Amsterdam - Belanda.
Reins melonggarkan dasinya, duduk di kantor cabang perusahaannya di Amsterdam. Pandangannya terpaku pada proyeksi grafik yang berputar lambat di dinding ruang rapat.
Seharusnya ini hanya kunjungan singkat, tapi, selalu saja ada masalah yang tak terduga.
Kali ini, proyek besar di Rotterdam tersendat, memaksanya untuk memperpanjang waktu di sini. Ia mendengus kesal. Jadwalnya berantakan, dan ia harus menunda kepulangannya.
Di tengah sibuknya menyelesaikan masalah, dering telepon mengganggu konsentrasinya. Ponsel di sakunya bergetar, nama Hugo terpampang dengan jelas.
Reins menghela napas. Lalu menekan tombol jawab dengan enggan.
“Jika ini bukan hal penting, ku patahkan lagi gigimu besok,” ancam Reins, suaranya dingin dan datar. Ia sedang tidak mood untuk basa-basi.
“Wow, wow, santai, kawan!” Terdengar tawa renyah dari seberang.
“Sensitif sekali. Libido mu naik sejak menikah. Takut istrimu diculik, huh?” Hugo menyindir, dan Reins bisa membayangkan senyum menyebalkan di wajah sahabatnya itu.
Reins mendengus, langsung memutus panggilan tanpa bicara. Ia tidak punya waktu untuk lelucon Hugo. Namun, belum semenit berlalu, ponselnya bergetar lagi. Reins mengabaikannya, membiarkan layar itu menyala dan padam.
Tapi sekali lagi ponselnya berdering, lalu lagi, dan lagi. Rentetan panggilan dari Hugo seolah tak ada habisnya, terus mengganggu. Reins menggeram, akhirnya menyerah.
"Berhenti menghubungiku sialan?!" Suaranya nyaris berteriak.
"Darion kembali ke Brussel!" Hugo langsung bicara, tanpa jeda, seolah takut Reins akan memutus sambungan lagi atau bahkan membunuhnya dengan sadis.
Reins sedikit tersentak.
Alisnya terangkat sedikit. Darion seharusnya baru pulang seminggu lagi, jadwal kepulangannya mundur karena proyek di LA. Ini cukup mengejutkan, tapi Reins masih bisa menjaga ketenangannya.
"Begitu," jawab Reins singkat. "Lalu?"
"Lalu?" Hugo terdengar tak percaya.
"Kau tidak kaget? Dia tiba-tiba kembali lebih cepat. Aku sudah mengajaknya minum. Kapan kau kembali? Ayo kita minum. Sudah lama kita tidak berkumpul."
Reins menyeringai tipis. "Atur saja. Sekalian aku ingin mengenalkan istriku padanya."
Hening di seberang. Lalu terdengar suara tersentak, disusul bisikan kaget Hugo, "Kau gila!?"
Reins tertawa kecil, tawa dingin yang jarang ia tunjukkan. "Kenapa? Aku hanya mengenalkan istriku pada teman baikku."
“Ayolah Reins, jangan gila! Kau tahu kalau dia juga –”
“Tidak peduli bagaimana, Katrin istriku sekarang.” Reins mengusap rambutnya ke belakang, rahangnya mengeras. Kata-katanya bukan hanya pernyataan, tapi sebuah deklarasi.
“Dia temanmu!” Nada Hugo naik satu oktaf, terdengar jelas bagaimana dia emosi. Tapi Reins masih menanggapi dengan santai meski ekspresinya tidak begitu.
“Siapa yang tidak tahu itu? Tapi yang bergerak lebih dulu yang menang.”
“Situasinya tidak memungkinkan. Kau tahu Reins.” Hugo mencoba melunakkan, nadanya berubah jadi lebih memohon, seolah mengingatkan Reins pada sesuatu yang pahit.
Mata Reins berkilat tajam, kilatan berbahaya yang mematahkan argumentasi apa pun, membalas permohonan Hugo dengan ledakan kemarahan yang tertahan.
"Kau pikir bagaimana situasiku saat itu!"
"Terserah kau saja. Kuharap kau tidak keterlaluan." Hugo langsung mematikan telepon, suara napasnya yang berat masih terdengar sesaat sebelum sambungan terputus total.
Napas Reins juga ikut menjadi berat, dadanya naik turun dengan cepat. Dia melempar ponselnya ke sembarang arah, tak peduli apakah benda itu akan rusak.
Lalu ia bersandar ke kursi, mendongak, dan menutup matanya. Kegelapan menyelimutinya, namun di dalamnya, bayangan masa lalu yang ia pikir sudah terkubur kini hidup kembali, menari-menari penuh dendam di benaknya.
Ini cerita yang amat lama. Kisah yang mendadak terusik kembali setelah sekian tahun berlalu.
"Keterlaluan ... huh! Siapa yang lebih keterlaluan," gumam Reins. Matanya masih tajam menatap dinding kosong di depannya.
******
Brussel - Belgia
"Selamat siang, saya Darion Moretti."
Wajah Katrin memucat.
Darah seolah mengering dari setiap pembuluh darahnya. Jantungnya bergemuruh, berdetak tak karuan, seolah ingin melarikan diri dari sangkarnya.
Jessy di sampingnya menangkap dengan cepat. Sebuah sentuhan di lengan Katrin yang gemetar adalah isyarat tanpa suara. "Kat, kau baik-baik saja?" bisik Jessy, khawatir.
"Tidak masalah kalau kau mundur, aku dan Samantha yang urus.”
Namun, Katrin menggeleng samar, menolak. Ini bukan saatnya untuk kabur seperti lima tahun lalu. Tidak, apalagi ia punya urusan pekerjaan disini.
Katrin menegakkan punggung, memaksakan sebuah senyum tipis yang terasa dingin di bibirnya. "Selamat siang, saya Katrin Isadora."
Suaranya terdengar lebih stabil dari yang ia duga, meski ada getar samar yang hanya bisa ia rasakan sendiri.
Tangannya terulur, menjabat tangan Darion yang terasa dingin dan kokoh. Sentuhan itu singkat, namun cukup untuk mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuhnya, membangunkan kembali kenangan-kenangan yang telah lama ia paksa tidur.
Darion mengangguk kecil, matanya menatap Katrin dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tidak ada senyum ramah seperti pada Frederick, hanya tatapan datar yang menelanjangi semua pertahanan Katrin.
Apakah ia mengingatku? Pertanyaan itu melintas di benaknya, disusul rasa takut yang menusuk.
"Jadi, Nona Katrin," Darion memulai, suaranya tenang, namun setiap suku katanya terasa seperti hantaman yang tertata.
"Frederick bilang kalian punya beberapa ide untuk proyek ini."
Katrin menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali profesionalismenya yang buyar. Ini pekerjaannya. Ini Vertas. Ia tidak boleh goyah hanya karena bayangan masa lalu yang muncul kembali.
"Betul, Tuan Moretti. Kami sudah menyiapkan beberapa konsep visual dan rundown yang komprehensif. Samantha, bisa tolong tampilkan presentasinya?" Katrin mencoba terdengar santai, mengarahkan fokus pada Samantha yang dengan sigap memulai proyeksinya.
Selama presentasi berlangsung, mata Katrin sesekali melirik Darion. Pria itu terlihat tidak berubah, bahkan mungkin semakin tampan. Rambut gelapnya ditata rapi, rahangnya tegas, dan setelan jasnya membalut tubuh atletisnya dengan sempurna.
Ia tampak jauh lebih dewasa, lebih berkuasa, dan entah mengapa, terasa lebih jauh. Ia mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, tanpa menunjukkan emosi berarti.
Setiap kali pandangan mereka beradu, Katrin merasakan gelombang panas menjalari wajahnya. Ia berusaha keras menjaga ekspresinya tetap tenang, namun di dalam, perutnya terasa melilit.
Konflik internalnya berteriak, ini Darion, orang yang menghancurkanmu. Jangan biarkan dia melihatmu lemah.
Tapi hatinya berisik, ia ada di sini, di hadapanmu lagi. Apakah kau merasa runtuh?
Setelah Samantha selesai memaparkan, giliran Frederick yang berkomentar. Namun, fokus utama tetap pada Darion.
"Konsepnya menarik," Darion akhirnya bersuara, pandangannya beralih pada Katrin. "Tapi seperti yang Frederick sampaikan, ada beberapa hal yang perlu disesuaikan. Terutama bagian interaksi dengan audiens."
Katrin mencatat cepat, tangannya sedikit gemetar. Ini bukan Darion yang dulu ia kenal. Bukan Darion yang pernah membuatnya tertawa, atau Darion yang menolaknya dengan begitu dingin.
Ini adalah Darion Moretti, COO Vertas, yang menatapnya sebagai seorang pebisnis. Dan entah kenapa, itu terasa lebih menyakitkan daripada penolakan lima tahun lalu.
"Kami bisa menyusunnya ulang," Katrin mengulang tawaran sebelumnya, berusaha agar suaranya tidak bergetar. "Apakah ada waktu spesifik Tuan Moretti bisa meluangkan waktu untuk kami?"
Darion menatap kalender digital di mejanya. "Bagaimana kalau besok lusa? Setelah makan siang. Kita bisa membahas detailnya di sini."
Besok lusa. Itu berarti tepat di hari Reins akan menjemputnya. Takdir memang sedang mempermainkannya.
"Baik, Tuan Moretti. Kami akan siapkan yang terbaik," jawab Katrin, seraya mengangguk.
Pertemuan singkat itu berakhir, namun efeknya akan terus bergaung dalam pikiran Katrin.
Saat mereka melangkah keluar dari ruang rapat, Jessy langsung mendekat, wajahnya penuh pertanyaan yang tertahan. "Kau pucat sekali. Ingin duduk dulu? Aku belikan kopi.”
Katrin tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan, melewati koridor mewah Vertas, otaknya mencoba memproses fakta yang baru saja menamparnya.
Darion. COO Vertas. Dan ia harus bertemu dengannya lagi, dua hari lagi. Bersamaan dengan kedatangan Reins. Dunia Katrin baru saja berbalik 180 derajat, dan ia tidak yakin apakah ia bisa menanganinya.
Langkah kaki mereka baru saja mencapai lift ketika sebuah suara menghentikan mereka.
"Nona Katrin."
Suara itu. Dingin, namun ada nada familiar yang membuat punggung Katrin menegang. Ia berbalik perlahan, menemukan Darion berdiri beberapa langkah di belakang, tangannya masih memegang gagang pintu ruang rapat yang baru saja mereka tinggalkan. Wajahnya datar, sulit dibaca.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Darion, melangkah mendekat. Lalu, pandangannya beralih ke Jessy dan Samantha sekilas sebelum kembali menatap Katrin.
"Aku dengar ... kamu menikah?"
Seketika, seluruh tubuh Katrin kaku. Panik melanda. Otaknya berputar cepat. Darion tahu?
Bagaimana bisa? Apakah Reins sudah memberitahunya?
Atau Darion mengetahui dari sumber lain?
Ini terlalu cepat. Terlalu tiba-tiba. Wajahnya yang semula pucat kini terasa semakin dingin. Jantungnya berdenyut kencang, nyaris meledak. Ia bahkan tidak bisa membuka mulut untuk menjawab.