SEVERE

1015 Kata
Pukul tujuh malam. Mobil yang Akihara kendarai telah sampai di pekarangan suatu bangunan kediaman yang sangat besar dan bertabur kemewahan serta keindahan di segala sisi karena betapa sempurna penataan lahan dan tempat yang buat semua terlihat sempurna. Salah satu yang paling mewah dan bersahaja di negara dengan julukan negeri matahari terbit ini bahkan. Bukan hanya itu, bangunan tersebut juga tidak jarang saking fenomenal dan menawannya sampai berulang kali ingin digunakan sebagi latar syuting drama atau film yang punya cerita tentang kehidupan berbagai macam orang kaya raya dengan konflik dan drama hidup masing-masing. Bukan hanya itu saja, tapi juga merupakan suatu bangunan yang tampaknya sedikit lagi tampaknya akan segera sirna dari ingatan seorang Ao Ryukamine. Dalam ingatan yang ia miliki dalam kepalanya sendiri bukan dirinya yang sempata atau harus tinggal di dalam kediaman itu. Tidak, bukan ia, tapi dirinya yang berbeda. Dirinya yang tak banyak diketahui oleh khalayak ramai. Dirinya yang hanya ingin selalu ia sembunyikan di balik tirai tebal. Ia tak ingin memiliki kenangan akan itu semua karena hanya rasa sakit yang akan ia dapat. Rasa sakit akibat begitu banyak persimpangan dan hal-hal yang tak seharusnya dan tak diinginkan terjadi. Berbagai macam hal yang tak ia inginkan pernah terulang. Dan tentu saja banyak hal yang ingin ia kembalikan jadi sesuatu yang memang harusnya terjadi. Seseorang yang tidak sama. Namun, apalah daya. Ia hanya "seorang" manusia yang tak punya daya untuk banyak hal. Bahkan saat ini ketika ia tak lagi pantas seutuhnya menyandang gelar sebagai seorang manusia. “Kita sudah sampai di rumah, Tuan Muda Ao,” beritahu Akihara dari jok supir di depan. Ia tatap wajah Ao yang duduk di kursi bagian belakang. Seorang anak remaja yang dalam kegelapan mobil saat itu tengah menatap pemandangan di luar jendela dengan wajah kosong nan hampa seolah tak lagi diduduki jiwa. Terpisah erat dari dimensi fisik dan fana di mana mereka harusnya berada. “Tuan Muda Ao,” panggilnya lagi. Merasa tak dapatkan respon yang diingini. Tanpa suara Ao pun menggerakkan tubuh untuk menuruni kendaraan beroda empat itu sambil memegang kacamata yang tengah terpasang di pangkal hidungnya dengan erat. Ia benar-benar tak ingin kehilangan atau berpisah dari kacamata yang walau dari luar tampak sangat biasa itu, namun aslinya memiliki banyak cerita yang tak tersampaikan dan sejarah panjang soal luka dan untaian duka. Sebuah benda yang telah beri ia kehidupan yang kata banyak orang sih sempurna, namun tidak juga untuknya. Kehidupan yang ia "inginkan" sejak tragedi menyedihkan di malam berdarah penuh keluh dan kesah itu. Sejak kehilangan paling besar dalam hidupnya terjadi dan tak akan bisa dikembalikan lagi. Dirinya yang kini adalah seorang Ryukamine Ao. Tak ada yang bisa atau akan merubah kenyataan itu untuk sepanjang sisa hidup yang harus ia jalani nanti. Ryukamine Ao. “Sesungguhnya aku bukanlah siapa pun di tanah yang sudah rusak ini,” ucapnya pelan seperti berbisik pada angin yang tengah berhembus. Pada angin yang ia titipkan pesan untuk siapa pun di alam semesta ini yang merasa Dirinya punya kuasa untuk segalanya. Punya kuasa untuk menentukan jatuhnya derita pada tiap manusia di dunia. Akihara menatap Ao sedikit khawatir. “Tuan Besar dan Nyonya Besar pasti sudah menunggu di ruang makan,” beritahunya. “Aku memang adalah Ao Ryukamine. Ao ryukamine sendiri adalah Gilbert. Dan Gilbert adalah Master. Lalu, siapa itu aku? Siapa itu Gilbert? Siapa itu Master? Jika Master bukanlah aku. Dan Gilbert sesungguhnya juga bukanlah diriku yang sedang berjalan dengan tubuh dan jiwa menyedihkan ini, menyusuri kegelapan malam yang tak berlisensi,” racaunya sambil terus langkahkan kaki. “Apa Anda baik-baik saja?” tanya Akihara khawatir melihat anak remaja di sisinya tampak mulai hilang arah akan banyak hal. Mulai dari tatapan sampai apa yang ia ucapkan di bibir kecil yang tampak pucat itu. Semua noda akan luka tak berjejak. Ao menenggak ludah. Ia sadar kalau hidup ini memang adalah sebuah pilihan. Tak akan ada jalan keluar lain untuk itu. Dan tentu bukan pilihan yang selalu mudah. Tak jarang pilihan yang muncul memiliki nilai sama hingga tak bisa semudah itu diputuskan. Ia harus siap dengan segala konsekuensi yang telah ia ambil. Telah ia putuskan dengan pikiran “matang”. Ia angkat kepalanya. Ia tegapkan langkah. “Kau pikir aku ini siapa?” tanya Ao sambil memicing ke arah Akihara yang hanya memasang wajah datar. Ia lepas kacamatanya yang berharga dan miliki arti besar dalam hidupnya itu dan ia selipkan ke kantong bagian dalam blazer. Seketika tatapan anak remaja yang tadi rapuh sebentar lagi akan lumpuh itu tampak berbeda. Suara yang ia keluarkan saat bicara berbeda. Menunjukkan dirinya yang berbeda. “Ao kun!” panggil wanita itu. Bersorak setelah sekian lama tak bertemu dengan putra yang paling ia sayang. Putra tunggal yang paling berharga. Pemuda dengan manik berwarna biru itu melonggarkan dasi untuk menduduki kursi yang berpasangan dengan yang tengah diduduki oleh sang wanita yang bernama Hiraki Ryukamine. Ia melihat ayahnya yang lahir dengan nama asli Friederich Henri Sammuel Willems dan memiliki nama Jepang Kazuki Ryukamine. Seorang pria berdarah campuran Perancis dan Jepang. “Lama tidak bertemu Papa, Mama,” balas Ao memberi salam dengan tatapan hormat. “Kami ingin mengajakmu tinggal bersama kami,” kata Friederich. Langsung ke pokok pembicaraan. Ia menganalisa jika tak segera dikatakan. Tujuan Ao pulang ke rumah malam ini akan melenceng jauh karena efek rindu istrinya. Ao terdiam sejenak. Lalu, berkata, “Aku mau tidur. Jangan diganggu.” Ia langsung meninggalkan meja makan. Menuju kamarnya. Menuju kepalsuan yang lebih besar lagi. Ao membenci semua ini. Tapi, Gilbert berbeda. Gilbert berbeda dengan seorang Ao Ryukamine. Ao berbeda dengan seorang Gilbert. Ao berbaring di kasurnya yang besar juga sangat nyaman. Kasur terbaik di dunia yang dipersembahkan oleh Friederich untuk putranya. Putra yang harus menderita selama 14 tahun karena keegoisannya. Ia harap semua itu bisa meringankan dosanya. Membuatnya… sedikit saja… pantas hidup lebih lama. “Sebisa mungkin emosiku harus stabil dan memikirkan yang terbaik. Hanya akulah yang paling tahu siapa yang harus mati selanjutnya. Bukan kalian. Bukan juga Tuhan,” ucap Ao seraya memandang plafon putih kamar. “Kau terlalu tergesa-gesa, Tuan Muda Ao.” Aku rasa tidak. Tapi, aku rasa juga iya. Entahlah yang mana yang benar atau salah sebenarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN