Dua minggu ini aku sudah bisa beradaptasi dengan keadaan. Setelah terpuruk tanpa daya lebih dari seminggu setelah kepulanganku ke rumah Ibu. Syifa tidak begitu terpengaruh, di sini dia memiliki banyak teman bermain.
Aku mulai beraktivitas di toko dan merekap pesanan. Alhamdulillah, toko roti dan kue yang dirintis Ibu sejak aku umur sepuluh tahun berkembang sangat pesat.
Ini hiburanku yang lain, selain mengurus Syifa.
"Vi, ada telepon dari Ilham," kata Ibu sambil mengantar ponselku yang tertinggal di depan TV.
Setelah Ibu keluar, kuletakkan ponsel di nakas. Syifa sudah tidur, biasanya Syifa yang menerima panggilan dari papanya.
Ponsel kembali bergetar untuk yang ketiga kalinya, tetap kubiarkan. Aku belum sanggup bicara apa pun dengan Mas Ilham.
Dalamnya cinta yang bersemayam membuatku tak berdaya hingga detik ini. Karena rasa yang teramat agung itu, membuatku bertahan dan rela tersakiti. Namun kini, aku tidak sanggup lagi bertahan, setelah ada dusta dalam hubungan kami.
Kucium kening Syifa setelah aku menyelimuti tubuhnya.
Perlahan aku bangkit dan melangkah ke kamar ibu.
Inilah yang kulakukan tiap malam jika ibu tidak kelelahan. Aku akan menyelinap sejenak ke kamarnya, hanya untuk tidur sebentar di sebelah atau di pangkuannya. Sambil bercerita mengungkapkan isi hati. Kadang juga bercanda mengenang zaman kecilku dulu.
Kalau aku ketiduran, beliau akan membangunkan. "Bangun, Vi. Ayo, pindah ke kamarmu. Kasihan kalau Syifa terbangun dan mencarimu nanti. Di sini dia tidak terbiasa tidur sendiri."
Setelah itu aku akan kembali ke kamar.
"Bu, ternyata kita bernasib sama. Dikhianati oleh pria yang kita cintai. Pria di mana-mana sama, habis manis sepah di buang," kataku sambil memandang Ibu yang berbaring di sebelah.
Ibu tersenyum. "Ini hanya kebetulan. Jangan salahkan takdir. Kalian belum berpisah seperti ibu dan ayahmu dulu."
"Iya, memang belum. Semua kan masih diproses."
"Kesalahan Ilham tidak sebesar kesalahan ayahmu yang lupa pulang. Bukannya Ibu tidak sedih, Vi. Kondisi rumah tanggamu saat ini seperti mengoyak luka lama Ibu. Tapi jangan terlalu meratapi nasib. Ayo, bangkit. Syifa butuh sosok Mama yang tangguh."
Aku mengangguk.
"Mas Ilham juga sering keluar kota beberapa hari dengan perempuan itu. Hanya saja aku enggak tahu apa yang mereka lakukan di luar sana."
Air mataku kembali menetes. Membayangkan hal terburuk yang mungkin sudah terjadi di antara mereka.
Membayangkan saat raga yang memelukku itu juga memberikan hangatnya pada tubuh perempuan lain.
Ibu mengusap lembut rambutku.
"Jangan sakiti dirimu dengan hal-hal yang kamu tidak tahu, Nduk. Pasrahkan pada Gusti Allah. Dia pemilik skenario terbaik di muka bumi ini. Bahagiakan hatimu dan jaga Syifa baik-baik."
Ibu berkata benar. Seharusnya aku tidak lagi memikirkan hal-hal yang ingin aku tinggalkan. Aku harus bisa menjaga Syifa dan menjadi Mama yang hebat untuknya. Seperti Ibu yang berhasil mendidikku tanpa seorang suami di sampingnya.
Mereka berpisah saat aku menginjak kelas tiga SMP. Dan memutuskan untuk tidak menikah lagi demi mengurusku dan mengembangkan toko roti dan kue yang telah dirintisnya.
Kenapa aku bertahan dengan Mas Ilham hampir empat tahun? Karena aku mencontoh Ibuku yang sempat bertahan dengan perselingkuhan ayah hampir lima tahun. Setiap menyesal dan di maafkan, tidak lama ayah akan mengulang kesalahan yang sama. Selingkuh dengan rekan kerjanya. Terakhir kali Ibu tidak bisa memaafkan ketika perempuan itu mengandung anak ayah.
Sekarang aku mengalami hal yang sama. Bisa empat tahun bertahan karena aku mencontoh bagaimana ibuku dulu mempertahankan pernikahan.
"Bu, biar Syifa pindah sekolah dekat sini saja. Biar enggak kejauhan. Kasihan Pak Nardi tiap hari menjemputnya. Kalau nganter enggak masalah karena sekalian nganterin roti dan kue ke langganan Ibu."
"Jangan dulu, Nduk. Nanti Syifa mesti adaptasi lagi kalau pindah sekolah. Kasihan dia. Pak Nardi juga enggak keberatan untuk mengantar jemput. Ibu tambahin juga gajinya nanti."
"Aku jadi ngrepotin, Ibu."
"Kamu ini bicara apa," jawab Ibu sambil tersenyum. Senyum teduh itu yang mendamaikan hatiku.
Kami terdiam sesaat dan sama-sama termenung.
Bicara soal asmara, Mas Ilham pria pertama yang menjadi kekasih dan suamiku. Aku tidak punya kisah cinta sebelumnya. Bukan tidak ada yang mendekati, hanya karena aku terlalu berhati-hati agar tidak salah memilih pria seperti ayah.
Perceraian orang tuaku menyebabkan ketakutan yang berlebihan untukku membina sebuah hubungan.
Hingga pertemuanku dengan Mas Ilham di kantor tempatku magang, menimbulkan denyar yang berbeda. Perasaan yang aku tidak bisa lari dari pesonanya. Dia pria matang, tampan, dengan pesona fisik yang memikat. Namun kenyataannya aku tetap saja terluka oleh kecurangannya.
Sementara Bre yang pernah ku tolak, aku mengenalnya sejak SMA dan digilai banyak perempuan, nyatanya masih membujang hingga sekarang. Tapi aku tidak tahu alasannya kenapa. Bisa jadi ia pernah patah hati sepertiku. Entah dengan siapa.
"Semarah apa pun kamu sama Ilham. Jangan pernah meluapkan di depan anak. Kamu ingat dulu, kan? Waktu Ibu membanting pintu saat bertengkar dengan ayahmu, Ibu tidak tahu kalau kamu sudah di depan pintu setelah pulang sekolah, lalu kamu berlari ke rumah si Mbah dan ketakutan di sana sampai berhari-hari."
Aku mengangguk. Aku ingat waktu itu masih kelas enam SD.
"Itu pelajaran berharga, Vi. Jangan sampai Syifa mengalami hal yang sama. Kamu harus tangguh, meski hatimu hancur. Kamu harus jadi wanita yang bermartabat."
Aku dan Ibu saling pandang, kemudian kugeser tubuhku dan memeluknya.
* * *
"Kamu repot enggak ini? Jadi enggak enak kalau ganggu," kata Miya setelah kami ngobrol lama di teras rumah.
Miya sengaja mampir untuk menemuiku, setelah sambang ke rumah orang tuanya yang lokasinya hanya berjarak satu kilo dari rumah Ibu.
"Enggak, nyantai aja."
"Sekitar dua bulan yang lalu aku bertemu, Bre. Kami sempat ngobrol lama."
"Ketemu di mana?"
"Pas aku nemenin suamiku yang lagi nyuciin mobil di car wash. Tahu enggak dia cerita apa?"
"Memangnya cerita apa?"
"Karena kamu dan Ilham sudah berjarak kayak gini, aku berani ngasih tahu. Bre dua kali melihat suamimu bersama perempuan itu di mall dan makan di sebuah restoran."
Aku tersenyum kecut.
"Pertama kali bertemu, Bre pikir mereka hanya rekan kerja biasa. Setelah itu bertemu lagi dan mereka terlihat mesra. Kejadian itu sudah beberapa bulan yang lalu. Bre sendiri cerita padaku baru seminggu ini.
Aku menarik napas panjang, menenangkan hati yang tidak karuan.
Setelah itu aku menunduk, ingat saat dua kali bertemu Bre di jalan dan dia tampak curiga ketika melihatku. Rupanya dia tahu sesuatu.
"Vi, yang sabar," ucap Miya sambil mengusap punggungku.
Aku tersenyum. "Kalau enggak sabar, aku sekarang sudah menghuni rumah sakit jiwa, Miya."
"Kamu wanita hebat. Kamu berhak bahagia."
"Terima kasih sudah mensupportku selama ini. Sebelum ibu tahu masalahku, kamu telah lebih dulu tahu."
Kami saling pandang dan tersenyum. Lantas Miya pamitan pulang dengan mengendarai motor maticnya. Dia tidak berpamitan sama Ibu karena beliau sedang belanja keluar.
"Mbak, ada Mas yang mau pesan kue," kata Sarti, salah satu karyawan yang jaga toko. Sesaat setelah Miya pamitan.
"Oh, ya? Siapa?" tanyaku penasaran.
"Orangnya masih di depan."
Aku segera berdiri, mengambil nota catatan, dan melangkah keluar. Di depan Toko ada Bre yang masih berseragam guru, duduk di kursi biasa digunakan oleh para pembeli menunggu pesanan atau sengaja makan kue dan minum di sana.