Bab 3 Pulang

1120 Kata
Dia ingin marah, tapi kenangan bertahun-tahun itu seperti kabut yang menutupi amarahnya. Rasa bersalah, cinta, ketakutan, dan kebiasaan—semuanya berpadu menjadi pusaran yang tak bisa ia lepaskan. “Danu…” bisiknya lirih, separuh memohon, separuh merasa bersalah. Pria itu mendekat, suaranya bergetar rendah di telinganya. “Kau tahu aku nggak bisa jauh darimu. Jangan menolakku, Kia. Aku… aku kehilangan arah tanpamu.” Danu menyentuh tubuhnya dengan posesif. Dia sangat terobsesi dengan tubuh gadis muda ini, yang terpaut usianya hampir sembilan belas tahun darinya. Tubuh muda segar yang sudah ia nikmati sejak baru berkembang. "Aku nggak bisa menahannya, Kia." Bisiknya serak. “Ayolah. Kita masih punya banyak waktu sebelum aku terbang lagi,” Zaskia menggigit bibir. Ada bagian dari dirinya yang ingin pergi, berlari sejauh mungkin. Tapi bagian lain—bagian yang sudah lama rusak dan terbiasa dengan rayuan lembut itu—menyerah begitu saja. Ia menunduk, menatap lantai, dan tahu bahwa ia kalah lagi. Kalah bukan karena lemah, tapi karena cintanya telah berubah menjadi belenggu yang tidak bisa ia lepaskan. *** Udara pagi hari Osaka masih menyisakan dingin yang menempel di kulit ketika Zaskia membuka pintu apartemen mereka. Lampu ruang tamu menyala temaram, dan aroma kopi hitam menyambutnya — aroma yang menandakan satu hal: Daddy Farris belum berangkat kerja dan saat itu sedang menunggunya. Pria itu duduk di sofa, mengenakan kemeja rumah berwarna abu, wajahnya teduh tapi menyimpan sesuatu di balik senyum yang nyaris selalu tenang. Zaskia menahan napas sejenak di ambang pintu, menyembunyikan rasa bersalah yang masih melekat di ujung matanya. Ia mencoba tersenyum, tapi getar di suaranya tak bisa disembunyikan. “Maaf sudah membuat Dad menunggu,” tanyanya pelan sambil meletakkan tas di kursi. Farris menoleh, senyumnya lembut, seperti biasanya — senyum yang menenangkan, yang selama ini menjadi jangkar hidup Zaskia sejak ibunya pergi tiga bulan lalu. “Nggak apa-apa, Kia,” katanya pelan, suaranya dalam dan menenangkan seperti biasa. “Ada hal penting yang harus Daddy bicarakan.” Lanjutnya serius. Zaskia menelan ludah, mencoba menyingkirkan bayangan Danu dari benaknya. “Tentang apa, Dad?” Farris mencondongkan tubuh, menatapnya penuh kasih. “Tentang rencana hidup kita, Kia. Daddy sudah bicara dengan paman Ridwan. Beliau bersedia membantu Daddy memulai bisnis baru di Jakarta — mungkin meneruskan usaha konstruksi yang dulu sempat Daddy kelola sebelum kita pindah ke sini. Daddy rasa… sudah waktunya kita pulang.” Kata-kata itu menggantung di udara, mengisi ruangan kecil itu dengan kehangatan yang tiba-tiba terasa asing di d@da Zaskia. Pulang ke Jakarta. Pulang ke tanah air yang sudah dua belas tahun mereka tinggalkan, sejak ibunya memutuskan untuk melanjutkan karier medisnya di Osaka. “Pulang ke Jakarta?” ulang Zaskia pelan. “Tapi… aku baru saja diterima di maskapai di sini, Dad. Kalau pindah, aku harus melamar lagi dari awal.” Nada suaranya bergetar, bukan karena kecewa, tapi karena pikirannya berlarian ke satu nama yang tak seharusnya muncul — Danu. Farris menatapnya dengan senyum hangat yang penuh pengertian. “Tenang, Nak. Kamu nggak perlu khawatir soal itu.” Ia berdiri perlahan, mengambil map tebal dari meja, dan menyerahkannya kepada Zaskia. “Kamu sudah diterima di maskapai besar juga di Jakarta.” Zaskia mengerjap cepat. “Serius, Dad? Dirgantara Air?” Farris terkekeh, menggeleng pelan. “Bukan. Kamu terlalu berbakat untuk bergantung pada nama keluarga. Kalau kamu masuk Dirgantara, orang bisa berpikir kamu diterima karena hubungan keluarga, bukan karena kemampuanmu. Daddy nggak ingin itu terjadi.” Ia membuka map itu, menunjukkan logo maskapai besar asing yang berbasis di Jakarta. Di dalamnya, tertera surat penerimaan resmi atas nama Zaskia Elmira Nasir, lengkap dengan tanda tangan pimpinan maskapai. “Mereka menunggumu, Kia,” kata Farris lembut. Ada nada bangga di suaranya, seperti seorang ayah yang baru saja menyaksikan anaknya meraih puncak pertama hidupnya. “Daddy mengirimkan lamaranmu diam-diam beberapa waktu lalu. Semua berkasmu dari akademi penerbangan terbaik di Osaka sudah cukup membuat mereka terkesan.” Zaskia memandang surat itu lama, dadanya terasa sesak oleh rasa campur aduk — terkejut, haru, dan sesuatu yang nyaris seperti lega. “Daddy kirim lamaran tanpa bilang-bilang?” tanyanya akhirnya dengan nada yang berusaha terdengar ringan. Farris tersenyum, matanya hangat. “Kalau Daddy bilang dulu, kamu pasti menolak. Kamu terlalu betah di sini, terlalu nyaman dengan kehidupan yang sudah kita bangun. Tapi Daddy ingin kembali ke Jakarta. Rasanya kita butuh kembali berdekatan dengan keluarga besar. Setelah Mom pergi… Dad merasa lebih baik melanjutkan hidup di Jakarta.” Suaranya menurun di akhir kalimat, penuh getar kesedihan yang masih basah meski waktu sudah bergeser hampir setahun sejak kepergian istrinya. Zaskia memandangi wajah ayah sambungnya. Farris — pria yang sederhana tapi lembut, yang selalu memperlakukannya seolah darahnya sendiri. Tidak pernah membedakan, tidak pernah menghakimi. Hanya memberi kasih sayang tanpa syarat. Ia menggenggam map itu erat. “Kalau begitu… kita benar-benar pulang?” Farris mengangguk pelan, senyumnya melembut. “Kita benar-benar pulang, Nak.” Zaskia mencoba menahan senyum, tapi matanya berkilat. Ia berpura-pura bahagia sepenuhnya, meski di dalam dadanya, riak-riak kecil mulai muncul — riak yang membentuk nama Danu Hendrawan. Jakarta, kota yang juga menjadi rumah bagi pria itu. Pikiran itu menyambar cepat seperti kilat. Jika mereka pindah ke Jakarta, ia bisa lebih sering bertemu Danu. Mungkin semua ini bukan kebetulan. Mungkin takdir sedang membuka jalan lain agar mereka bisa memperbaiki semuanya. Zaskia menatap surat penerimaan itu sekali lagi, membiarkan senyum kecil muncul di bibirnya. “Terima kasih, Dad. Aku… aku senang.” Farris menepuk bahunya lembut. “Daddy tahu kamu kuat, Kia. Mom pasti bangga melihatmu sekarang. Sudah waktunya kita mulai hidup baru, tanpa bayang-bayang masa lalu.” Kata-kata itu membuat d@da Zaskia mengencang. Tanpa bayang-bayang masa lalu. Jika Farris tahu kegelapan macam apa yang masih membayangi dirinya, pria itu mungkin tak akan sanggup memandangnya dengan tatapan sehangat itu lagi. Tapi Zaskia hanya mengangguk, menunduk dalam. “Iya, Dad. Aku juga ingin memulai semuanya dari awal.” Malam itu, ketika Farris akhirnya masuk ke kamar untuk bersiap-siap mengurus dokumen resignnya dari perusahaan tempatnya bekerja, dan meninggalkannya sendiri, Zaskia duduk lama di tepi ranjang. Lampu meja menyinari surat penerimaannya yang masih terbuka di pangkuan. Ia menatap huruf-huruf itu tanpa benar-benar membacanya. Yang berputar di kepalanya hanyalah satu wajah, satu suara, satu nama. Danu. Ia memejamkan mata, menahan napas. Kenangan empat tahun itu menyerbu seperti badai — suara tawa pria itu, kata-kata manis yang dulu membuatnya percaya, dan cara Danu memandangnya seolah dunia hanya berputar di antara mereka. Tapi sekarang, di antara kenyataan baru dan rencana kepulangan mereka, ada sesuatu yang lain yang tumbuh: harapan rapuh bahwa mungkin, di Jakarta nanti, Danu bisa merubah pikirannya, karena mereka sudah di satu kota. Zaskia menyentuh d@da, merasakan detak jantungnya sendiri. Ia tahu, di balik rasa bersalah dan luka, masih ada cinta yang belum mampu ia kubur. Dan ia berharap semua akan berubah setelah mereka tinggal di kota yang sama. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN