Bab 11

1013 Kata
“Kamu bisa sakit, tahu?” ucap Ali pelan, menatap istrinya penuh penyesalan. “Lain kali, jangan nekat lagi. Kalau aku susah dihubungi, telepon Salma, Intan atau Dini. Biar mereka bantu jemput kamu.” Amira hanya mengangguk pelan, tak bisa menatap mata suaminya yang penuh perhatian itu. Meski dia berusaha menyangkal, tetapi, Amira tak bisa mengelak, kalau perasaan itu, telah tumbuh di hatinya. --- Malam itu, di kamar Amira, tubuh wanita itu menggigil meski sudah berselimut. Demamnya tak kunjung turun walau sudah diberi obat. Wajahnya memerah, bibirnya kering, dan keningnya terus dikompres oleh Ali yang duduk setia di sisi ranjang. “Abi, istirahat aja, aku nggak apa-apa…” lirih Amira saat masih setengah sadar sebelumnya. Tapi Ali menggeleng. “Nggak bisa. Kamu istriku, tanggung jawabku. Aku yang harus jaga kamu,” ucapnya lembut. Sebelum naik ke kamar Amira, Ali sempat meminta izin pada Salma. “Ma, aku… boleh temani Amira malam ini? Dia demam tinggi.” Salma tersenyum kecil. “Rawat dia baik-baik, Bi. Aku tahu kamu nggak akan tenang kalau nggak di sampingnya.” Ali tersenyum dan memeluk istri pertamanya. "Terima kasih, atas pengertianmu, Sayang. Abi sayang sama kamu." Salma mengangguk. "Sama-sama Abi. Salma juga sayang sama Abi." Begitu Ali keluar, Salma menghela napas lega. Justru dia bersyukur jika malam ini, dia tidur seorang diri. "Hah! Aman, selamat!" Di kamar Amira, Ali tidak tidur. Sesekali ia mengganti handuk basah di dahi Amira, dan memeriksa suhu tubuhnya. Namun menjelang tengah malam, tubuh Amira kembali menggigil. Handuk di keningnya mulai terasa dingin dan menusuk. “Abi… dingin…” erang Amira dalam setengah sadar. Ali langsung tersentak dari duduknya. Ia buru-buru membuang handuk basah, lalu menarik selimut lebih tinggi, membungkus tubuh Amira yang mungil. Lelaki itu pun masuk ke dalam selimut dan memeluk istri kecilnya. “Ssst… Abi di sini, sayang. Nggak apa-apa, udah… bentar lagi, pasti dinginnya hilang.” Tangannya mengusap lembut pipi Amira, lalu mengecup keningnya pelan. Ia lalu menarik Amira ke dalam pelukannya. Hingga perlahan, tubuh itu pun kembali tenang. Tengah malam, Amira membuka mata perlahan. Matanya sayu, napasnya masih berat. Namun senyum kecil tersungging di bibirnya saat melihat Ali memeluknya erat. “Abi belum tidur?” gumamnya pelan. “Belum. Gimana aku bisa tidur kalau kamu begini?” Ali mengangkat tangan Amira dan menciumnya pelan. “Kamu tahu nggak, dari semua istriku… kamu yang paling keras kepala.” Amira mengernyit. “Aku… sakit karena kehujanan, bukan karena keras kepala…” Ali tertawa kecil. “Justru itu. Abi udah bilang jangan pulang sendiri. Tapi kamu tetap nekat. Untung nggak kenapa-kenapa di jalan…” Amira memalingkan wajah. “Maaf ya… aku cuma nggak mau ngerepotin…” Ali kembali menarik tubuh Amira pelan dan memeluknya erat. “Kamu itu istri Abi. Tak ada kata merepotkan bagi seorang suami yang merawat istrinya. Dan Abi senang bisa merawat kamu.” Amira mendesah pelan, matanya kembali terasa berat. Tapi kini, tubuhnya hangat. Bukan hanya karena selimut, tapi juga karena pelukan Ali. “Abi…” bisik Amira sebelum kembali terlelap, “makasih…” Ali mengelus rambutnya lembut, memandang wajah Amira dengan tatapan teduh. Hatinya hangat. Ia tak pernah menyangka gadis remaja yang awalnya dingin padanya, kini bisa membuatnya begitu tergila-gila. “Tidurlah, sayang. Abi di sini.” --- Keesokannya, Amira perlahan membuka mata. Tubuhnya terasa lebih ringan, tidak lagi menggigil, dan kepalanya juga tak lagi berat. Ia mengerjapkan mata pelan, lalu menyadari dirinya masih berada dalam pelukan Ali yang kini tertidur di sebelahnya. Amira bergeming beberapa detik. Matanya tertuju pada wajah lelaki dewasa yang selama ini ia anggap menyebalkan dan terlalu penuh gairah. Tapi pagi ini… wajah itu terlihat begitu tenang. Tampan, dengan garis rahang tegas, bulu mata lentik, dan hidung mancung. Ada sesuatu yang aneh menggelitik hatinya. “Sebenernya… kamu itu tampan sih. Baik juga, sabar… perhatian banget.” Amira bergumam pelan, bibirnya mengerucut, “Cuma… kenapa ya? Aku kesel aja kalau lihat wajah kamu.” Ia menghela napas pelan, lalu menatap wajah Ali lebih dekat. Lelaki itu tertidur nyenyak. Sesekali napasnya terdengar berat, namun ekspresinya tetap tenang. Aneh, pikir Amira. Harusnya ia merasa canggung. Harusnya ia menjauh. Tapi yang ia lakukan malah sebaliknya. Ia menyusupkan kepala ke d**a bidang Ali, mendekap tubuh lelaki itu perlahan, lalu memejamkan mata. “Seharusnya, aku merasa canggung berdekatan denganmu. Tapi, entah mengapa, pelukan kamu… hangat dan nyaman banget,” bisiknya hampir tak terdengar. Ali yang semula tertidur, pelan-pelan membuka matanya karena gerakan kecil Amira. Ia tak bergerak, hanya diam memperhatikan, dan membiarkan gadis itu meringkuk di pelukannya. Namun, Ali adalah lelaki normal. Saat Amira memeluk dan menempel begitu dekat, tubuhnya merespons secara alami. Ali berdeham pelan, menahan diri sekuat tenaga. Tapi jantungnya mulai berdetak kencang. Kepalanya, sudah cenat-cenut karena sejak semalam, dia harus menahan hasrat yang selama ini begitu rutin ia salurkan. "Ahh, sial! Dia bangun lagi! Ya Allah…” desisnya dalam hati. “Kenapa harus sekarang, saat dia lagi nempel begini…” Amira yang masih memejamkan mata bergumam lagi, “Parfum Abi wangi… enak…” Ali nyaris tertawa. Tapi ia tahan. Dengan suara pelan, ia membalas, “Kalau kamu tahu, sekarang ini Abi lagi sangat menderita, pasti kamu nggak akan dengan nyaman nempel begini sama Abi…” Amira langsung membuka mata. Wajahnya memerah saat melihat Ali sudah membuka mata. “A-bi, sudah bangun?” Ali hanya tersenyum samar, mengangkat sebelah alis. “Menurutmu? Dan kamu tahu, tingkah kamu ini bikin kepala Abi cenat-cenut.” Amira yang baru sadar maksud perkataan Ali buru-buru bangkit, namun Ali menahan pergelangan tangannya lembut. “Jangan jauh-jauh. Kamu baru sembuh. Sini, Abi peluk lagi!” “Nggak mau, nanti kalau Mira terus nempel sama Abi, bisa-bisa terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Dan, karena sekarang Mira udah sembuh, aku mau mandi!” Ali mengangguk sambil teesenyum pelan, matanya menatap Amira. “Oke… Tapi jangan lama-lama. Kalau kedinginan lagi, kamu langsung masuk ke dalam selimut. Dengan senang hati, Abi akan menghangatkanmu…” Amira mendengus kecil, tapi tak bisa menyembunyikan senyum tipis yang muncul di bibirnya. "Abi m***m!" Amira pun masuk ke dalam kamar mandi. Wanita itu menatap wajahnya di cermin. Entah sejak kapan, lelaki yang telah menjadi suaminya itu mulai menempati ruang kecil di hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN