Part 9 Keguguran

1080 Kata
"Assalamu'alaikum," sapaku. Pria itu menoleh dan tersenyum. "Wa'alaikumsalam." "Rupanya bos muda yang akan melayaniku," ujarnya. "Mas, bisa aja. Oh ya, mau pesan apa?" "Mau pesan 250 kotak kue untuk acara di rumah Tanteku." "Yang isi berapa Mas? Tiga atau empat. Misalnya satu kotak isi tiga kue basah dan satu camilan. Atau dua kue basah dan satu camilan." "Isi empat saja." "Kuenya apa saja. Mas, bisa masuk ke dalam untuk milih." "Apa saja, kamu yang pilihkan. Ini untuk tanggal empat sore. Jadi siang aja ngantarnya." "Tantenya, Mas, enggak request minta kue apa gitu?" tanyaku sambil mencatat tanggal pengantaran. "Enggak. Soalnya ini aku yang beliin untuk beliau. Tadi cuman ku kasih tahu kalau kuenya aku yang ngurus." "Oh, gitu. Jadi apa saja mau, ya?" Bre mengangguk. Kemudian mengeluarkan dompet dan bertanya total keseluruhan. Pria ini sibuk menungguku yang sedang menghitung. "Semuanya 1.875.000, Mas." "Oke, aku bayar lunas." Dia memberikan uang satu juta sembilan ratus ribu. "Yang dua puluh lima ribu untuk ongkir," katanya. "Kami enggak pakai ongkir kalau pesan dalam jumlah besar gini, Mas." "Enggak apa-apa." "Terima kasih kalau gitu. Jadi dua hari lagi kami antar habis zhuhur, ya." "Oke." Bre mengembalikan dompet di saku celananya. "Kamu pindah ke sini, ya. Sudah tiga kali ini, aku melihatmu di toko." Aku mengangguk. "Semua pindah ke sini." "Hmm, ya," jawabku gugup. Bre tersenyum meski terlihat tidak percaya. Pandangan matanya penuh simpati padaku. Kemudian meraih helmet di bangku sebelahnya, lalu pamitan. Sebentar kemudian motornya melaju meninggalkan toko. Beginilah hari-hariku selanjutnya. Sibuk di toko Ibu dan mengurus rumah. Syifa sendiri selalu mengekori neneknya kalau pergi belanja. Hatiku terhibur, meski rasa sesak tiba-tiba terasa jika aku mengingat semuanya. Rasanya butuh waktu lama untuk memulihkan kondisi batin ini. Apalagi Mas Ilham masih sering datang mengunjungi. Belum lagi Mama mertua yang sering menelepon untuk menanyakan kabar. Seperti sore itu, dia datang untuk mengajak aku dan Syifa ke acara di kantornya. Aku tidak bersedia. Sebab aku sudah memilih menjauh. Sudah cukup waktu yang kuberikan dalam diamku, agar Mas Ilham berubah dengan kesadarannya. Masa-masa sebagai pasangan baru yang ingin kunikmati penuh cinta, hanya impian saja. Dia membangun harapan yang berakhir dalam kesunyian. * * * Baru jam sembilan pagi saat aku sampai di rumah Miya. Tita berlari ke luar menjemputku. "Tante, mana Syifa? Kok, enggak ikut?" tanya bocah kecil itu tampak kecewa. "Syifa ikut neneknya. Jadi enggak ikut ke sini," jawabku sambil memberinya satu paper bag berisi roti cokelat dan brownis. "Terima kasih, Tante." Setelah menjawab, Tita berlari ke dalam. "Memangnya Ibu ke mana?" tanya Miya setelah mengajakku masuk dan duduk di karpet ruang tamu. "Ibu, Budheku, dan seluruh karyawan toko pergi liburan. Lusa baru pulang. Tahun kemarin mereka kan enggak liburan karena enggak ada waktu luang." "Kok, kamu enggak ikut?" "Aku enggak enak badan sejak kemarin. Pengen istirahat di rumah saja, tapi malah suntuk. Makanya aku meneleponmu dan ke sini." "Iya, kamu pucet banget. Sudah periksa ke dokter apa belum?" Aku menggeleng. "Belum, aku sudah minum obat tadi. Paling aku kecapekan aja. Habisnya seminggu kemarin banyak pesanan." "Sebentar aku buatin teh panas." Miya berlalu ke belakang. Aku menyandarkan punggung ke sofa. Miya ini seperti aku dulu, berdua dengan anak saja saat suami kerja. Ini masih hari Jum'at, Mas Malik, suaminya Miya masih kerja dan Tita libur sekolah. Sama seperti Syifa, anak Tadika hanya sekolah dari hari Senin sampai Kamis saja. "Bagaimana urusanmu dengan Mas Ilham?" tanya Miya sambil meletakkan segelas teh hangat di meja. "Sepertinya dia enggak mengurus surat cerai kami. Nanti saja aku urus sendiri." "Dia menyesal tuh, Vi." "Iya, menyesal setelah kesabaranku habis." "Coba kasih kesempatan sekali lagi." "Aku hanya takut kalau dia sudah pernah tidur dengan perempuan itu." "Bicarakan baik-baik. Sekali lagi saja." Aku tersenyum getir. "Jika kutanya apa mungkin Mas Ilham jujur. Enggak mungkin, 'kan? Aku hanya terbayang kisah ayahku yang telah mengkhianati ibuku dan menghamili wanita simpanannya. Aku enggak bisa terima kalau Mas Ilham dan perempuan itu sudah pernah ... sudahlah, aku enggak sanggup membayangkan." Miya menenangkanku dengan pendapat-pendapatnya. Aku hanya mendengarkan karena kurasakan tubuhku makin terasa lemas dan gemetar. "Aku ke kamar mandi dulu," pamitku pada Miya. Saat berdiri, aku merasakan ada yang mengalir dari sela-sela paha. Ku singkap gamis yang ku pakai. Aku dan Miya terkejut saat melihat darah kental di kakiku. "Vi, kamu kenapa ini?" tanya Miya panik. Aku merasakan kepala dan perut bagian bawah sakit bukan main. Sesaat pandanganku berkunang-kunang dan aku limbung tidak ingat apa-apa lagi. Saat membuka mata aku sudah berada di tempat yang asing dan serba putih. "Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Vi," ucap Miya tampak lega. "Aku di mana ini?" "Di klinik. Kamu keguguran. Janinmu sudah berusia delapan Minggu." Aku memejam. Aku hamil? "Kenapa kamu enggak bilang padaku kalau lagi hamil?" "Aku sendiri enggak tahu kalau hamil." "Apa kamu enggak nyadar kalau enggak datang bulan?" "Aku sudah lupa tanggal berapa terakhir haid." "Berarti janin itu sudah tumbuh saat kamu belum pulang ke rumah Ibumu. Usianya sudah dua bulan, lho." Perasaanku berkecamuk tidak karuan seketika itu. Entah perasaan apa. "Mas Ilham dikasih tahu, Vi." Aku menggeleng pelan. Buat apa di kasih tahu. Toh, janin itu sudah gugur. Belum tentu dia akan suka kalau tahu. Daripada membuat kecewa lebih baik diam saja. Seorang dokter wanita dan seorang perawat masuk. Mereka menyapaku ramah. Setelah memeriksa kondisiku, dokter memberikan penjelasan. Dikarenakan seluruh janin sudah luruh, dokter tidak mengambil tindakan kuretase. Beliau bilang faktor utama aku keguguran adalah capek yang berlebihan. Ya, itu benar. Aku memang kecapekan. Capek lahir dan batin. Dokter memberi obat untuk membersihkan sisa-sisa darah di rahim. Biar bisa luruh semua secara alami. Aku belum diizinkan pulang saat itu, karena kondisiku yang masih lemah. "Ibu dikasih tahu saja, Vi," kata Miya setelah dokter dan perawat pergi. "Jangan, Miya. Nanti beliau kepikiran. Biarlah mereka bersenang-senang. Toh, aku tinggal pemulihan. Jangan kasih tahu sepupuku, dia juga baru melahirkan." Miya menggenggam tanganku. "Kamu pulang saja, nanti Tita mencarimu dan Mas Malik sudah mau pulang kerja ini." "Kamu sendirian nanti." "Enggak apa-apa. Kan ada suster. Kasihan Tita nanti." "Tadi aku titipkan dia ke tetangga sebelah rumah." "Pulanglah, aku sudah lebih baik ini." Miya tampak bingung, antara harus pulang dan tidak tega meninggalkanku sendirian. Setelah kupaksa akhirnya dia pulang dan menitipkan aku pada seorang suster. Tinggallah aku sendiri di kamar yang serba putih ini. Mengenang perjalanan hidup yang tidak seindah ekspetasi saat aku masih remaja dulu. Pengaruh obat penahan nyeri dan kekalutan pikiran membuatku lelah, terlelap beberapa saat. Entah berapa lama aku tertidur, saat membuka mata hari sudah sore. Dan aku terkejut saat melihat sosok yang menatap sendu sambil menggenggam tangan kiriku. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN