Bab 2. Mendadak Jadi pengantin.

1268 Kata
“Maaf, Nabila. Aku tidak sedang bercanda. Aku akan menikahi adikmu. Kansa. Aku mencintainya.” Nabila tidak bisa menahan rasa terkejut, kecewa, juga sakit hati hingga wanita itu jatuh pingsan. Beruntung posisinya sedang duduk, hingga ia tidak harus terjatuh ke lantai. Suasana seketika kacau. Papa Nabila dengan cepat beranjak berdiri berniat untuk menolong sang putri, namun seseorang sudah lebih dulu bergerak mengangkat tubuh Nabila yang pingsan di kursi. Darius menatap tajam Sultan yang hanya menoleh, melihat Nabila tanpa membantu. Pria itu menekan katupan rahangnya, sebelum memutar tubuh lalu berjalan cepat meninggalkan tempat ijab kabul. “Kamu benar-benar keterlaluan, Sultan. Kamu akan mendapat balasannya,” marah papa Nabila yang hanya ditanggapi Sultan dengan dengkusan. Papa Nabila bergegas meninggalkan tempat tersebut. “Ayo, Ma. Tidak ada gunanya kita di sini. Keluarga kita sudah dipermalukan.” Pria itu menarik tangan istrinya. “Pelan-pelan, Pa.” Mama Nabila kesulitan berjalan dengan kain kebaya yang membelit tubuhnya. “Kurang ajar mereka," murka papa Nabila. Sakit hatinya putrinya dipermalukan di depan banyak orang. “Kamu apa-apan, Sultan? Jangan membuat malu keluarga.” Giliran papa Sultan yang marah. “Maafkan aku, Pa. Tapi hidupku lebih penting. Aku tidak mau menyesal seumur hidup dengan menikahi Nabila. Sementara yang aku cintai adalah Kansa.” “Kansa? Siapa itu Kansa? Bukankah selama ini kamu pacaran dengan Nabila? Ada apa ini sebenarnya?” Sultan memutar kepala ke arah Kansa duduk. Pria itu menekan katupan rahangnya. “Kita akan bicara lagi nanti setelah acara selesai, Pa. Sekarang aku harus menjemput mempelaiku.” “Apa? Jangan gila kamu, Sultan.” Papa Sultan menahan sebelah tangan sang putra. Menahan anaknya yang sudah hendak pergi. “Biarkan saja. Pernikahan harus tetap berjalan. Kamu lihat para tamu undangan itu?” Suara Pramu Atmadja membuat Bagus Atmadja dengan terpaksa melepas cekalan tangan pada sang putra. **** “Ada apa ini, Kansa? Kok jadi begini?” tanya Ibu Kansa bingung melihat kekacauan yang terjadi. Wanita yang sudah lebih dari 15 tahun bekerja menjadi pembantu di rumah keluarga Nabila itu beranjak dari tempat duduk. “Ayo, kita pergi dari sini,” ajak ibu Nabila. “Dasar anak babu tidak tahu diri,” hina keluarga Nabila. “Iya. Pagar makan tanaman. Diperlakukan baik, ternyata menikam dari belakang.” “Orang miskin ya begitu. Iri melihat Bila akan menikah dengan pria kaya, trus dia nekat menggodanya.” “Dasar busuk! Kamu lupa siapa yang mengangkat derajatmu yang hanya anak babu itu, hah?” Kansa diam. Wanita yang baru berusia 21 tahun tersebut meremas kepalan telapak tangan di atas pangkuannya. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa tiba-tiba pria itu menyebut namanya? Kansa tidak mengenal Sultan. Dia beberapa kali melihat pria itu datang ke rumah untuk menemui Nabila, tapi Kansa berani bersumpah—dia tidak pernah satu kata pun bicara dengan pria tersebut. “Kansa, sudah … ayo kita pergi.” Sang ibu menarik sebelah tangan putrinya yang masih bertahan duduk di kursinya. Sementara adik Nabila yang semula dipangku Kansa, sudah diambil oleh keluarga Nabila. Kansa sudah akan beranjak berdiri ketika melihat satu lagi uluran tangan di depannya. Sontak wanita muda itu mengangkat kepala. Sepasang matanya membulat melihat siapa yang sudah berdiri di depannya. “Ayo, penghulu sudah menunggu kita.” “Maaf, Nak Sultan. Tapi—” “Saya yang harus minta maaf karena membuat Ibu terkejut. Saya akan menjelaskan semuanya nanti. Untuk sekarang, biarkan kami menikah dulu. Semua orang menunggu.” Kansa meremas semakin kuat telapak tangannya. “Ayo, Kansa.” Kansa tidak langsung menjawab. Wanita itu diam sambil menurunkan pandangan matanya. “Apa kamu akan membuat keluarga Atmadja malu karena cucu tertuanya ditolak oleh anak seorang pembantu?” Dengan cepat Kansa mengangkat kembali kepalanya. Pandangan matanya langsung bertemu dengan sepasang mata tajam Sultan, membuat jantungnya berdegup kencang. “Apapun statusmu, saat ini kamu mewakili keluarga Yahya. Mempermalukan keluarga Atmadja bukan keputusan yang bijak, Kansa. Kamu tahu apa yang bisa kami lakukan pada usaha keluarga Yahya. Jadi, Ayo.” Sultan mengedik kepala ke belakang. Disertai suara bisik-bisik di sekitarnya, akhirnya Kansa beranjak berdiri. Wanita itu membiarkan tangan Sultan menggantung. Kansa berjalan meninggalkan sang ibu. “Kansa … Nak ….” Kansa tidak menjawab panggilan ibunya. Kansa melanjutkan ayunan kaki menuju tempat ijab kabul. Tanpa menatap ke arah manapun selain tempat tujuannya, Kansa kemudian duduk di kursi yang semula diduduki oleh kakak angkatnya. Wanita itu menutup rapat sepasang bibirnya. Kedua orang tua Sultan menatap tak suka perempuan yang baru saja duduk menggantikan calon menantu yang sebenarnya. Sementara Pramu Atmadja yang duduk tak jauh dari meja ijab kabul itu menatap lekat sosok gadis muda dengan pakaian tertutup yang menyapu lantai. Sultan kembali ke tempat duduknya. Begitu pula dengan kedua orang tua Sultan. “Jadi, ini calon pengantinnya?” tanya penghulu seraya menggulir bola mata ke arah Kansa. “Benar. Namanya Nuka Kansa Cahyani.” Sultan menjawab. Sang penghulu menggerakkan kepala turun naik, kemudian mencatat nama Kansa. “Lalu, wali nikahnya?” “Saya yang akan menjadi walinya.” Kansa yang semula menunduk, akhirnya mengangkat kepala. Sepasang bibirnya masih tertutup rapat. Bola mata wanita itu bergerak memperhatikan sosok pria tua dengan penampilan sederhana yang kini berjalan ke arah tempat acara ijab kabul. Mama Sultan mendesah melihat penampilan pria yang akan menjadi wali nikah Kansa. “Hubungan anda dengan calon pengantin?” tanya sang penghulu begitu sosok pria sederhana itu duduk di depan calon pengantin pria. “Saya pakdenya Kansa. Ayahnya sudah meninggal saat dia masih kecil.” “Benar begitu, Kansa?” Sang penghulu memastikan. Melihat anggukan kepala gadis yang ditanya, pria itu kemudian mulai menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ijab kabul—sebelum acara sakral itu dimulai. Keluarga besar Nabila bergerak meninggalkan tempat acara. Tersisa beberapa puluh orang yang masih bertahan di tempat tersebut—menyaksikan pernikahan sang cucu konglomerat Atmadja, dengan pengantin dadakannya. “Saya terima nikah dan kawinnya Nuka Kansa Cahyani binti almarhum Amir Cahyono dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Sultan mengucapkannya dalam satu tarikan napas, tanpa terbata dan tanpa tersendat, meskipun dia baru mengetahui nama lengkap Kansa sebelum mendatangi tempat ijab kabul, dan baru saja mendengar nama ayah perempuan tersebut. “Bagaimana, Saksi? Sah?” “Sahh!” “Selamat. Kalian berdua sekarang sudah sah menjadi suami istri.” Sang penghulu tersenyum. “Silahkan dipasangkan cincin ke jari masing-masing.” Adik Sultan berderap menghampiri sang kakak, lalu memberikan kotak berisi dua cincin nikah yang sudah disiapkan oleh Sultan dan Nabila. Sultan membuka kotak tersebut lalu mengeluarkan cincin dengan ukuran lingkaran yang lebih kecil. Pria itu menoleh ke samping. “Tangan kananmu,” ucapnya meminta tangan kanan Kansa yang masih tersembunyi di bawah meja. Kansa yang sudah menoleh, menggulir bola mata hingga untuk kali kedua ia bertemu tatap dengan mata tajam Sultan. Masih bertahan menutup mulut, wanita itu hanya mengangkat tangan kanannya ke depan Sultan. Sultan menatap Kansa dengan kernyit di dahi. Pria itu kemudian meraih tangan Kansa lalu memasukkan cincin yang kebesaran di jari manis Kansa. Setelah itu Kansa diminta untuk gantian memasangkan cincin ke jari manis Sultan. Kansa mengambil cincin di dalam kotak, lalu memasukkan ke jari manis Sultan tanpa memperlihatkan senyum, atau pun mengatakan apapun. Wanita itu menelan saliva ketika pembawa acara memintanya untuk mencium punggung tangan Sultan. Sekalipun enggan, akhirnya Kansa mencium punggung tangan Sultan. “Silahkan gantian pengantin laki-laki mencium kening Kansa yang sekarang sudah sah berstatus sebagai istri.” Mendengar perintah tersebut, Sultan mendekatkan bibir ke kepala Kansa, lalu menempelkan ke kening wanita itu. “Selamat datang di keluarga Atmadja. Sekarang waktumu menggantikan peran kakak angkatmu.” Satu sudut bibir Sultan terangkat sebelum pria itu menjauhkan kepala mereka. ‘Nerakamu dimulai dari sekarang, Kansa. Jangan salahkan aku, kamu harus menanggung perbuatan kakak angkatmu,’ ucap Sultan dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN