“Aku dengar … kamu menikah?”
Pertanyaan Darion itu seperti peluru tajam yang melesat tepat ke d**a Katrin. Ia berdiri membeku, tak sanggup menjawab. Napasnya tercekat, otaknya berputar mencari jawaban netral, dingin, tegas—tapi tak satu pun muncul.
Dengan cepat, Katrin menunduk dan melangkah mundur, menghindari tatapan Darion yang seolah menelanjangi. "Maaf, ranah kita bukan terkait urusan pribadi, Tuan Moretti. Mari kita membicarakan proyek besok lusa."
Suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi, sebuah topeng sempurna untuk kekacauan di dalamnya.
Tanpa menunggu reaksi, Katrin berbalik dan berjalan cepat ke arah lift. Langkahnya kaku tapi terukur, setiap tapak terasa berat. Jessy tidak bicara apa pun, hanya menggenggam tangan Katrin yang basah oleh keringat dingin dengan erat, seolah menyalurkan kekuatan.
Setibanya di lobi bawah, Samantha sudah menunggu mereka di mobil.
“Maaf,” kata Jessy pelan ketika mobil mulai melaju. “Aku benar-benar tidak tahu dia akan ada di sana.”
Katrin hanya mengangguk. Matanya menatap ke luar jendela. Dalam hatinya, ia ingin marah, tapi kepada siapa? Jessy juga pasti kaget, Vertas bukan perusahaan milik keluarga Moretti, anak perusahaannya juga bukan.
Pasti Jessy tidak bisa menebak Darion akan ada disana.
“Besok tidak usah datang. Biar aku saja yang urus meeting selanjutnya. Kebetulan waktunya sama dengan urusanmu yang lain,” lanjut Jessy, nada suaranya lembut, tapi jelas mencoba melindungi.
Samantha yang duduk di depan jelas tidak tahu apa-apa. Dia hanya diam mencuri dengar, tapi tidak bisa menanyakan lebih detail. Yang dia tahu, bosnya terlihat mengenal COO perusahaan Vertas.
“Mereka pasti tanya jika aku tidak datang,” jawab Katrin.
Jessy menatapnya heran. "Kamu yakin? Kamu pasti gugup. Apalagi —" Ia berhenti, ragu melanjutkan, "Besok bertemu Reins. Pikiranmu bisa runyam kalau bertemu dua pria itu dalam satu waktu."
Katrin menghela napas, seolah menyingkirkan beban tak terlihat.
“Katanya, minum racun bisa membuat kebal. Jadi tidak ada salahnya dicoba, kan? Kita tinggal di negara yang sama, kota yang sama, dalam lingkup bisnis. Sampai kapan aku menghindar?”
Benar katanya. Sampai kapan harus terus menghindar dan bersembunyi?
Katrin tidak melakukan kesalahan besar, tidak mencuri atau membunuh. Hanya tindakannya saja yang terlalu nekat dulu. Tidak layak kalau dia terus bersembunyi seperti penjahat.
Apalagi Katrin seorang pebisnis. Ada kalanya mereka terjalin kerja sama seperti sekarang.
"Lima tahun, Katty. Kamu masih punya rasa?" tanya Jessy tiba-tiba, tak tahu apa yang mendasarinya menanyakan itu. Mungkin sekadar memastikan luka Katrin tidak terlalu dalam.
"Entahlah," jawab Katrin, mengedikkan bahu, menatap lurus ke depan, ke jalanan Brussel yang mulai ramai.
"Sepertinya bukan suka. Lebih pada ... perasaan tidak terima karena dulu diperlakukan seperti itu. Jadi setiap melihat atau mendengar namanya, aku masih belum bisa mengontrol perasaan dan emosiku."
Jessy tidak bicara lagi. Ia tahu, seberapa traumanya Katrin dengan kejadian itu. Seakan dari sanalah titik jungkir baliknya dimulai. Katrin bahkan mengambil cuti dua semester, menghilang dari peredaran untuk waktu yang cukup lama.
Jessy hanya memeluk Katrin erat, mencoba menyalurkan kekuatan tanpa kata.
Setibanya di Ivory, mereka langsung sibuk menyusun ulang permintaan dari Vertas. Katrin membenamkan diri dalam pekerjaan, mencoba mengalihkan pikirannya dari pertemuan mendadak dengan Darion. Ia menyalurkan semua energinya pada detail-detail proyek, bahkan hampir lupa bahwa urusannya dengan Reins belum selesai.
Hingga akhirnya, jadwal pertemuan berikutnya tiba. Di tempat yang sama.
****
Ruang rapat siang itu terasa lebih dingin dari kemarin. Bukan karena suhu udara di ruangan, tapi karena atmosfer yang diciptakan oleh kehadiran seseorang dari masa lalu.
Meja panjang dari kayu mahoni dipenuhi berkas, tablet, dan proyektor yang memantulkan cahaya biru redup ke langit-langit. Di sisi kanan ruangan, jendela besar menghadap ke taman belakang gedung, tapi tak satu pun dari mereka menoleh ke sana.
Katrin duduk di ujung meja, punggungnya tegak, suaranya tenang. Ia menyajikan data dan referensi dengan cermat, padat, rinci, dan profesional. Seolah tidak ada yang aneh. Seolah detak jantungnya tidak sedang berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya.
Darion Moretti duduk bersisian dengan Fredrick, tampak tenang tapi tak lepas mengamati. Tatapannya tajam, kadang menelisik.
Namun setiap kali mata mereka bertemu, Katrin memilih untuk tidak mundur. Ini pekerjaannya. Ia tidak boleh goyah hanya karena masa lalu datang tanpa aba-aba.
Pertemuan berlangsung singkat. Semua data disampaikan, revisi dijelaskan, dan penawaran disusun ulang. Jessy dan Samantha membantu menjabarkan beberapa poin teknis dari sisi pemasaran.
“Apa ini sudah sesuai, Tuan Moretti, Tuan Fredrick?” tanya Jessy.
Fredrick dan Darion saling menatap sesaat, seperti tengah membagi pertimbangan. Lalu keduanya mengangguk kecil.
“Yah, ini cukup.”
“Baik, selanjutnya kami akan mengirim segala rincian dan detail secara resmi,” ucap Katrin sambil menutup laptop. “Rekan saya, Jessy dan Samantha, akan handel selanjutnya.”
Darion menoleh. Tatapannya menyempit sedikit. “Bukan Anda lagi?”
Katrin tersenyum tipis. “Tetap saya yang akan mengaturnya sesuai permintaan Anda, Tuan Moretti. Mereka hanya mewakili untuk melapor semuanya.”
Hening. Darion tampak hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi mengurungkan niatnya. Ia menyerahkan lembaran berisi catatan tambahan di hadapannya.
“Tambahan kecil.”
Katrin menerimanya dengan anggukan. “Baik, akan kami sesuaikan.”
Pertemuan itu selesai tanpa keributan, tanpa konfrontasi. Tapi udara tetap terasa padat saat mereka keluar satu per satu.
Katrin menarik napas dalam saat pintu tertutup. Setidaknya, Darion tidak mempersulit. Tidak hari ini.
Namun, sepertinya itu tak berlangsung lama.
Katrin baru saja turun ke lobi dan berpisah dengan Samantha serta Jessy. Mereka sempat berbicara singkat, membahas revisi yang akan dikerjakan malam ini. Jessy tampak khawatir, tapi Katrin hanya mengangguk dan mengatakan, “Aku bisa mengatasi ini.”
Jessy belum sempat membalas ketika ponselnya berdering. Ia pamit lebih dulu, diikuti Samantha yang segera menyusul. Katrin berdiri sejenak di dekat pilar marmer, mencoba mengatur napas. Jemarinya dingin.
Dan saat itulah, di antara kerumunan pekerja kantor yang lalu lalang, ia melihat Reins.
Lelaki itu berjalan mendekat dari pintu utama, mengenakan kemeja hitam dan mantel panjang, wajahnya teduh namun penuh kontrol. Tatapannya langsung tertuju pada Katrin. Bukan pandangan santai seorang suami, tapi pandangan tajam yang seolah sudah tahu semuanya. Dan memang Reins tahu.
Langkah Reins makin dekat. Tapi suara lain menyusul dari arah belakang.
“Tunggu sebentar, Nona Katrin!”
Tubuh Katrin membeku.
Itu suara Darion.
Tanpa pikir panjang, Katrin berbalik ke arah Reins dan menarik tangan laki-laki itu secara refleks. “Cepat,” bisiknya tajam. “Ikut aku.”
Reins tidak bertanya. Ia hanya mengikuti dengan satu alis terangkat, separuh heran, separuh tertarik dengan tingkah Katrin yang tiba-tiba.
Mereka melangkah cepat menuju lorong kecil yang biasa digunakan staf keamanan. Lorong itu sempit, jarang dilewati, dan dindingnya dihiasi panel kayu tua. Cahaya lampu remang yang berkedip di ujung lorong membuat segalanya tampak seperti adegan film lama—sunyi dan tegang.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Katrin, sedikit ketus, matanya terus menatap daun pintu yang sedikit terbuka, berjaga-jaga.
"Seharusnya aku yang bertanya?" Reins menundukkan kepalanya, memangkas jarak yang terpaut tinggi badan mereka. "Kenapa, kau ada di Vertas?"
"A-aku mengurus venue di sini," Katrin menjawab cepat, masih mencoba mengatur napas yang tersengal.
Mata Reins menyipit. Dia menoleh, menatap sosok Darion yang samar terlihat dari celah pintu. "Kau menghindar darinya?"
"Itu bukan urusanmu!" Katrin membantah, nada suaranya naik.
Namun, Reins menyeringai. Ia bergerak cepat, membalik posisi tubuh mereka. Kini Katrin berada di depan, terdesak ke tembok yang dingin. Reins di hadapannya, satu tangan bertumpu di dinding, mengurungnya. Napas mereka beradu, memecah kesunyian lorong.
"Kau gugup. Tidak ingin dia tahu...." Reins mengusap keringat dingin di kening Katrin dengan ibu jarinya.
"... kau sudah menikah dengan sahabatnya?" Suaranya dalam dan pelan, nyaris seperti gumaman beracun yang menggelitik telinga Katrin.
"Reins, jangan mulai." Katrin mencoba menahan, suaranya tercekat.
"Apa dia masih berarti?" Tatapan Reins menusuk, menuntut jawaban. "Atau kau hanya panik karena rahasia kecil kita hampir terbongkar?"
Katrin hendak menjawab, tapi mulutnya hanya sempat terbuka sedikit, tak ada suara yang keluar.
Dengan cepat Reins mencengkram tengkuk leher Katrin, lalu menciumnya. Tanpa aba-aba. Bukan lembut. Tapi panas, keras, dan penuh klaim. Itu adalah ciuman seorang lelaki yang ingin menegaskan sesuatu, entah pada Katrin, atau pada dirinya sendiri.
Katrin tidak membalas. Namun juga tidak bisa memberontak. Tubuhnya menegang, jari-jarinya mencengkeram lengan Reins kuat-kuat.
Dan di pintu, suara langkah seseorang terdengar.
Reins memutar sedikit kepalanya. Dari sela-sela pintu yang terbuka, ia melihat sosok Darion berjalan ke arah mereka. Lelaki itu berhenti sejenak, matanya menangkap siluet dua orang yang berciuman.
Darion sempat terpaku, jelas dia tahu siapa perempuan yang roknya tertangkap siluet cahaya lampu dari lobi. Tapi dia tidak tahu siapa lelaki yang mencium Katrin.
Reins tersenyum miring, senyum penuh kepuasan dingin, saat memastikan Darion berbalik dan pergi.
Lalu, dengan nada pelan di telinga Katrin, ia berbisik, "Haruskah aku memperkenalkan istriku pada sahabatku?"