Pembahasan Reins tentang Darion menggantung setelah ia melihat ekspresi tegang Katrin. Wajah Katrin benar-benar serius, tidak ada jejak godaan sedikit pun. Namun, sebelum Katrin sempat protes atau mengucapkan sepatah kata pun, Reins lebih dulu menariknya pergi.
Di depan, sopir dan Louisa sudah menunggu di mobil mewah yang terparkir. "Ma-mau ke mana?" tanya Katrin, suaranya sedikit tercekat.
Reins menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. "Louisa sudah menghubungimu kemarin, kan? Sudah waktunya aku menjemputmu!"
Lagi, jantung Katrin dibuat membuncah. Ia tidak menyangka jika Reins akan langsung mengajaknya pergi begitu saja. "Tu-tunggu sebentar. Aku belum membawa baju—"
Reins menyeringai, sebuah ekspresi yang membuat Katrin bergidik samar. Ia mengarahkan Katrin untuk segera masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibuka.
"Louisa sudah menyiapkan keperluanmu di sana."
Katrin masih terlalu enggan, semuanya serba mendadak. Ia pikir Reins akan menjemputnya sepulang kerja, memberinya waktu untuk bersiap. "Aku datang dengan stafku, mereka pasti menunggu. Se-sebentar—"
Reins menahan tangan Katrin yang hendak membuka kembali pintu mobil. "Telepon!" singkatnya, nadanya tak terbantahkan. "Kau tidak punya ponsel?"
Katrin membeku beberapa detik.
Sesaat ia lupa sedang berhadapan dengan seorang Reins yang tidak bisa ditawar sama sekali. Tanpa menjawab, dia meraih ponselnya dari tas, menghubungi Jessy.
Sebenarnya, pekerjaannya hari ini sudah selesai. Hanya tinggal mengurus laporan yang akan dikirim pada Tuan Frederick. Bagian ini, Jessy pasti bisa mengaturnya dengan baik.
"Tidak masalah, aku yang mengurusnya. Hati-hati, Katty," ucap Jessy sebelum menutup telepon.
Desah napas ringan terdengar dari Katrin, jeda kecil di tengah kekalutannya, sebelum ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Tangannya sempat merogoh ke dalam, memastikan botol afrodisiaknya ada di sana.
Dan untungnya, ada.
Katrin memang sengaja membawa itu kemana-mana, berjaga-jaga jika ada kejadian mendadak seperti ini.
***
Katrin tidak berani bicara apa pun setelahnya. Sepanjang perjalanan, ia hanya diam, menatap kosong ke luar jendela.
Matanya menyapu jalanan kota Brussels, menatap orang-orang yang duduk santai di teras kafe, leher terbungkus syal tipis, tangan menggenggam cangkir kopi hangat. Udara mulai menggigit, tapi suasana di luar terasa hangat, tenang, akrab, dan lambat. Sebuah ironi, dibandingkan kekakuan yang terasa pekat di dalam mobil.
Reins tampak sibuk dengan ponselnya. Entah membalas pesan siapa, atau pura-pura memberi ruang. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya, hingga mobil perlahan menepi di depan sebuah restoran berbintang di kawasan Anderlecht.
"Ayo turun," ucap Reins pelan. Nada suaranya sopan, tak mengandung tekanan.
“Kemana?”
“Makan malam,” singkatnya.
Ia turun lebih dulu, lalu membukakan pintu. Tangannya terulur. Katrin sempat ragu sepersekian detik, namun akhirnya meraihnya, tanpa segan, tanpa pikir panjang. Ia menggandeng lengan Reins, mengikuti langkah besar pria itu memasuki restoran.
De La Fleur bukan sekadar restoran biasa. Terletak di lantai tiga puluh sebuah gedung pencakar langit, restoran berbintang ini menawarkan pemandangan kota Brussels yang memukau, terutama di senja hari. Lampu-lampu kota mulai menyala, berkilauan di bawah langit yang bergradasi keemasan.
Seorang pelayan menyambut mereka dengan sopan, lalu mengantarkan ke sebuah meja yang sedikit tersembunyi, tepat di samping jendela kaca besar. Dari sana, panorama kota tampak terbentang luas, nyaris tak terhalang.
“Abalon di sini enak,” ujar Reins singkat sambil menyerahkan buku menu pada Katrin.
“Tolong pilihkan saja,” jawab Katrin pelan, matanya masih tertunduk.
Reins menyipitkan mata, menatap Katrin tanpa bicara. Kemudian, dengan tenang melambaikan tangan memanggil pelayan yang baru saja menjauh.
“Dua steak rare,” katanya, padat. “Sertakan sebotol Château Margaux, dan Crème Brûlée untuk penutup.”
Suaranya terdengar dingin, tegas, namun tidak bernada marah. Tatapannya tetap tertuju pada Katrin yang duduk diam, lebih banyak membisu sejak tadi.
“Selain jadi lebih sopan, kau juga jadi irit bicara ya?” sindir Reins dengan nada datar. “Kenapa? Masih memikirkan kejadian tadi?”
“Bukan begitu! Aku cuma kaget, kau langsung membawaku ke rumah.” Katrin menarik napas. “Ini … pertama kalinya aku jadi istri.”
Reins menyilangkan tangan di depan d**a, bibirnya melengkung tipis.
“Kau pikir aku tidak?”
Ucapan itu menggantung di udara. Tidak ada lagi percakapan setelah itu. Keheningan merambat di antara mereka, seperti dinding kaca yang tidak bisa mereka pecahkan.
Sampai akhirnya hidangan utama datang, dua piring steak rare dengan permukaan berkilau dan aroma yang menyengat daging segar.
Katrin menelan ludah, menatap steak di depannya dengan ekspresi ragu. Bagian tengahnya tampak merah cerah, hampir mentah. Ketika ia menyentuhkan pisau ke daging itu dan memotongnya sedikit, cairan merah muda yang kental langsung mengalir keluar, menyebar memenuhi piring seperti darah segar.
Reins melihat reaksinya. Tapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya menggoyang perlahan gelas anggurnya, lalu menyesapnya sedikit.
“Tingkat kematangan seperti ini, punya cita rasa paling murni,” katanya tiba-tiba. “Teksturnya lembut, juicy. Serat dagingnya masih hidup. Hampir seperti kau bisa dengar sapi terakhir kali bernafas.”
CRESSS.
Pisau Reins mengiris dagingnya sendiri, dan Katrin refleks bangkit dari kursinya.
“Maaf, aku ke toilet sebentar.”
Dia pergi tanpa menunggu jawaban. Tidak menoleh ke belakang. Wajahnya pucat, napasnya pendek.
Sebenarnya, sejak kecil Katrin tidak terlalu menyukai daging, apalagi yang tidak dimasak hingga matang. Aromanya, warnanya, teksturnya, semuanya membuat perutnya tidak nyaman.
Tapi saat Reins memesan steak itu, entah mengapa mulutnya terkunci. Ia merasa harus menurut.
Beberapa menit kemudian, Katrin kembali ke meja. Dia sudah lebih tenang, wajahnya sedikit lebih berwarna.
Namun sesuatu telah berubah. Steak di depannya telah lenyap. Diganti dengan sepiring olio lio yang masih hangat, disajikan dengan parmesan di sisi piring.
Dia sempat tertegun.
“Sampai kapan kau memaksakan sesuatu yang bahkan bukan keinginanmu?” suara Reins terdengar tenang, namun mengandung teguran.
“Apa yang kau bicarakan?” Katrin terlihat gugup, buru-buru menyembunyikan botol kecil yang sudah terlihat berkurang isinya.
“Masih tidak paham juga?” Reins menatapnya tajam.
“Kau memilih memberontak dan kabur daripada berada di bawah kukungan ayahmu. Tapi kenapa hal-hal kecil seperti ini saja kau telan mentah-mentah?”
Katrin tersenyum miring. Dia tidak menjawab. Hanya menunduk, lalu mulai menggulung spaghetti di hadapannya. Gerakannya pelan, seolah kata-kata Reins barusan telah didengarnya terlalu sering dalam bentuk lain — dan kini hanya jadi gema yang tak perlu dia jawab.
Reins pun tak menambahkan apa pun. Mereka menyelesaikan makan malam dalam diam.
****
Di luar, langit senja mulai menurun, menyapu jendela mobil dengan semburat jingga keemasan. Louisa masih duduk diam di depan bersama sopir.
“Langsung ke rumah,” kata Reins pada Noan, sopirnya.
Mobil melaju di jalan kota yang mulai sepi. Di dalam, Katrin duduk kaku. Tangan di pangkuannya bergerak gelisah. Jemarinya basah oleh keringat.
Lututnya bergesekan pelan. Ia tampak menahan sesuatu, gugup, resah, atau barangkali … lebih dari itu.
Reins awalnya tidak memperhatikan. Ia sedang membaca sesuatu di tabletnya. Namun ada gerakan kecil dari sudut pandangnya yang mengusik.
Ia melirik.
“Ada apa denganmu?”
Katrin tidak menjawab. Matanya tertunduk, wajahnya memerah, dan napasnya memburu. Reins menyentuh lengan Katrin, menariknya sedikit agar dapat melihat wajahnya dengan lebih jelas.
Pipi Katrin sudah memerah, matanya berkaca-kaca. Bibirnya menggigit pelan, gemetar.
“Apa yang terjadi—” Reins terhenti, ekspresi wajah Katrin sudah menjelaskan segalanya.
“s**t ... Noan, tolong percepat laju mobil!” perintahnya cepat.
Mobil melaju semakin kencang, menembus batas kecepatan sebelumnya yang dijaga dengan hati-hati.
Katrin berjuang menenangkan dirinya, namun sensasi membakar di dalam tubuhnya menolak untuk surut. Ia menggigit bibirnya dengan kuat hingga terasa perih, mencoba menahan rintihan yang nyaris lepas.
Kedua pahanya mengejang, otot-ototnya menegang, dan sensasi hangat di antara kakinya semakin tak tertahankan, berubah menjadi denyutan yang mendesak.
“Sebenarnya apa yang kau lakukan?” tanya Reins, suaranya panik namun tetap menahan diri, kental dengan amarah dan kebingungan.
Katrin menggenggam erat jas Reins. “A-aku … tidak tahan,” bisiknya.
Suara Katrin nyaris tenggelam dalam dengung mesin mobil yang melaju tenang. Namun Reins mendengarnya dengan jelas.
Untuk pertama kalinya, ia tidak menanggapi dengan sindiran atau pernyataan tegas. Matanya menyala, penuh perhitungan dan gairah yang berusaha ia bendung. Tangannya masih menggenggam lengan Katrin, yang bergetar hebat di bawah sentuhannya.
“Tolong,” lirih Katrin.
“Kau… benar-benar gila! Kapan kau meminumnya?” Reins mendesis, amarahnya mulai naik, bercampur dengan gairah yang tak diundang.
Katrin mengulum bibirnya, matanya memohon, basah oleh hasrat. Tangannya terus menarik jas Reins agar pria itu menunduk dan memberinya ciuman. Namun Reins terlalu kuat menahan diri, menahan tubuhnya dengan kaku, tidak menunduk sampai mendapat jawaban jelas dari Katrin.
“ANSWER! KATRIN!”
Suara Reins meninggi, membelah keheningan mobil dengan perintah mutlak, sampai membuat Louisa dan Noan di depan tersentak kaget, tapi tidak berani menoleh atau melirik sedikitpun, hanya fokus pada jalan.
Katrin menggeleng malu, wajahnya memerah padam, menolak mengaku. Padahal niat awalnya hanya berjaga-jaga. Jessy mengatakan efek obat itu bekerja secara bertahap selama setengah hingga satu jam.
Dia sudah memprediksi, paling tidak mereka sudah sampai di rumah saat afrodisiak itu mulai bekerja. Namun lima menit setelah meninggalkan restoran, sensasi panas mulai merambat ke d**a, lalu turun perlahan hingga perut bagian bawah.
Efeknya datang jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan.
“Jawab! Atau puaskan dirimu sendiri sekarang!” tegas Reins, suaranya menusuk, penuh ancaman yang menggoda.
Dengan napas yang tersengal, Katrin membisik pelan, nyaris tak terdengar namun sarat pengakuan, “Tadi … di toilet.”
Reins menyandarkan tubuhnya, menutup mata sejenak sambil menghembuskan desahan berat. Rahangnya mengeras, ototnya menegang.
Dia sampai bingung dengan Katrin, kenapa dia sampai repot meminum perangsang. Tapi sepertinya dia tidak punya kesempatan untuk berpikir.
Nafas Katrin semakin cepat, d**a dan perutnya naik turun tak beraturan, nafsunya membara tanpa bisa lagi ia bendung, menguasai setiap sel dalam tubuhnya.
Tanpa ragu, ia melompat ke pangkuan Reins, tubuhnya yang panas menempel erat pada paha pria itu, memicu ledakan sensasi.
Katrin menatap dalam mata pria itu dengan tatapan penuh harap. Tangannya gemetar saat melonggarkan resleting bajunya, membebaskan dua bulatan miliknya yang kini menyembul, puncaknya yang mengeras menggesek kain, menjeritkan sentuhan.
“Please, touch me … Reins!”
“Do you even realize what you're doing to me, Katrin?” desis Reins, suaranya dingin membeku, namun bergetar seperti bara api yang siap meledak.
“You’re playing with fire, and you’re about to get burned.”