Hubungan Lama

1075 Kata
"Take off your panties." Suara serak berat itu terdengar jelas, memecah keheningan ruang pertemuan eksekutif GIN Enterprise. Katrin berdiri membeku. Sekejap pikirannya berhenti bekerja, seperti tubuhnya menolak memproses perintah biadab yang baru saja dilontarkan oleh pria di hadapannya. “A-apa maksud Anda?” Bibir Katrin bergetar, tapi suaranya terdengar lantang. "Saya tidak ingin mengulanginya lagi, Mrs. Raven. Puaskan saya, dan kita bisa bicara soal kerja sama." Kata-kata itu meluncur begitu datar dari bibir Reins, CEO muda dan paling berpengaruh di dunia korporat Belgia saat ini. Seolah-olah yang ia minta bukan kehormatan seseorang, melainkan hanya laporan keuangan kuartalan. Sungguh, nasib Katrin benar-benar sial. Dia hanya berusaha menyelamatkan perusahaannya dengan menjalin kerjasama. Tapi apa yang dia dapatkan justru penghinaan, seolah dia datang menawarkan tubuhnya. Secara teknis, Katrin dan Reins memang tidak pernah bersinggungan langsung. Tapi, Katrin punya kisah yang ingin dikubur dalam-dalam, dan Reins ada di dalamnya. Andai saja Katrin tahu lebih awal bahwa CEO GIN adalah Reins, ia tak akan pernah mengirimkan proposal kerjasama. Atau, jika Reins masih memiliki sedikit profesionalisme, ia bisa menahan rasa malu, pura-pura lupa tentang kejadian masa lalu. Tapi tampaknya, semua itu hanya harapan kosong. Karena kini, Reins berdiri di hadapannya. Menatap seolah dia adalah barang dagangan yang bisa dibeli kapan saja. “KAU GILA!!” makinya lantang. Tubuhnya bergetar, menahan emosi sekaligus rasa jijik. Ia berbalik, melangkah cepat menuju pintu, tidak ingin lagi menoleh ke belakang. Tidak ingin melihat wajah lelaki yang kini memandangnya seolah dia bukan siapa-siapa. Namun belum sempat tangannya menyentuh pintu, suara Reins kembali terdengar. “Kesempatanmu hanya hari ini, Mrs. Raven. Jika kau keluar, tidak ada kesempatan kedua.” Katrin reflek menoleh, matanya menajam. “Anda bicara seolah kita pernah mengenal lama, Mr. Grayson. Apa kita sedekat itu? Atau … beginikah cara CEO perusahaan terkemuka menyambut tawaran kerjasama dari perusahaan kecil?” Tidak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut Reins. Wajahnya datar, tanpa ekspresi, sama seperti dulu. **** Pada akhirnya, Katrin kembali dengan tangan kosong lagi. Kali ini bukan hanya kecewa, tapi juga sakit hati yang luar biasa, bahkan lebih sakit daripada melihat calon suaminya selingkuh. Sebenarnya, Katrin juga tidak akan mengenal sosok Reins andai dia bukan teman dekat Darion Moretti, pria yang pernah ia taksir diam-diam, sekaligus seniornya saat kuliah. Dari semua yang pernah ia dengar tentang Reins, tak pernah sekalipun ia membayangkan pria itu bisa sebusuk ini. Lalu, apakah Reins mengenalnya? Atau mungkin masih mengingat momen memalukan itu? Entahlah. Kepala Katrin terlalu penuh untuk memikirkannya. “Tunggu, tunggu. Apa kamu bilang … CEO GIN itu Reins? Reins yang selalu bersama Darion? Yang ada di samping Darion waktu kamu menyatakan perasaanmu dulu?” Teriakan Jessy menggema di ruang kerja, mengaduk kembali kenangan lama yang ingin Katrin kubur selamanya. “Cukup, Jess! Tidak perlu menjelaskan bagian itu!” sahut Katrin cepat, wajahnya memerah karena malu dan kesal bercampur jadi satu. Jessy terkekeh sumbang, menahan tawa sekaligus empati. Ia tak tahu harus ikut prihatin, atau menertawakan nasib sial sahabatnya. Mereka dulu satu kampus. Reins dan Darion adalah senior mereka, empat tingkat di atas. Katrin pernah jatuh hati pada Darion, dan dengan keberanian bodohnya, menyatakan cinta di hadapan umum. Tapi ditolak, mentah-mentah. Yang lebih memalukan, Reins ada disana juga, berdiri di samping Darion. Meski dia tidak bersorak seperti yang lain, tapi tatapan dinginnya sukses melucuti sisa harga diri Katrin. “Oke, oke. Dia memang b******n, bisa-bisanya menyuruhmu membuka semua bajumu,” lanjut Jessy. “Aku juga tidak tahu, ada dendam apa. Harga yang kita tawarkan juga tidak begitu rendah.” Katrin mendesah berat, merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang ada di kantor kerjanya. “Soal selanjutnya … aku pikirkan lagi.” **** Namun selagi Katrin sibuk memikirkan langkah selanjutnya, mata-mata keluarga Raven sudah menyampaikan kabar ini pada Mark. Tak butuh waktu lama bagi pria setengah baya itu untuk memutuskan langkah. Dengan jas mahal dan wibawa yang selalu mendahului kehadirannya, ia muncul di kantor putrinya. “Akhirnya mulai kalah,” ucap Mark, nadanya dingin dan tajam. “Aku tahu ini akan terjadi. Dunia terlalu keras untuk perempuan keras kepala sepertimu.” “Kalau saja Ayah tidak menekan sampai begini, hal ini juga tidak akan terjadi!” sergah Katrin. “Menekan? Aku hanya menjelaskan kekuatan keluarga Raven!” Lagi-lagi mengandalkan nama keluarga. Katrin sangat benci jika Mark sudah menyebut itu, rasanya muak, seakan semua yang ia perjuangkan tidak pernah cukup di mata ayahnya. "Kalau Anda datang hanya ingin memberitahu kekuatan keluarga Raven, sebaiknya Anda kembali saja,” tegas Katrin. “Karena itu sia-sia!” Mark tak menggubris. Dia menatap wajah putrinya yang sudah dua tahun memberontak. “Aku bisa bantu menyelamatkan perusahaanmu,” ucapnya. “Tapi dengan satu syarat, kembali ke rumah, ikuti semua aturan keluarga. Atau kau bisa lihat tempat ini hancur.” Katrin terkekeh geli mendengar ancaman Mark. Sudah lima kali sejak ia kabur dari rumah, dan ancaman itu selalu sama. Tak pernah berubah. Dia tak berniat menyerah, apalagi tunduk pada aturan konyol keluarga Raven. Terlebih, jika itu berarti harus mengalah pada adik tiri yang bahkan tak memiliki hubungan darah dengannya. Itu bukan pilihan. Tak ingin terus dihantam masalah tanpa jeda, Katrin memilih menghibur diri sejenak. Ia melangkah menuju Seven, bar mewah yang cukup terkenal di Brussel. Hanya sekedar duduk diam menenangkan pikirannya, sebelum kembali bergulat dengan masalahnya. Tapi malam selalu punya cara memelintir segalanya. Melihat seorang wanita cantik duduk sendiri, segerombolan serigala lapar pun bermunculan. Mereka mendekat dengan senyum palsu. “Saya ingin sendiri,” kata Katrin sopan, tak mau menambah masalah baru. “Kami hanya tidak tega membiarkanmu minum sendirian. Abaikan saja jika kami mengganggu, benar kan, Fred?” “Minum saja, Nona. Kami hanya duduk disini, bukankah mejanya kosong?” Sungguh, Katrin lelah menanggapi. Akhirnya, ia biarkan saja suara mereka jadi latar samar. Membiarkan dirinya kembali tenggelam dalam pekatnya alkohol. Satu gelas. Dua gelas … dan dunianya mulai kabur, seperti dilihat dari balik kaca berembun. Salah satu pria mulai menyentuh pinggangnya. “Cantik, apa kamu sudah mabuk? Ini baru beberapa gelas.” “Bagaimana jika kita pindah?” Katrin mencoba berdiri, tapi tubuhnya goyah. Langkahnya diseret. Suaranya tercekat di tenggorokan. “Aku bilang … tidak …” desisnya, nyaris tak terdengar. Tapi tangan-tangan mereka terlalu gesit. Satu menarik lengannya, satu lagi mendorong punggungnya, menyeretnya ke lorong hotel yang menyatu dengan bar. Di antara tawa, dentingan gelas, dan dentuman musik yang menghentak, tidak ada yang benar-benar peduli pada Katrin. Kecuali, sepasang mata yang mengamati dari lantai dua. Reins Asher Grayson. Duduk dengan tenang menonton semuanya dari sana. “Menurutlah, kami akan membuatmu rileks!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN