manis itu di dalam wajan panasnya dan menggulung nya dengan sebatang kayu.
Ossena sedang membungkuk kan tubuhnya ke arah wajan yang panas hendak mengamati lebih dekat, ketika seseorang dengan keras menabrak tubuhnya hingga terjatuh.
"Heh! Berdiri jangan di tengah jalan!" hardik seorang pria dengan suara kasar sambil menunduk menatap Ossena yang tergeletak di atas tanah dengan cadar yang sudah tertarik lepas dari wajahnya.
Mata pria itu makin mendelik ketika melihat wajah Ossena. Berbibir merah, dan berhidung mancung, mata lebar Ossena menatap ke arah pria itu yang membalas tatapan nya dengan mata buas.
"Woaa... , Nona...baru kali ini aku melihat gadis secantik dirimu. Dari mana datangmu heh?"
Baru saja pria itu hendak meraih lengan Ossena, mendadak seseorang berteriak dan berlari ke arah mereka.
"Ossena!" jerit nya.
BRUAGGG!
Dengan sekali hempas, Ansel mendorong pria itu hingga ter jungkir ke belakang, menabrak dagangan pedagang tomat yang langsung menggelinding ke mana-mana. Keempat prajurit yang mengikuti mereka langsung menghunuskan pedangnya ke arah pria yang masih terguling kebingungan diantara sayuran berwarna merah bulat itu. Beberapa tergencet badannya yang agak gemuk dan menodai baju yang dikenakannya.
"O, kau tidak apa-apa?" tanya Ansel sambil menarik lengan Ossena dan membantunya berdiri. Gaun yang dipakainya kini basah dan berlumpur.
"A... Aku baik-baik saja, An," jawab Ossena kebingungan.
Beberapa penduduk mulai berkerumun sambil berbisik-bisik menatap wajah Ossena, membuat Ansel buru-buru menarik kerudung mantel Ossena turun dan merapikan cadar nya kembali menutupi wajah gadis itu.
"Sudah ku bilang bukan, jangan berkeliaran sendiri! Dunia manusia berbahaya bagimu, O! Apa sih yang kau lakukan?!" semprot Ansel.
Nada suaranya yang keras dan penuh kemarahan mengagetkan Ossena.
"Aku...aku tadi hanya ingin melihat penjual gulali... Maafkan aku, An," bisik Ossena lirih. Matanya mulai berkaca-kaca membuat Ansel terkejut.
"Ah... O, maafkan aku membentakmu. Aku hanya khawatir. Sudahlah, mari kita pergi dari sini sebelum situasi mulai kacau."
Kerumunan orang makin menumpuk mengelilingi mereka, bisikan-bisikan tentang wanita cantik berambut perak mulai terdengar. Seorang pria dengan luka bakar di tangannya, ikut mengintip diantara kerumunan. Berbalut kerudung yang menutupi kepalanya yang berturban, matanya memandang tanpa berkedip ke arah Ossena yang kini berada dalam rangkulan lengan Ansel, yang memeluk erat bahu Ossena dan menggiringnya menuju kuda mereka. Ansel masih menggenggam erat pedang di tangannya sambil membelah kerumunan pengunjung pasar yang makin berdesakan, dan dengan tergesa-gesa, membantu Ossena naik ke atas sadel sebelum dirinya sendiri melompat naik ke kuda miliknya
"Hyah!" serunya memacu kudanya melesat keluar dari kota Illia, kembali ke Menara Hitam.
Ansel bergegas menarik Ossena masuk ke dalam Menara Hitam sambil meminta prajuritnya untuk berjaga jika ada yang mengikuti. Pria itu baru bisa bernapas lega ketika Ossena sudah berada di dalam kamarnya, di mana Irukandji sudah duduk menunggu dalam balutan perban yang baru.
Ansel melemparkan buntelan berisi baju yang baru di beli nya di pasar ke arah Irukandji.
"Nih bajumu!" serunya.
Irukandji tidak menjawab dan hanya melirik kearah pakaian penuh lumpur yang dikenakan Ossena.
"Aku baik-baik saja. Seseorang menabrakku dan aku terjatuh," jawab Ossena ke arah Irukandji seolah pria itu baru saja menanyakan apa yang terjadi dalam benaknya.
Irukandji menggeram pelan.
"Sudah kubilang, sebaiknya aku ikut bukan?" Sebuah suara parau keluar dari bibir mahkluk itu, terdengar menggema di dalam ruangan membuat Ansel menoleh.
"Bisa bicara juga kau rupanya?"
Irukandji tidak menjawab tapi malah melirik ke arah pedang yang tersemat di pinggang Ansel. Sadar bahwa ia lupa meninggalkan pedangnya di bawah, Ansel langsung mencengkeramkan tangan kanannya ke gagang pedang sambil melangkah mundur.
"Jika kau kira aku membutuhkan pedang tumpul itu untuk membunuhmu, maka kau sudah salah."
Irukandji menjawab sambil tertawa terbahak-bahak. Suaranya yang menggelegar bahkan mengagetkan burung yang sedang hinggap di atap menara. Menghantarkan mereka terbang berhamburan ke langit.
Beberapa saat tidak ada dari mereka yang bersuara, hingga Ossena akhirnya berteriak.
"Bisakah kalian berdua berhenti?!? Aku sudah lelah melihat kalian tidak akur!!" Ossena menoleh ke arah Ansel, "Iru tidak akan menyakitimu. Dan Iru!" Pandangannya kini beralih sosok yang berdiri di sisi meja makannya, "Ansel sudah menjagaku selama ini. Ia satu-satunya temanku. Aku tidak ingin kau terus menerus berpikiran negatif tentangnya. Jika kau tidak bisa menerima kehadirannya di sisi ku, maka lebih baik kau kembali saja ke bawah!"
Kedua pria tersentak mendengar teriakan Ossena. Irukandji mendudukkan tubuhnya kembali ke kursi makan sementara Ansel melemaskan tubuhnya dan cengkeramannya dari pedangnya.
"Mungkin kita sudah salah paham satu sama lain." Akhirnya Ansel bersuara. Ia melangkah mendekati Irukandji dan mengulurkan tangan kanannya. "Teman?" tanyanya.
Irukandji menatap tangan yang terjulur di hadapannya sebelum kemudian mendengus. Meraih juluran tangan Ansel dan menjabatnya seraya menggeram, "Teman!"