Di dalam mobil mewah yang tengah melaju dengan kencang menuju kediaman keluarga Yatsuhisha. Ao terduduk di jok belakang bersama Akihara dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Ia tak ingin kembali ke rumah itu. Karena ia begitu menikmati perannya selama ini. Ia tak ingin kembali.
“Harusnya kau tak datang ke tempat itu saat itu,” kata Ao sini sambil melihat pemanjangan yang bergerak cepat di luar jendela kendaraan beroda empat yang Tenga melaju dengan cepat.
“Saya melakukan semua ini atas perintah IQCI,” beritahu Akihara, "Saya tidak bisa menolak karena khawatir kecurigaan terbit."
“Hah? Memang kecurigaan macam apa yang mungkin mereka alamatkan padaku?” tanya Ao. Meminta kejelasan. Tapi, tak ingin mengeluarkan terlalu banyak energi.
Akihara menjawab, “Mereka mencurigai Anda memiliki hubungan dengan kasus ini dan meminta saya untuk mengawasi Anda selama dua puluh empat jam. Sebenarnya mereka meminta saya diam. Tapi, apa boleh buat. Majikan saya dalam masalah ini kan Anda.”
“Sepertinya aku sedang mengalami krisis jati diri sekarang,” ucap Ao tiba-tiba. Raut wajahnya tampak sangat muram. Seperti putih telur yang telah terkontaminasi bahan makanan lain hingga tak lagi putih bersih. Tercemar menjadi sesuatu dengan warna dan citarasa berbeda. Sudah tak pantas disebut sebagai putih telur lagi karena telah bersatu dengan bahan makanan lain hingga ciptakan wujud baru yang lebih padu.
“Itu wajar untuk anak muda.”
“Apalagi sebenarnya aku juga tidak seperti yang mereka bayangkan. Apa yang akan IQCI lakukan padaku? Jika Master mengetahui hal yang telah kulakukan apa yang akan terjadi padaku? Memenjarakanku? Sejujurnya aku takut pada pikiran Master. Padahal Master adalah orang yang sama denganku. Namun, mengapa begitu sulit untuk memahaminya?” tanya Ao dengan raut depresi.
“Sejauh ini Anda sendiri telah menciptakan sebuah tokoh fiktif bernama Ryukamine Ao hanya sebagai jalan pintas untuk pelarian dari kenyataan yang sesungguhnya harus Anda hadapi. Sebenarnya Anda takut kehilangan semua ini bukan?” tanya Akihara balik.
Ao sedikit mengatur nafas sebelum lontarkan jawaban, “Aku tidak pernah merasakan yang namanya takut atau khawatir Hal yang lumrah dirasakan oleh manusia biasa itu. Aku hanya ingin menghentikan jatuhnya air mata karena kehilangan yang tidak tepat. Aku hanya benar-benar ingin hanya ada kebenaran di atas muka bumi ini yang tak lagi jatuhkan air mata di wajah para manusia tidak berdosa. Untuk meluruskan semua itu akulah yang harus menjadi penguasa. Dewa yang memutuskan kehilangan saat itu adalah dewa yang jahat. Aku harus sadar siapa diriku. Rieki Shinmei adalah utusan langit yang salah. Mereka harus disingkirkan.”
“Apa termasuk jika Hashimoto Shuuya merupakan salah satunya?” tanya Akihara.
“Tidak. Ia telah menjawab pertanyaanku dengan kata tidak. Itu berarti bukan. Aku mendirikan IQCI untuk menyelidiki hal itu,” jawab Ao.
“Lalu, mengapa Anda mencabut nyawa begitu banyak manusia? Apakah Anda merasa bahwa itu hal yang jauh lebih benar dan baik? Apa yang buat Anda merasa seperti itu?” tanya Akihara.
“Aku tidak pernah menghabisi atau merenggut nyawa siapa pun di atas bumininu. Camkan itu, Akihara! Nama mereka sudah lama berada dalam daftar suitable death. Daftar para manusia yang memang sudah sepantasnya meninggalkan dunia ini. Hanya karena alasan konyol semacam belum muncul dalam daftar Death List lalu mereka tidak segera mencabut nyawanya. Dan membiarkan manusia itu menyakiti semakin banyak orang. Itu tidak adil. Era ini harus segera direformasi,” jawab Ao dengan tatapan penuh keyakinan. Ia tak meragukan idealisme yang ia pegang teguh dalam hatinya barang sedikit pun. Kelemahan jiwa adalah pangkal dari kekalahan. Dan karena ia telah memutuskan untuk masuk ke dalam suatu pertaruhan dan pertarungan yang luar biasa, melibatkan keberadaan hidup dua dunia, ia tak boleh kembali menarik langkah apalagi sampai buat keputusan salah.
Ada banyak hidup yang dipertaruhkan dalam tiap keputusan.
Ao mencopot kacamatanya dan menatap langit dari balik kaca jendela. Dari kaca yang jernih memantulkan wajahnya yang tak berkacamata. Ia amati laju langit. Laju gedung-gedung. Laju kendaraan lain. Laju pohon yang berdiri tegak di sepanjang pinggiran jalan. Laju waktu yang terus berdetak. Laju sejarah yang kisahnya akan tetap tertoreh di panggung dunia dan hanya ditulis oleh mereka para pemenang perlombaan. The time will never repeated. Waktu tak akan pernah terulang seperti kesalahan dan penyesalan yang terus dilakukan oleh kaum manusia.
Ia sadar wajah yang terpantul pada kaca jendela mobil itu bukan sesungguhnya wajah miliknya. Bukan juga dirinya yang selalu berusaha ia jaga. Dirinya sendiri hanyalah anak yang sangat beruntung karena mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di Hakuseki Gakuen berkat dana beasiswa. Anak demgan katar belakang tidak punya dari segi harta maupun privilege yang tinggal di sebuah apartemen kumuh dengan harga sewa tahunan super murah. Bukan Ao Ryukamine yang baru saja dikatakan oleh lelaki yang ada di sisinya. Lalu, wajah siapa sebenarnya yang sedang terpantul itu? Wajah Master ksh? Atau wajah Gilbert kah?
Adakah orang yang sanggup beri ia jawaban tanpa makna ganda? Seutas jawaban yang bisa ia terima kapan saja untuk damaikan perasaan jiwa yang kadang tergores dipenuhi oleh luka tak kasat mata.
Siapa aku sebenarnya di dunia yang perlahan semakin rusak ini? Aku merasa bahwa aku telah kehilangan diriku, makna hidupku, arti yang harusnya kumiliki, tanpa dirimu. Ao kembali mengenakan kacamatanya. Seketika ia metada dirinya kembali menjadi sosok Ao Ryukamine. Tanpa keraguan. Dirinya setelah pelarian panjang dan persembunyian di dunia yang terlihat dari balik bingkai kacamata.
“Akihara, apa kau pernah merasakan perasaan sedih? Kesedihan yang tak tertahankan. Tak bisa ditawar. Kehidupanmu yang harus kau jalani setelah ini bisa jadi tak akan mudah. Sejak kau memutuskan masuk itu sama dengan keputusanmu untuk merubah segalanya,” tanya Ao.
“Saya hanya hidup untuk mematuhi perintah Anda, Tuan. Apakah itu tidak tepat ketika memang hanya kesempatan itu yang saya dapat?” tanya Akihara balik.
Tak ada yang salah dengan dunia. Yang tidak benar hanya kehilangan yang harus terjadi di atasnya. Itu semua tidak tepat. Terasa kurang pantas. Dan lebih sering seperti tidak adil dan tak seharusnya terjadi. Haruskah setiap manusia yang terlahir ke dunia harus rasakan itu semua? Segala duka dan nestapa yang tak pada tempatnya.
Tidakkah ada orang lain yangenyadari kesalahan ini sebelumnya?
"Bagaimana menurutmu sendiri?"
"Apa yang kau pikirkan?"
Mungkin aku memang pantas mendapatkan itu semua...