Bab 4 Malam Berkesan

1108 Kata
Udara Jakarta menyambut dengan kehangatan yang lembap. Langit sore tampak memudar keemasan saat pesawat yang membawa Zaskia dan Farris terbang rendah mendekati landasan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dari balik kaca jendela, Zaskia menatap hamparan gedung dan jalanan yang padat, seolah menatap kembali masa kecil yang telah lama ia tinggalkan. Sudah dua belas tahun sejak terakhir kali ia menjejak tanah ini. Begitu roda pesawat menyentuh landasan, jantung Zaskia berdetak sedikit lebih cepat. Ia menatap keluar jendela, memandangi hamparan kota yang berpendar di bawah sinar sore. Langitnya berbeda—tidak biru lembut seperti di Jepang, tapi penuh semburat oranye yang membaur dengan debu dan cahaya. Ada sesuatu yang asing namun juga… menenangkan. Farris tersenyum kecil di sampingnya. “Welcome home, Kia.” Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa membuat matanya berembun. Zaskia tersenyum, meski hatinya masih berdenyut aneh oleh percampuran emosi—kehilangan, kerinduan, dan sedikit getir yang belum benar-benar pudar. Begitu sampai di terminal kedatangan, Zaskia menelepon Danu, namun ponselnya tidak aktif. Seorang temannya memberitahu, Danu sedang terbang ke luar negeri. Hati Zaskia mencelos. Dia sengaja tidak memberitahu Danu soal kepindahan mereka untuk memberi kejutan, tapi ternyata dia sedang terbang. Zaskia merasakan kesedihan meremas jantungnya. * Malam itu, Farris tampak lebih bersemangat dari biasanya. “Kita diundang ke pernikahan putri Paman Ridwan. Suami Mbak Jenia seorang pilot juga,” katanya sambil mengancingkan jasnya. “Keluarga besar Dirgantara akan hadir semua. Sudah waktunya kamu mengenal mereka lebih dekat.” Zaskia hanya tersenyum kecil di depan cermin. Gaun warna sampanye yang ia kenakan tampak elegan, menonjolkan aura tenang dan berkelas. Rambut hitamnya dikuncir setengah, dengan poni tipis yang jatuh lembut di dahi. Ia jarang menghadiri acara keluarga, jadi perasaan canggung sulit dihindari. Namun ia tak ingin mengecewakan Farris. Mobil melaju melalui jalanan Jakarta yang padat menuju Sky Dirgantara, hotel mewah di kawasan bisnis Jakarta. Dari luar, cahaya keemasan menetes dari lampu-lampu gantung, menebarkan aura kemewahan sekaligus kehangatan. Musik lembut mengalun dari balik pintu besar. Begitu masuk, aroma bunga lili dan mawar putih menyambut. Di pelaminan, pengantin wanita tersenyum bahagia, gaun putihnya memantulkan cahaya lembut. Mbak Jenia, batin Zaskia. Ia pernah mendengar nama itu dari cerita Daddy Farris — salah satu putri dari Paman Ridwan Dirgantara, yang dikenal hangat dan supel. “Farris!” seru seseorang dengan suara riang. Seorang pria paruh baya berwajah tegas namun penuh senyum mendekat—Ridwan Dirgantara sendiri, kakak Farris yang juga kepala keluarga besar itu. “Sudah lama sekali, Mas Ridwan,” sambut Farris hangat. Keduanya berpelukan erat, lama — seperti dua saudara yang baru kembali menyatukan potongan waktu yang lama tercecer. “Masih sama saja, Mas. Tetap tegap dan berwibawa,” canda Farris, matanya sedikit berkaca. Ridwan tertawa pelan. “Dan kamu… masih saja datang membawa kejutan.” Lalu Ridwan menoleh ke arah Zaskia. “Dan ini pasti putrimu, Zaskia. Aku hampir tak mengenalinya—sudah tumbuh secantik ibunya.” Zaskia menjabat tangan sang Paman sambil menunduk sopan. “Terima kasih, Paman Ridwan.” Herawati, istri Ridwan ikut bergabung, menyapa mereka. Ia menatap sekilas pada Zaskia, lalu tersenyum hangat. “Ini pasti Zaskia, kan? Sudah besar sekali. Terakhir kali Tante lihat kamu, kayaknya masih SD, deh.” Zaskia membalas dengan senyum sopan. “Iya, Tante. Senang bisa ketemu lagi. Terima kasih sudah menerima aku sama Daddy malam ini.” Para orang tua langsung terlibat percakapan singkat penuh nostalgia. Zaskia mencoba menyesuaikan diri, menatap sekeliling dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. Sampai akhirnya, pandangannya bertemu dengan seseorang di seberang ruangan. Seorang pemuda berdiri di dekat meja minuman, memakai jas hitam elegan, rambutnya sedikit berantakan namun justru menambah pesona santainya. Tatapannya tajam, dan tenang—dan ketika mata mereka beradu, senyumnya muncul, hangat, seolah menyapa tanpa kata. Setelah melepas kangen, Herawati menoleh pada putra bungsunya. “Dera,” panggil Herawati, “tolong bantu Paman Farris dan Zaskia cari tempat duduk, ya?” “Oh—iya, Ma.” Pemuda itu segera menghampiri Farris dan Zaskia. “Paman Farris, sini, saya tunjukin tempatnya. Mbak Zaskia… eh, boleh panggil Kak aja?” Zaskia menyukai sambutan hangat keluarga Daddy Farris. Spontan ia tersenyum kecil, matanya sedikit mengecil seperti menahan geli. “Panggil Zaskia aja. Aku lebih muda setahun dari kamu, kan?” Adera menggaruk tengkuknya, kikuk. “Oh, iya. Aku kira kamu… lebih tua.” Ucapan itu langsung membuat Zaskia menahan tawa kecil, terlihat berusaha membaur. “Maksudnya aku kelihatan tua, gitu?” “Enggak, bukan gitu. Maksudku… kamu kelihatan dewasa. Tenang banget,” jawab Adera cepat, pipinya memanas malu. Suasana canggung menyelimuti kedua anak muda itu. Mengatasi rasa canggung, Adera menatap pamannya. “Selamat datang di Jakarta, Paman, Zaskia.” Nada suaranya tenang, tapi entah kenapa menyisakan getar halus di d@da gadis itu. Terlebih setelah itu Adera mengangkat topik mengenai masa kecil mereka. Zaskia takjub, cowok tampan ini masih mengingat semuanya dengan baik. Dia juga menyatakan empatinya atas duka yang dia alami dengan cara yang membuat hati Zaskia merasa hangat. Dia merasa nyaman berada di tengah keluarga Dirgantara. Walaupun dia hanya anak sambung Daddy Farris, namun, dia bisa merasakan kasih sayang mereka yang tulus. Sikap dan kata-kata mereka mengalihkan perhatiannya sejenak dari masalah dengan Danu. Pesta semakin ramai. Zaskia berdiri di balkon luar, menatap taman yang diterangi lampu-lampu kecil. Angin malam menyapu pipinya lembut. Suara langkah ringan terdengar di belakangnya. “Menikmati udara malam?” suara Adera memecah keheningan. Zaskia menoleh. “Hanya ingin sedikit tenang. Rasanya ramai sekali di dalam.” “Ya, aku juga kabur ke sini karena udah mulai bosan dengan basa-basi keluarga besar.” Mereka tertawa kecil. Lalu hening sesaat—hening yang tidak canggung, melainkan menenangkan. Adera menatap langit yang mulai gelap. “Lucu, ya. Kadang kita mencari tempat jauh untuk menemukan ketenangan, padahal bisa saja menunggu di sudut ruangan yang sepi.” Zaskia memandangnya, dan kali ini tidak bisa menahan senyum samar di bibirnya. Ada sesuatu dalam nada bicara pemuda itu—tenang, hangat, seperti mata air di tengah padang yang gersang. Dan untuk pertama kalinya sejak kepergian ibunya, dan sejak luka yang ditinggalkan Danu, Zaskia merasa dadanya tidak sesesak dulu. Seolah Jakarta, dengan segala hiruk pikuk dan panasnya, mulai memperkenalkan dirinya bukan sebagai tempat pelarian—melainkan tempat untuk memulai kembali. ** Malam sudah larut saat mobil yang dikemudikan Farris meluncur melewati jalanan menuju rumah baru mereka di kawasan Selatan Jakarta. Lampu-lampu kota memantul di kaca mobil, membentuk garis cahaya yang bergoyang seiring langkah waktu. Zaskia duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela, tapi pikirannya entah sudah terbang ke mana. Farris bercerita ringan tentang rumah baru, tentang rencana bisnis yang akan segera dijalankannya bersama Paman Ridwan. Tapi Zaskia hanya menanggapi dengan anggukan kecil dan senyum tipis. Sebagian besar suaranya tak benar-benar sampai ke telinganya. Di dalam pikirannya, nama itu terus bergema: Danu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN