“Alia, kamu beneran lolos lomba tahfid tingkat daerah?” tanya Auliya, suara gemetar campur bahagia. Matanya bersinar, meski ada lelah yang sulit disembunyikan di wajahnya. Gadis kecil berusia enam tahun itu mengangguk antusias, dengan senyum manis dan mata berbinar. “Bener, Ummi! Kata Opa Salim, lomba yang di kota kemarin, Alia menang juara satu! Dan bulan depan, Alia akan dikirim untuk ikut lomba tahfid tingkat nasional di Jakarta!” serunya, tak mampu menyembunyikan semangatnya. Namun begitu nama “Jakarta” terucap, senyum di bibir Auliya perlahan memudar. Matanya menatap kosong ke kejauhan, dan untuk sejenak, napasnya tertahan. Jakarta. Kota yang dulu menjadi saksi kehancuran hatinya. Kota tempat ia dijual oleh ayahnya, tempat ia menikah tanpa cinta, dan juga ditinggalkan begitu saja.