Tahan Saja Rasanya

942 Kata
Udara malam menyelinap masuk dari celah kaca besar yang membingkai langit Brussel. Di lantai atas Seven Bar, tiga pria berbadan tegap duduk melingkari meja bundar, ditemani segelas wine dan cahaya lampu gantung keemasan. Reins duduk paling ujung, bersandar santai dengan satu tangan menggenggam gelas kristal. Cairan berwarna merah darah itu belum berkurang sejak sepuluh menit lalu. Matanya kosong, tapi tajam, menatap ke arah bawah. “Eh, bukankah itu wanita yang datang ke kantor Reins, lalu keluar dengan wajah kesal?” bisik Hugo sambil menyikut bahu temannya. “Mana?” “Arah jam tiga, dress hitam, duduk di meja bartender.” “Oh ... yang diminta buka baju?” sahut Erza. “A-Apa?” Mereka serempak menatap Reins. Pria itu masih duduk dengan tenang, seolah tak terganggu. Entah takdir apa yang membuat mereka kembali bersinggungan malam ini, di tempat yang sama, dalam situasi yang serupa tak mengenakkan. “Jangan bilang kau tertarik dengannya?” tanya Hugo pada Reins Tapi yang menyahut malah Julien. “Siapa? Wanita yang ditolak Darion di depan umum?” “Se-sebentar? Maksudmu junior yang dulu menyatakan perasaan di lapangan kampus itu?” Hugo bertanya lagi. Tak ada jawaban. Tatapan Reins tetap terkunci pada sosok wanita di bawah sana. Katrin terlihat duduk sendiri, ditemani beberapa gelas cocktail, kini dikelilingi oleh tiga pria asing yang mulai melewati batas. Mereka semua ikut menoleh, mengamati ketika salah satu dari pria itu mulai menyentuh Katrin. Wanita itu tampak setengah sadar, tapi masih berusaha menolak. “Wah ... Reins. Dia digoda. Tidak ingin menolong?” Reins hanya menghela napas. “Kalian ini berisik, ya?” katanya singkat, lalu bangkit dari tempat duduk. “Aku pulang. Hari ini Hugo yang traktir.” “Hei, kenapa jadi aku? Reins! Hei!” Reins menuruni tangga pelan. Denting gelas, musik lounge, dan tawa palsu bar masih mengisi udara. Namun langkahnya mantap, dingin. Tepat di tangga putar menuju lorong samping, Reins berpapasan langsung dengan tiga pria asing yang tengah menyeret Katrin ke luar. Wajah Katrin tertunduk, rambutnya berantakan, matanya setengah terbuka. Tapi tubuhnya menolak. Ia meronta lemah, bibirnya digigit sampai berdarah. Salah satu pria menoleh sekilas. “Urusan pribadi, Anda bisa pergi,” katanya singkat. Reins menghentikan langkah. Bahunya sedikit menegang. “Kau menolak membuka bajumu di depanku,” gumamnya datar, mata tajamnya mengunci sosok perempuan itu, “tapi bersedia ikut segerombolan sampah seperti mereka?” Mata Katrin basah, mendongak sambil bicara, “Please, call Raven family!” Reins terkekeh. Dingin dan sinis. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya pelan. “Mungkin kau sudah telanjang saat mereka datang.” “Hei, kalian saling kenal?” salah satu pria menyahut, mulai curiga. Tapi tak ada jawaban. Hanya tatapan yang saling bertubrukan tajam, menggantung di antara mereka. “s**t! Ayolah, kalau kau ingin bergabung, ikut saja. Tiga orang cukup buat—” “Kau masih menunggu mereka datang?” potong Reins, suaranya menukik dingin. Ia sedikit membungkuk, mendekat pada wajah Katrin yang mulai kehilangan fokus. “Memohonlah, Katrin Isadora Raven. Atau kau akan habis di tangan para b******n ini.” Salahkan Katrin. Ia terlalu larut dalam luka, terlalu lelah mencerna bertubi-tubi masalah. Hingga memilih menengelamkan diri dalam Alkohol. Tapi bukankah Reins juga terlalu kejam? “Kalau tidak ingin bergabung, pergilah! Jangan gang—” Tangan yang hendak mendorong bahu Reins dipelintir tajam. Suara sendi berderak. Lelaki itu berteriak kesakitan, lututnya jatuh menghantam lantai. Katrin refleks meraih ujung coat Reins yang berdiri di depannya. Jemarinya gemetar, mencengkeram kain tebal seperti anak kecil yang takut hilang di tengah keramaian. Reins tidak menoleh. Tidak langsung menanggapi. Hanya satu lirikan sekilas sebelum ia mendongak menatap dua pria lain yang kini mulai ragu. “Aku tidak suka ada yang menyela saat aku bicara,” desisnya. Salah satu dari mereka mengumpat, berusaha nekat mengayunkan pukulan. Tapi hanya butuh satu langkah. Satu gerakan. Reins menghindar dan menekuk siku pria itu ke arah sebaliknya. Jeritan kedua pecah di lorong sempit. Sisa satu. Yang terakhir memilih mundur perlahan, lalu kabur tanpa suara. Reins mendengus pelan. “Sampah.” Ia menurunkan pandangan ke Katrin. Masih memegang ujung coat-nya, tubuhnya limbung, wajah memerah karena alkohol. Gaun hitamnya kusut, salah satu talinya melorot. Sudut bibirnya sobek, merah bercampur darah. “Buka mulutmu.” Katrin menoleh, bingung. “Apa?” Dia tidak menjawab. Langkahnya mendekat cepat, dan sebelum Katrin bisa menghindar, ibu jarinya menyeka darah di bibir gadis itu. Lalu, tanpa peringatan, dia menyelipkan jarinya masuk ke mulut Katrin. “Rasanya—” Katrin bergidik, mengecap asin dan logam. “Tahan saja! Ini juga ulahmu sendiri.” Suara Reins datar, seperti menyalahkan, tapi tanpa amarah. Katrin mencoba menepis tangannya, tapi Reins justru memasukkan jemarinya lebih dalam. Reflek, Katrin menggigit. Rahangnya mengatup keras. Satu detik … dua detik … Reins mencengkram rahangnya dengan kuat, membuat wajah Katrin menegang. Ia membungkuk, dan tanpa aba-aba, melumat bibir Katrin dengan paksa. Tidak lembut. Tidak sabar. Seolah ingin menghancurkan keraguan gadis itu bersama sisa harga dirinya yang tersisa malam ini. Katrin memukul dadanya, berusaha lepas. Tapi semakin ia melawan, genggaman Reins makin kuat. Tangannya menahan tengkuk Katrin, memaksanya menengadah, menyerah pada serangan yang membakar bibir dan lidahnya. Tapi seiring waktu, tubuhnya kehilangan kekuatan. Hawa panas dari napas Reins, aroma maskulin yang mendekapnya, dan desir liar dalam darahnya membuat lututnya lemas. Dia mulai tenggelam. Satu tangan Reins menyusup ke belakangnya, menarik pinggang Katrin hingga tubuh mereka saling menyatu. Ciuman itu menjadi lebih dalam, namun tetap tak kehilangan liarnya. Ketika akhirnya Reins menarik diri, mata Katrin buram oleh hasrat yang tak dikenalnya. “Apa maumu?” tanyanya, suara serak dan napas belum teratur. Reins menatapnya dalam-dalam, satu tangan masih mencengkram pinggangnya. “Bukankah sudah jelas?” Ia mendekat lagi, bibirnya nyaris menyentuh telinga Katrin saat berbisik, “Aku mau tubuhmu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN