Bab 1. Mengganti Nama Calon Istri di Depan Penghulu.

888 Kata
Sultan dan keluarganya tiba di sebuah resort yang akan menjadi tempat pernikahannya. Sebuah tempat yang sengaja disewa seluruhnya untuk hari bersejarah dalam hidupnya. Sebagai cucu laki-laki pertama Pramu Atmadja, Sultan memang sudah dipersiapkan untuk menjadi penerus bisnis keluarga Atmadja. Pria itu dididik dengan keras oleh sang kakek agar bisa menjadi penerusnya. Dan saat ini, pria itu sudah berhasil mewujudkan keinginan sang kakek. Sultan sudah menjabat sebagai CEO sebuah perusahaan retail barang-barang mewah yang kini berkembang pesat. Dengan diapit kedua orang tuanya, Sultan berjalan dengan gagahnya—menggunakan pakaian adat jawa, menuju ke tempat ijab kabul akan dilakukan. Seorang wanita cantik dengan rambut disanggul dan kebaya putih panjang menjuntai sudah menunggunya dengan senyum cantik menghias wajahnya. Nabila Yahya, seorang model dan bintang iklan berusia 26 tahun. Karirnya sedang berada di atas. Berita pernikahannya dengan seorang cucu konglomerat ternama sekaligus CEO perusahaan besar menjadi perhatian banyak orang. Banyak stasiun televisi yang ingin meliput langsung acara pernikahan tersebut, namun sang CEO menolak dengan keras. Nabila berdiri. Wanita itu tersenyum menyambut kedatangan calon suaminya. Kedua orang tua Sultan menyalami orang tua Nadila, sebelum kemudian duduk di tempat yang sudah disediakan oleh pihak panitia. Sementara Sultan berjalan menghampiri calon istrinya. Pria itu membalas senyum Nabila sebelum duduk di bangku yang sudah dihias dengan kain dan pita-pita cantik, yang berada di sebelah Nabila. Kedua calon pengantin itu duduk bersebelahan. Di depan mereka papa Nabila yang akan menikahkan sang putri, serta seorang penghulu. Di samping kanan dan kiri adalah saksi pernikahan. “Baiklah, kita akan segera mulai. Untuk memastikan. Nama pengantin pria Sultan Adinata Atmadja bin Bagus Atmadja. Benar?” Suntan menjawab dengan anggukan kepala. “Lalu, nama calon pengantin perempuannya Nabila Yahya, binti Nugraha yahya, benar?” “Benar,” jawan Nabila sambil tersenyum. “Maaf Pak Penghulu, nama calon pengantin perempuannya bukan Nabila Yahya, tapi Nuka Kansa Cahyani.” “Apa?” Semua orang tercengang. Mereka yang berada satu meja dengan Sultan menatap bertanya pria tersebut. “Saya baru sadar kalau perempuan yang saya cintai adalah Kansa, bukan Nabila.” Sultan tersenyum. Pria tampan gagah itu menoleh ke arah seorang gadis berhijab yang duduk di deretan kursi tamu paling depan. Sementara calon istrinya—Nadila, yang duduk di samping pria tersebut nyaris pingsan. Kansa—panggilan dari Nuka Kansa Cahyani, mengerjap cepat. Wanita yang duduk di samping adik angkatnya itu memutar kepala ke kanan kiri. Terlihat begitu bingung. **** Dua jam sebelum acara ijab kabul. “Aku belum terlambat, kan?” Darius, salah satu sahabat Sultan berjalan cepat menghampiri Sultan yang sedang duduk dirias oleh seorang MUA. “Sorry banget. Pesawatnya delay.” Darius memberi alasan keterlambatannya. “Tidak masalah selama belum dimulai.” Sultan menjawab. “Dia salah satu saksi pernikahan,” ujar Sultan memberitahu sang MUA. “Aduh … perut gue malah sakit, nih, Tan. Perut gue suka gini kalau nervous. Bentar gue ke toilet dulu.” Darius tidak jadi duduk. Pria itu memutar kepala. “Toilet disebelah mana, ya?” “Ke sana, lurus saja trus belok kiri.” MUA yang sedang merias Sultan memberitahu sambil menunjuk arah yang harus Darius ambil. “Oke, thanks. Gue nitip tas dulu.” Darius meletakkan tasnya ke atas meja, lalu berderap cepat menuju ke arah toilet. “Memangnya dia belum menginap di sini, semalam?” tanya sang MUA. Kok wajahnya tidak asing, ya? Seperti pernah lihat di sini.” “Dia baru balik dari Australia.” Sultan menjawab. “Oh … mungkin cuma mirip kali ya, yang aku lihat kemarin.” Sultan menggulir bola mata ketika mendengar suara ponsel dari dalam tas sang teman. Karena merasa tidak punya urusan, Sultan membiarkan. Sayangnya, suara itu tak berhenti berbunyi hingga mengganggu orang-orang yang berada di tempat tersebut. Akhirnya Sultan berinisiatif untuk mengakhiri suara raungan yang tak henti-henti tersebut. Pria itu mengambil tas sang teman kemudian membukanya. Mengeluarkan benda penghubung. Melihat deretan nomor yang masih belum tersimpan dengan nama. Tanpa pikir panjang pria itu menekan tombol merah hingga raungan itu tak lagi terdengar. Sultan sudah akan mematikan power ponsel ketika satu notifikasi pesan masuk terlihat. {Maafkan aku, tapi kita harus mengakhiri semuanya] [Aku akan menikah dengan Sultan] Pop up pesan kedua dari deretan nomor asing, terbaca oleh Sultan. Membuat pria itu merasakan darahnya mengalir dengan cepat. Kepalanya seketika panas. Sulta meremas ponsel sebelum kemudian menekan pesan tersebut. Pria itu menekan keras katupan rahangnya begitu masuk ke room chat sang pengirim pesan dan pemilik ponsel. “Bajingan.” Sultan kemudian benar-benar mematikan power ponsel itu. Sang MUA yang tanpa sengaja melihat sekilas foto dan isi chat yang dibaca oleh Sultan, terdiam. “Jangn beritahu siapapun.” Sultan bersuara. “Cepat selesaikan. Aku harus segera bersiap ke tempat ijab kabul.” **** “Kok bisa Kansa? Apa maksudnya, Nak Sultan?” Papa Nabila bertanya. Raut wajah pria itu terlihat marah. “Maafkan saya, Om. Saya tidak ingin menghabiskan umur saya dengan wanita yang ternyata tidak saya cintai. Ternyata yang saya cintai adalah Kansa. Jadi, saya akan menikah dengan Kansa.” “Apa-apaan kamu, Sultan? Jangan main-main. Semua orang melihat kita.” Papa Sultan ikut bersuara. “Iya, Beb. Jangan bercanda. Jantungku mau copot.” Nabila meraih sebelah tangan Sultan. Wajah wania itu sudah pucat. Keringat dingin mulai muncul membasahi telapak tangan dan juga keningnya. Sayangnya Nabila harus kecewa saat Sultan menarik lepas tangannya. “Maaf, Nabila. Aku tidak sedang bercanda. Aku akan menikahi adikmu. Kansa. Aku mencintainya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN