Ali menghentikan mobilnya di halaman pesantren. Tanpa mematikan mesin mobilnya, lelaki itu langsung berlari menuju ke dalam. Bahkan Ustad Farhan, pengurus pesantren putra yang menyapanya tak dia hiraukan. Tujuannya hanya satu, kamar Amira, istrinya. “Sayang...” panggilnya lirih saat membuka pintu kamar di sisi timur pesantren. Namun ruangan itu kosong. Ia pun menyusuri halaman belakang tempat Amira biasa duduk di bawah pohon sambil mengusap perutnya. Akan tetapi, disana pun tak ada. Ali masuk ke dapur, lalu ke aula, bahkan sempat mengetuk ruang guru. Semua hasilnya sama. Amira tak ada dimanapun. Wajahnya memucat. Pikiran buruk mulai memenuhi kepalanya. Saat hendak kembali ke halaman depan, dia melihat Ummi Maemunah baru saja turun dari mobil, membawa tas kecil dan mushaf dari kajian