Bab 3. Penawaran.

984 Kata
Ijab kabul sudah selesai. Para tamu undangan juga sudah menikmati sajian makanan serta hiburan yang memang sudah direncanakan sedari awal. Kansa dan Sultan pun sudah menjalani semua tradisi adat Jawa seperti yang dilakukan para pengantin baru pada umumnya. Mereka berbagi suapan, saling lempar sirih, berebut ayam bakar utuh, menginjak telur mentah dan yang lainnya. Setelah semua selesai dan para tamu undangan meninggalkan tempat akad nikah untuk kembali ke penginapan mereka masing-masing, keluarga Sultan dan Nabila berkumpul di sebuah ruangan yang masih berada di area resort. Masih ada rangkaian acara lain setelah acara akad, seperti makan malam bersama dan juga resepsi yang akan di adakan di bagian lain resort yang sama. Selain para orang tua keluar Sultan dan Nabila, tak ketinggalan Kansa, ibu dan pakdenya juga turut berada di dalam ruangan yang sama. Meskipun tidak di tempat duduk yang sama. Keluarga Sultan dan Nabila duduk di sebuah sofa besar, sementara Kansa bersama dua anggota keluarganya duduk di kursi di pojokan ruangan. “Sekarang katakan, kenapa kamu mempermalukan kami dan menyakiti hari putri kami?” Papa Nabila memulai pembicaraan. Putrinya itu sampai pingsan. Bahkan sampai sekarang belum berhenti menangis setelah sadar dan mengingat apa yang terjadi. Tarikan napas dalam Sultan lakukan. Dia tidak ingin membuat Nabila dan keluarganya senang. Balas dendamnya belum selesai. Pria itu membasahi bibir dengan lidah. Sambil duduk santai menyandar, Sultan berkata, “Seperti yang tadi saya sampaikan. Saya baru menyadari bahwa ternyata perempuan yang saya cintai adalah Kansa.” “Omong kosong. Dia anak pembantu. Kamu membandingkan putri kami dengan anak pembantu?” “Apa yang salah dengan anak pembantu? Kansa tidak bisa memilih lahir dari keluarga seperti apa. Sama seperti kita semua. Jadi tolong jangan merendahkan pekerjaan pembantu, Om. Mereka yang bekerja membuat rumah kita bersih. Membuat perut kita terisi, membuat pakaian kita bersih, rapi.” Di pojok ruangan, Kansa menggulir bola mata begitu mendengar kalimat panjang Sultan yang terdengar sedang membelanya. Wanita muda itu menatap pria yang kini berstatus sebagai suaminya. Papa Nabila menekan-nekan katupan rahangnya. Ekspresi wajahnya jelas menggambarkan kemarahan. “Kamu tidak bisa mempermalukan kami seperti ini, Sultan. Kalau memang kamu lebih mencintai anak pembantu itu dibanding putri kami yang jelas memiliki bibit bebet bobot unggul—silahkan kamu nikahi dia, tapi, jadikan dia yang kedua. Nabila tetap yang pertama." Sultan menahan dengkusan. Sepasang mata pria itu mengecil. Satu sudut bibirnya berkedut. “Kalau mau, Nabila yang jadi kedua. Bagaimana?” “Apa? Kamu benar-benar keterlaluan.” Papa Nabila tidak habis pikir. Putrinya yang dikagumi banyak laki-laki di luar sana, kini ditolak mentah-mentah. Dikalahkan oleh seorang anak pembantu. Pria itu menekan keras katupan rahangnya. Menahan sekuat tenaga emosi yang sudah meledak-ledak. “Nak Sultan, apa kurangnya Nabila? Kenapa kamu sekejam ini pada putri kami? Mana mungkin Nabila jadi yang ke dua? Kami sebagai orang tua merasa tersinggung.” “Maaf, Tante. Tapi saya tidak bisa menyakiti istri saya.” Papa dan mama Nabila menatap penuh kemarahan pria yang seharusnya menjadi anak menantu mereka. “Saya hanya bisa menjanjikan itu. Kalau untuk menjadikan Nabila yang pertama dan Kansa yang kedua, maaf … saya tidak bisa.” “Sultan, coba kamu pikirkan baik-baik. Mama yakin ada yang salah. Selama ini kamu tidak pernah menyebut … siapa itu … Kansas.” “Kansa, Ma.” Sultan mengoreksi. “Ya itu. Kamu bilang kamu mencintai Nabila, makanya kamu ingin menikahinya. Tidak mungkin tiba-tiba kamu berubah dalam satu malam.” Mama Sultan menimpali. Dia pun tidak suka memiliki menantu anak seorang pembantu. Papa Sultan menghentak keras napasnya. Pria itu memutar kepala, lalu menatap tajam sosok perempuan yang duduk di pojok ruangan. Sementara yang ditatap langsung menurunkan kepala. Menunduk menatap lantai. “Selama ini aku hanya terus menyangkal perasaanku pada Kansa. Ya, seperti kalian … karena dia hanya anak seorang pembantu. Tapi pada akhirnya aku tidak bisa menahan perasaanku. Aku memilih mengikuti perasaanku. Aku benar-benar minta maaf karena harus mengecewakan kalian.” “Kamu benar-benar tidak akan berubah pikiran? Kamu lebih memilih anak pembantu itu dibanding putri kami?” Sultan tersenyum tipis sambil mengangkat tangan kanannya. Memperlihatkan benda yang melingkari jari manisnya. “Aku sudah menikahi Kansa. Dia sudah sah menjadi istriku.” Papa Nabila menggeram. “Aku tidak akan membiarkan kalian berpesta di atas kesakitan putriku. Tidak boleh ada resepsi. Semua orang akan membicarakan Nabila. Dia akan dipermalukan oleh semua orang di seluruh negeri.” “Aku—” Kalimat Sultan terputus begitu suara kakeknya terdengar. “Benar kata pak Nugraha, Sultan. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan. Menikahi perempuan yang kamu cintai. Kamu tidak bisa memperlihatkan Kansa pada semua orang. Dampaknya terlalu besar kalau kamu melakukannya. Bukan hanya untuk keluarga Nabila, tapi juga untuk bisnis keluarga kita.” Begitu Pramu Atmadja bicara, Sultan tidak bisa lagi melawan. Dia paham karakter kakeknya. Tidak ada gunanya melawan seorang Pramu Atmadja. “Sekarang bawa istrimu. Kita pulang sekarang. Tidak ada pesta, tidak ada resepsi.” Perintah sudah dibuat. Semua orang diam dan hanya bisa patuh. Pria yang sudah berusia lebih dari 70 tahun itu kemudian menoleh ke arah pojok ruangan. “Apa yang akan kamu lakukan dengan keluarga istrimu?” Pramu Atmadja bertanya pada sang cucu, sementara sepasang matanya menatap tiga orang yang duduk di pojok ruangan. “Keluarga istriku berarti keluargaku sekarang. Aku akan membawa mereka bersamaku.” Sultan menjawab. Pria itu ikut menatap tiga orang di pojokan. Tarikan napas panjang pria itu lakukan. “Carikan mereka rumah. Mereka tidak bisa tinggal seatap dengan kita.” Marita—mama Sultan menolak tinggal satu atap dengan besannya. Apa kata teman-teman sosialitanya nanti, ketika mereka mengetahui besannya adalah seorang pembantu. Marita menatap kesal sang putra. Bisa-bisanya sang putra memilih menikahi anak pembantu dibanding seorang model dan bintang iklan. Apa yang dilihat oleh putranya itu? Marita menahan rasa kesalnya. “Mereka tidak akan kemana-mana. Mereka harus tetap di rumah kami. Menjadi pembantu dan tukang kebun di rumah kami. Seumur hidup mereka.” Mama Nabila bersuara. Dia tidak akan membiarkan orang-orang yang sudah menyakiti putrinya hidup bahagia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN