“Kamu masih waras kan, Mahesa?” Nada geram mewarnai pertanyaan Adiyaksa. Air muka pria itu tampak muram setelah mendengar pengakuan putra sulungnya. Dari tempat duduknya yang berhadap-hadapan dengan Adiyaksa, Mahesa tampak tenang dan tidak terintimidasi oleh pertanyaan sang ayah. Selama beberapa detik suasana ruang baca yang dipenuhi oleh tiga rak besi berisi buku-buku dan dua set sofa itu diselimuti keheningan. Mahesa sudah menduga akan seperti ini jadinya jika ia mengatakan keinginannya untuk menikahi Ziya pada ayahnya. “Aku mencintainya, Pa.” “Itu bukan cinta. Itu hanya nafsu. Gadis itu sedang mempermainkanmu agar kamu dan Papa berhenti mencurigainya,” sanggah Adiyaksa. “Ziya memang tidak tahu menahu soal Rafa, Pa.” Adiyaksa menyesap kopinya. Ia kemudian memandangi Mahesa, menila