Part 14 Dua Pria

1111 Kata
Dua pria itu saling memandang tajam. Sikap mereka tidak seperti rekan kerja, melainkan seperti dua orang yang saling bermusuhan. Entah karena ada aku di antara mereka atau mengenai pekerjaan. Mas Ilham mendekat dan berdiri tepat di depanku. "Mau pulang sekarang?" "Ya." Pak Alex memanggil resepsionis yang duduk di belakang meja sedang heran memandang kami. Dia meminta wanita itu untuk menyelesaikan p********n denganku. Setelah semua beres, Pak Alex meminta wanita itu pergi sebentar. Tinggallah kami bertiga. "Sayang banget berlian sebaik ini kamu tukar dengan kerikil di pinggir jalan. Aku saja yang pernah liar bisa membedakan mana permata mana kaca," bisik Pak Alex lirih pada Mas Ilham. Rahang Mas Ilham tampak mengeras, dia memandang tajam pada Pak Alex. Untung saja para karyawan yang baru saja selesai istirahat dan makan siang masuk ruangan. Mereka mengangguk hormat kepada dua pria yang memiliki jabatan sama itu. "Pak Alex, saya permisi dulu, ya. Terima kasih orderannya." Kesempatan itu kugunakan untuk pamitan. Pria yang sama posturnya dengan Mas Ilham tersenyum ramah. "Terima kasih juga karena mengantar sendiri pesanan kami." "Sama-sama, Pak," jawabku sopan. Aku ganti memandang Mas Ilham. "Mas, aku pulang dulu, ya?" "Ya, nanti kita bertemu di rumah." Aku bergegas keluar tanpa merespon ucapan pria yang masih menjadi suamiku. Meski dua bulan lebih kami tidak tinggal serumah lagi. Ternyata Pak Nardi pindah parkir di samping kiri bangunan, pantas saja Mas Ilham tadi kaget saat tahu aku di dalam, karena dia tidak bertemu Pak Nardi di luar. "Kita pulang, Pak," ajakku pada laki-laki yang duduk di bangku bersama satpam kantor itu. "Iya, Mbak." Setelah mengangguk sebentar pada Pak Satpam, kami masuk mobil dan meninggalkan kantor. Meninggalkan dua pria di dalam sana. Dan entah apa yang terjadi setelahnya. Aku sendiri tidak mengira akan bertemu dengan Pak Alex yang menjadi pimpinan tempatku magang dulu. Orangnya sangat ramah, suka bercanda, tapi playboy katanya. Hanya saja selama magang di sana aku belum pernah melihatnya menggandeng seorang wanita. Bahkan dia sangat sopan padaku. Meski suka bercanda dengan tertawa lepas. Tidak seperti Mas Ilham yang lebih banyak diam. * * * "Kenapa tangan Mas bengkak begitu?" tanyaku melihat buku jemarinya yang lebam saat memegang gagang cangkir. Setelah pertemuan kami di kantor Pak Alex, sepulang kerja Mas Ilham langsung datang ke rumah Ibu. "Tidak apa-apa," jawabnya. Aku tahu dia sedang berbohong. Tangan itu seperti baru menghantam benda keras. "Alex menggodamu tadi?" tanya Mas Ilham setelah menyesap kopinya. "Enggak. Kami ngobrol biasa." "Dia tahu permasalahan kita." "Tentunya Pak Alex tahu sendiri. Tidak sebentar Mas sering keluar dengan perempuan itu. Empat tahun, Mas. Dan saking terlenanya Mas dengan masa lalu, sampai tidak bisa memahami istrinya. Coba Mas ingat, pernahkah aku mengadukan nasibku kepada orang lain. Selain pada Ibu dan Miya, orang-orang yang bisa ku percaya. Bahkan aku enggak pernah mengetik sesuatu di medsosku." Mas Ilham terdiam. Tampak sekali rasa bersalahnya. "Kalau pun Pak Alex menggodaku, apa aku akan semurah itu. Aku masih sadar dengan statusku saat ini." Kalimatku tidak kulanjutkan lagi, karena Syifa pulang dari mengaji. "Assalamu'alaikum," ucapnya sambil tersenyum senang saat melihat papanya. Mas Ilham mulai berhasil mengambil hati putrinya, mereka mulai dekat. "Wa'alaikumsalam." Gadis kecilku menyalami dan mencium tangan kami bergantian. Mas Ilham meraih tubuh kecil itu untuk di pangkunya. "Kita jalan-jalan malam ini." "Jalan-jalan, Pa?" "Iya, mau enggak. Nanti mampir ke rumah Nenek Ida." Hamida adalah nama ibu mertuaku. "Iya, mau. Ayo, Ma. Syifa sudah kangen sama Nenek Ida." Syifa berkata dengan mata berbinar. "Sama Papa saja, ya. Mama enggak usah ikut," tolakku. "Enggak, Mama harus ikut," rajuknya sambil cemberut. "Baiklah!" jawabku karena tidak tega menolaknya. Dia gembira diajak jalan sama papanya, hanya belum terbiasa pergi berdua saja. Habis Maghrib setelah Salat dan Mas Ilham menghabiskan kopi di cangkir, kami berpamitan pada Ibu. Beliau mengirimkan beberapa roti dan brownis untuk besannya. "Salam buat Mamamu, Nak Ilham." "Ya, Bu. Nanti saya sampaikan." Taman kota tidak begitu ramai malam itu, di samping bukan hari libur karena sejak sore tadi mendung menggantung di angkasa. Sebagian orang enggan ke luar rumah. Kami makan dulu di restoran padang yang cukup terkenal di tengah kota. Baru pergi ke taman. Syifa gembira karena bisa bermain di ayunan dan seluncuran. Seperti dulu, selalu bermain di sini bersama Miya dan Tita. Setelah pulang ke rumah Ibu, baru kali ini datang ke sini lagi. "Dua Minggu lagi anniversary pernikahan yang kelima kita, Vi," ucap Mas Ilham pelan. Saat kami duduk di bangku taman, sambil menunggu Syifa bermain. Aku mengangguk pelan. Tumben dia ingat. Biasanya tidak peduli tanggal-tanggal istimewa dalam pernikahan kami. Aku yang selalu mengambil inisiatif untuk membuat kejutan atau mengingatkan beberapa hari sebelumnya. "Kita liburan, Mas akan ngambil cuti beberapa hari." "Maaf, sepertinya aku enggak bisa. Pesanan rame hingga akhir bulan." Mas Ilham memandangku sejenak. "Kapan longgar?" "Belum tahu." "Sebenarnya, kita butuh meluangkan waktu untuk bicara. Kita tidak mungkin selamanya begini. Mas ingin kita bisa berbaikan seperti dulu. Coba katakan, apa yang harus Mas lakukan?" "Apa yang Mas pikirkan tentang rumah tangga kita selama lima tahun ini? Kenapa memperlakukan aku seperti persinggahan saja. Di rumah hanya untuk makan, berganti pakaian, menyentuhku jika Mas inginkan. Mas, lebih nyaman jika di luar rumah, bertemu dengan perempuan itu." Mas Ilham memandangku. "Aku melihat kemesraan kalian di media sosialnya. Sungguh bangga bisa menggandeng suami orang, meski seolah sedang melakukan pekerjaan. Karena di foto itu juga ada orang lain." "Mas sudah menegurnya. Nura sudah menghapus sebagian." Aku tersenyum getir. "Apa enggak malu kalau banyak orang tahu? Pak Alex tahunya juga dari medsos." "Apa yang kalian bicarakan?" tanya Mas Ilham penuh selidik. "Enggak usah cemas, kami enggak membicarakan apa pun tentang Mas dan kekasih Mas itu?" "Kami bukan kekasih, Vi." "Ya, tapi mantan kekasih yang sedang bernostalgia. Begitu rumitnya hubungan kalian karena masih ada aku." Pembicaraan terhenti karena gerimis mulai turun. Gerimis ini menyelamatkan kami untuk tidak berdebat lagi. Mas Ilham berdiri, kemudian menggendong Syifa yang berlari mendekat. Diraihnya lenganku. "Kita pulang ke rumah Mama." Mas Ilham tidak langsung mengajak kami pulang, di bawah gerimis dia mengajak kami berputar-putar di jalan kota. Hingga Syifa tertidur di pangkuanku. Di pinggir jalan beberapa pedagang sibuk menutup atap gerobak mereka dengan terpal. Aku jadi ingat saat Ibu baru mulai berjualan. Diawali dengan menaruh gerobak di pinggir jalan depan rumah. Mulai bikin kue dan menerima pesanan. Saat kutanya kenapa ibu jualan? Jawabnya karena bosan duduk saja di rumah. Padahal waktu itu gaji ayah lumayan besar. Sekarang aku tahu alasan yang sebenarnya, karena Ibu sudah tahu ayah bermain hati di luar sana. Cepat atau lambat keputusan akan di ambil. Bertahan atau bercerai. Makanya Ibu harus mandiri. Dan sekarang terbukti, usahanya berkembang pesat. Namun sebagai anak, kadang aku rindu juga pada ayah. Terakhir bertemu saat aku menikah. Bagaimanapun dia ayahku, darahnya mengalir ditubuhku. Seperti Syifa dan Mas Ilham. Syifa tetap anaknya andai kami jadi berpisah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN