Kepala Katrin terasa seperti simpul benang kusut. Pikirannya kalut, berkelebat tak beraturan dari satu kecemasan ke kecemasan lain. Padahal, seharusnya ia hanya fokus pada satu hal, tentang Reins yang akan menjemputnya lusa besok.
Antisipasi itu saja sudah cukup membuat jantungnya berdegup tak karuan.
Namun, benaknya tak mau diam. Percakapan dengan Louisa kemarin masih menggantung, meninggalkan jejak keraguan yang mengusik. Dan seolah belum cukup, Jessy dengan santainya menambahkan beban baru yang langsung menghantam telak dengan kabar kepulangan Darion.
Seperti sambaran petir di siang bolong.
Ia tak bisa tidur semalaman, pergulatan batin itu terus menggerogotinya hingga fajar menyingsing.
Lima tahun sudah berlalu sejak Darion menolaknya mentah-mentah. Sebuah penolakan yang meninggalkan luka menganga dan butuh waktu lama untuk mengering.
Ah, semakin dipikirkan, semakin kencang denyutan di pelipisnya.
Katrin duduk bersandar di kursi kerjanya, matanya menatap kosong ke luar jendela. Langit Brussel hari itu terlihat cerah berawan, kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya.
Rasanya terlalu naif jika ia terus-menerus terganggu oleh bayangan Darion. Apalagi, ia kini sudah menjadi istri Reins, meski pernikahan itu hanyalah kontrak.
Lagi pula, Brussel begitu luas, mustahil mereka akan berpapasan, meskipun Darion adalah teman baik Reins. Tidak mungkin. Yang perlu ia pikirkan sekarang hanyalah nasibnya besok, saat Reins benar-benar membawanya pulang ke rumahnya. Hanya itu.
Bibirnya bergerak sebelum pikirannya sempat menahan.
“Jess …”
Jessy tak langsung menjawab, sibuk memeriksa contoh souvenir di meja kerja.
“Aku butuh sesuatu,” kata Katrin lagi. Suaranya pelan, namun cukup menusuk.
“Apa?”
Katrin menarik napas panjang, lalu menatap sahabatnya. “Sesuatu yang bisa membuatku tidak sepenuhnya sadar ... saat bersama Reins nanti.”
Jessy sontak menoleh cepat. “Apa yang kau bicarakan?”
“Aku butuh obat perangsang.”
“Apa? Gila kau?!” teriak Jessy, hampir menjatuhkan benda di tangannya. “Isi kepalamu konslet, Kat?!”
“Besok dia datang.” Hela napas Katrin terdengar berat. “Kita tidak mungkin cuma makan malam, kan?”
Jessy meletakkan souvenir ke atas meja, lalu melangkah cepat mendekat. Tatapannya tajam. “Apa yang kau pikirkan, huh?”
“Tidak ada,” bisik Katrin, menunduk. “Hanya saja… aku berharap bisa setengah gila saat tidur dengannya. Seperti terakhir kali. Atau bahkan lebih gila lagi, supaya dia puas.”
Jessy menatap Katrin lama. Tak ada cemooh yang keluar dari mulutnya, tak ada ceramah panjang lebar soal logika dan harga diri. Ia hanya menghela napas dalam-dalam dan memalingkan wajah.
Mungkin ia tahu, Katrin sedang menyusun tameng terakhirnya. Pertahanan terakhirnya dari kenyataan yang begitu menyakitkan. Harga diri Katrin terlalu tinggi, terlalu rapuh untuk dihancurkan lagi.
Perempuan seperti itu hanya bisa menyerah pada dua hal, mabuk atau jadi gila sekalian. Menyerah pada kendali, membiarkan tubuhnya bergerak tanpa jiwanya harus ikut merasakan.
Dan Katrin sedang memilih keduanya.
Jessy tak berkomentar. Ia hanya diam, lalu berbalik, meninggalkan Katrin sendiri di ruangan itu. Mungkin ia tidak setuju. Tapi ia mengerti dengan ide gila sahabatnya.
Katrin juga tidak terlalu berharap Jessy mencarikannya. Dia sudah menyiapkan alternatif lain, rencana darurat kalau tubuhnya tak mampu berbohong di hadapan Reins.
Namun pagi itu, tepat saat Katrin hendak keluar dari ruang ganti, Jessy muncul. Tangannya terulur, menggenggam satu botol kecil bening yang disodorkannya tanpa basa-basi.
"Ini cukup kuat," katanya, nadanya datar namun tegas. "Pakai dua tetes saja. Jangan lebih."
Katrin menatapnya, sempat terdiam. Tapi akhirnya ia tersenyum, senyum tipis yang tak sampai ke mata. Ada haru sedikit, ternyata Jessy bisa memahami keinginan gilanya.
Namun sebelum Katrin sempat berkomentar lebih jauh, dering telepon kantor menjadi jeda percakapan mereka.
Entah siapa yang telepon, tapi Jessy yang menjawab telepon langsung menatap ke arah Katrin.
"Klien?" bisik Katrin, ada sedikit nada khawatir dalam suaranya.
"Ada telepon dari Louisa," jawabnya, sedikit terkejut.
Louisa, asisten Reins Anser Greyson. Tentu saja Katrin tahu siapa itu, berbeda dengan Jessy yang belum sempat diperkenalkan.
"Biar aku," kata Katrin, melangkah mendekat, lalu mengambil telepon dari tangan Jessy.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona Louisa?" Katrin berusaha menjaga nada suaranya tetap profesional.
"Maaf, saya hanya bisa menghubungi Anda ke nomor perusahaan. Saya belum punya nomor pribadi Anda."
Nyaris saja lupa. Katrin diberi kartu nama Louisa kemarin, tapi belum sempat menghubunginya. Pasti Louisa mendapatkan nomor kantornya dari website Ivory.
"Aku yang harusnya minta maaf. Dua hari ini aku cukup sibuk," jawabnya sopan. "Apa ada yang penting?"
"Saya hanya ingin mengabarkan, Tuan Reins masih belum bisa menjemput Anda besok. Ada beberapa urusan yang masih harus diselesaikan. Beliau akan menjemput Anda tiga hari lagi."
Untuk pertama kali sejak kejadian pengkhianatan William dan Amora, senyum Katrin mengembang lebar sampai lesung pipinya terlihat. Sebuah kelegaan luar biasa membanjiri dirinya, seolah beban berton-ton terangkat dari bahunya.
Dia amat bersyukur, matanya beralih menatap botol kecil berisi obat afrodisiak yang tergeletak di meja, yang sepertinya tidak akan ia minum besok.
"Tidak apa-apa. Hubungi aku jika Tuan Greyson akan datang menjemput."
Begitu telepon ditutup, Katrin langsung berlari memeluk Jessy, bahkan mencium pipi gadis itu tanpa peduli.
"Dia tidak jadi menjemputku besok! Hidupku selamat, Jessy!” serunya.
"Kau sesenang itu karena tidak jadi jalan pincang?" Jessy bertanya, menyipitkan mata, menatap Katrin intens.
"Apa maksudmu jalan pincang?" Katrin bertanya balik, pura-pura tidak mengerti.
"Tidak perlu pura-pura," Jessy mendengus. "Kau sudah pernah merasakannya, kan, heemmm?"
Merasakan. Katrin ingin menangis mendengarnya.
Bahkan dia tidak yakin apa mereka tidur bersama, ataukah Reins yang kecil mungil berukuran 8 senti itu benar-benar gagal membuatnya pincang. Pikiran itu melintas, sedikit pahit. Tapi Katrin tidak menjawab, hanya terkekeh pelan.
"Sudah, lupakan itu," ajaknya kembali antusias, "Ayo kerja!"
"Panggil mereka ke ruang rapat, sudah waktunya bahas proyek Tuan Frederick!" Suaranya ceria, kontras dengan beberapa menit yang lalu.
***
Mungkin kabar dari Louisa benar-benar membuat mood Katrin membaik. Dia langsung memimpin rapat untuk project selanjutnya.
Yah, meski sempat kehilangan vendor dari Clairs, tapi dengan bantuan GIN dan Reins, dia sudah bisa memulai pekerjaannya kembali. Tidak perlu pusing memikirkan vendor penganti, sebab semua sudah dalam kendali Katrin lagi.
Katrin menoleh pada Samantha yang langsung menyodorkan Mac. Proyek kali ini diurus oleh Samantha, mulai dari set-up, sampai rundown acara.
Manik kecoklatan Katrin mengikuti layar, susunan rundown yang diberikan Samantha cukup bagus dan lengkap. Diantara karyawannya, yang paling lama mengikutinya selain Jessy ada Zane dan Samantha.
Sudah tidak perlu ragu bagaimana sepak terjang mereka.
Tapi tetap saja, Katrin ingin memastikan semuanya berjalan dengan aman.
“Anda ingin ikut?” tanya Samantha.
“Iya, besok bertiga dengan Jessy. Kebetulan agendaku besok batal.”
Katrin tidak pernah main-main dengan urusan pekerjaannya. Tidak heran banyak klien yang puas dan kembali memesan jasanya entah untuk peluncuran produk baru, ulang tahun perusahaan, pernikahaan atau yang lainnya.
****
Katrin sudah duduk di ruang rapat salah satu perusahaan besar, Vertas. Wajahnya terlihat serius, mengunci perhatiannya pada layar proyektor tempat Samantha mulai menjelaskan rancangan bisnis mereka kepada Tuan Frederick, pria paruh baya berusia empat puluhan.
"Yah, ini bagus. Tapi masih ada beberapa detail yang kurang," kata Frederick, jemarinya mengetuk-ngetuk meja.
"Anda bisa katakan," sahut Katrin, siap mencatat setiap masukan.
"Saya kurang puas kalau proyektor dipusatkan di sudut ini. Coba beri aku yang lain."
Frederick memang terkenal cukup selektif, itu tidak aneh. Perusahaan sebesar Vertas selalu menginginkan hasil yang sempurna agar acara peluncuran produk berjalan sesuai ekspektasi. Namun kali ini, permintaan Frederick terasa begitu banyak, nyaris tidak ada satu pun yang sesuai. Selalu ada yang kurang pas, kurang sempurna.
"Jika Anda tidak keberatan, bagaimana jika kami menyusunnya ulang. Dua hari lagi kami akan datang," ucap Katrin, berusaha menahan rasa frustrasi yang mulai merayap.
Frederick terlihat menghela napas panjang. "Sebenarnya ini permintaan atasan saya. Begini saja, bagaimana jika kalian bertemu dengannya dan membahas spesifiknya? Saya rasa beliau tidak sibuk."
Agak ragu juga menerima tawaran ini, sebab biasanya, yang menjadi perantara justru tim pemasaran dari perusahaan klien, bukan langsung atasan mereka. Namun, ini bisa jadi kesempatan untuk memahami ekspektasi mereka secara lebih detail.
"Jika diperbolehkan, kami sangat senang," ucap Katrin, mempertahankan profesionalismenya.
Frederick undur diri sejenak. Sepuluh menit kemudian, dia kembali bersama seorang pria yang melangkah anggun ke dalam ruangan.
Saat pandangan Katrin bertemu dengan pria itu, jantungnya seolah berhenti berdetak. Dunia di sekelilingnya memudar, hanya menyisakan siluet familiar yang pernah begitu menyakitinya.
"Perkenalkan," kata Frederick, dengan nada penuh hormat. "Beliau COO kami."
Pria itu tersenyum tipis, sorot matanya tajam namun Katrin mengenalnya dengan sangat baik. Sebuah nama yang pernah ia coba kubur dalam-dalam, kini kembali menguak ke permukaan, seolah memuntahkan semua rasa sakit masa lalu.
"Selamat siang, saya Darion Moretti."
Suara itu. Suara yang dulu ia rindukan, kini bagai palu godam yang menghantam pertahanan terakhir Katrin.
Seketika, semua kecemasan tentang Reins, semua beban percakapan Louisa, semua rencana obat perangsang, lenyap tak bersisa. Yang tersisa hanyalah Darion, di sini, berdiri di hadapannya.